Bagian 19

70 4 0
                                    

"Ratih...!!!" panggil Aga.

...BRAKKK....

§§§

Suara kicauan burung di luar gedung membangunkan istirahat Ratih. Perlahan dia membuka kedua kelopak matanya, sekilas akan menutup lagi saat terkena silau sinar matahari yang mengintip dibalik tirai putih jendela kamar saat ini. Tapi dia tidak mau ketinggalan suasana pagi yang cerah ini, dia berusaha tetap membuka kelopak matanya.

Ratih tertegun, rasanya seperti dejavu. Dua tahun lalu dia juga pernah berada dalam kondisi seperti ini. Terbangun di atas kasur bersprai putih dengan baju tidur berwarna biru muda kebanggaan rumah sakit dan ditemani seseorang di sampingnya. Tapi bedanya sekarang dia tidak perlu menebak-nebak siapa seseorang yang sepertinya beberapa hari ini selalu menemani dan menjaganya.

Suasana pagi ini masih sama dengan suasana semalam saat Ratih untuk pertama kalinya tersadar dari komanya, lampu kamar dibiarkan tetap menyala. Ratih yakin ini sengaja dilakukan agar dia tidak panik jika sewaktu-waktu terbangun di tengah malam, karena fobianya berada di ruangan yang gelap. Sempat terkejut dengan seseorang yang berada di sampingya, tapi dengan segera dia mengulas dengan senyum lega.

Di sudut kamar terdapat sova dengan lipatan selimut di atasnya, itu pasti selimut yang digunakan ayahnya istirahat semalam.  Mungkin  sekarang pulang ke panti dan bergantian jaga dengan seseorang yang masih tertidur pulas di sebelahnya kini. Ratih mengalihkan matanya lagi, garis rambut di sebelah kening seseorang ini sedikit basah, mungkin terkena air wudlu saat akan melakukan sholat shubuh tadi. Baru kali ini Ratih mengamati wajah tenang dalam jarak sedekat ini. Wajah yang sangat lelah, tapi tetap tidak bisa menghilangkan garis-garis ketampanannya. Ratih langsung beristighfar, apa yang sedang difikirkannya.

Ratih langsung mengalihkan matanya untuk mengamati setiap sudut kamar. Dia berharap ada seseorang lagi yang ikut menjaganya, tapi hal itu mustahil. Meski selama koma beberapa hari ini dia selalu memimpikan orang yang sama, dia yakin hal itu tidak akan terjadi di dunia nyata.

Tiba-tiba dia teringat tentang kejadian yang akhirnya mengharuskan dia di rawat di kamar ini. Tapi sebelum berlangsung lama, gerakan tubuh perlahan seseorang disampingnya langsung membuyarkan lamunannya. Sinar matahari yang semakin terik akhirnya membangunkan tidur lelap sosok di samping Ratih. Seperti layaknya kebiasaannya, sosok itu perlahan mengerjapkan kedua matanya kemudian menggerakkan tubuh dengan mengangkat kedua tangannya ke atas.

"Assalamualaikum Pak." Sapa Ratih dengan seulas senyum.

"Waalaikum..." sosok itu mengarahkan kedua matanya ke arah datangnya suara yang dikira berasal dari pintu masuk kamar, tapi hasilnya nihil. Dia langsung menoleh ke arah sebaliknya dan terkejut, "...salam. Kamu sudah bangun Ratih?"

Ratih mengangguk pelan dan menyunggingkan sebuah senyuman.

"Haha,,, Aku penjaga yang payah ya, masak yang dijaga sudah bangun duluan." sosok itu tersenyum balik pada Ratih.

"Terima kasih ya Pak, sudah beberapa hari ini menyempatkan waktunya untuk Ratih, padahal aku tau Bapak orang yang super sibuk."

"Kamu berlebihan Ratih."

"Oh ya, waktu itu bukannya Bapak mau keluar Negeri karena ada urusan bisnis? Jangan bilang Bapak ga jadi pergi gara-gara Ratih?"

"Ratih, aku sudah menganggap Pak Anwar sebagai ayahku, berarti kamu juga keluargaku. Aku ga mungkin meninggalkan keluargaku di saat mereka membutuhkanku."

"Meski ada beberapa perubahan pada diri bapak, tapi ada satu hal yang tidak berubah. Bapak tetap menjadi orang yang baik. Sekali lagi terima kasih Pak."

Relativitas Pilihan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang