Part 6

11 1 0
                                    

Part 6 :: Aku?

➖➖

"Terinspirasi dari Lintang, Om" katamu waktu itu, Ga. Kamu tau, Ga? Aku hanya— takut? Entahlah, kamu berbicara seperti itu dengan mudahnya di depan Ayahku, astaga, Ga.

"Pantes, di hayati lagunya," kata Ayahku. "Om tinggal dulu ya," lanjut Ayahku, lalu beliau pergi ke lantai atas. Dan kini hanya ada kita berdua dan gitar akustikmu, Ga.

"Jadi, gimana?" tanyamu. Aku turun dari kursi tinggi dan duduk di sofa denganmu. "Lagunya bagus, suara kamu juga bagus, gue suka," jawabku. Seriously, Ga.

"Makasih," ucapmu, dan aku tersenyum saja. Maksudku, aku sedikit canggung, Ga. Aku gak bisa kayak biasanya saat di hadapan kamu, semuanya rasanya, beku? Ah tidak, tidak, bukan, maksudku, ya— apapun itu.

"Ayah kamu kemana?" tanyamu. Ga? Kamu kesini untuk Aku atau Ayahku, huh? "Ke kamar mungkin? Atau ambil minum," jawabku. Kamu mengangguk angguk, lalu sedikit berdehem. "Mau minum?" tanyaku, "Boleh,"

Aku lalu beranjak dari sofa dan menuju dapur. Aku tidak melihat toples kopi di sana, jadi aku buatkan susu coklat.

"Ga, gak ada kopi, susu gakpapa, kan?" teriakku. "Sure," jawabmu setengah berteriak. Lalu aku keluar dari dapur dengan gelas berisi susu coklat untukmu. Aku menaruh gelas di hadapamu dan kamu berkata 'Makasih,'
Selalu, Ga.

"Tang? Gue pulang ya, takut di cariin, eh iya— besok ada acara?" tanyamu. "Mungkin gak ada, kenapa?"

"Ke acara yang di taman kota mau gak?" tawarmu. Bagaimana ya, Ga. Jujur saja, aku pasti mau, tapi kalau misalnya ada acara mendadak, aku kasihan padamu.
"Nanti gue kabarin, Ga" ucapku. "Oke, duluan ya, makasih," aku mengangguk dan mengantarmu keluar.

➖➖

"Kak? Gaga siapa lo sih?" tanya Listy— adikku. "Temen," ucapku lalu membuka smartphoneku. "Temen kok tiap hari ke rumah, deket lagi sama Ayah," celetuknya. "Biarin,"

Aku langsung melangkah kan kakiku ke luar dari kamarnya. Ya, aku memang jarang dan mungkin 'tidak' terlalu dekat dengan adikku itu. Aku hanya, sedikit berbeda dengannya. Kami anak kandung, Ga. Tenanglah,

Aku masuk ke kamar dan merebahkan tubuhku di kasur. Sambil memutar musik Lazy Song milik Bruno Mars. Hari belum terlalu malam, Ga. Lagian besok hari Minggu, kan?
Tiba tiba, Ayah masuk ke kamarku. Aku tidak terlalu kaget. Ayah memang suka begitu, selalu.

"Belum tidur?" tanyanya basa basi, "Besok Minggu, malem aja tidurnya," ucapku. Ayah tidak pernah marah tentang waktu tidurku. Ayah hanya memaklumi dan menasehati sedikit meski kadang itu tidak bisa memperbaiki waktu tidurku yang sudah berantakan.

"Gaga," ucap Ayahku. Aku langsung mengarahkan pandanganku padanya. "Kenapa, Yah?" tanyaku. "Gakpapa, kalian udah pacaran? Ayah lihat dari atas tadi kayaknya deket banget,"

Damn!

"Eh— gak— gak pacaran," ucapku terbata bata, bagaimana caranya tidak gugup, Ga? Katakan, apa pipi ku sudah seperti kepiting rebus, hm? Gosh!

"Oh gitu. Sayang banget," ucap Ayahku. "Kirain pacaran," lanjutnya. Aku tertawa kecil. Maksudku, apa maksud Ayah, Ga? Apa kamu membicarakan hal hal kecil dengan Ayah? Awas saja, Ga. Setelah itu, kami terselimuti oleh keheningan. Entahlah, Ga.

➖➖

"Nadinnn," teriakku saat Nadin masuk ke kelas. Nadin hanya tersenyum, ku kira dia akan berbicara panjang tentang apa yang dia lakukan dengan Bian kemarin. Aaa, aku ingin mendengarnya!

"Gimana? Di anter Bian?" tanyaku. Nadin tertawa kecil, "Sumpah, lucu banget!" aku mengerutkan dahiku, Bian lucu? "Apanya yang lucu?" tanyaku. Nadin lalu menceritakan segalanya, ternyata mereka pergi ke kedai es krim terlebih dulu. Lalu Bian mengantar Nadin pulang ke rumahnya, sampai ketemu dengan Bundanya Nadin, astaga!

"Terus, terus, Bunda kamu gimana?" tanyaku bersemangat. "Bunda sih tenang tenang aja, lagian aku juga baru pindah di sini, jadi Bunda seneng sih aku dapet temen," kata Nadin. Aku mengangguk, setelah itu Bian datang. "Eh, Yan," sela Nadin, sambil membuka tasnya, lalu mengeluarkan sebuah plastik hitam. "Jaket lo, makasih,"

Bian lalu mengambil plastik itu sambil mengangguk, "Okey," aku menyenggol lengan Bian saat dia meletakkan tas nya di mejaku. "Ehem," ucapku, sambil memandangi Bian dan Nadin bergantian.
"Apaan, Tang," kata Nadin salah tingkah. Jangan jangan— astaga. "Kalian—" tebakku, "Eh, gak— sumpah," kata Nadin seakan tau arah pembicaraanku. Aku hanya tertawa sambil memandangi Bian yang sepertinya tertekan dengan jawaban Nadin. Aku tau Bian menyukai Nadin, bahkan modus pertama nya saja berhasil. Setelah itu layar smartphoneku menunjukkan pesan masuk, dari kamu, Ga.

Gaga [08965431****]

Gue tunggu di deket perpus, kesini, Tang.

Aku langsung pamit sebentar dengan alasan ke toilet. Lalu aku berjalan melalui taman belakang agar tidak terlalu terlihat oleh kakak kelas lainnya. Dan di sana ada kamu, Ga. Terlihat sedang kebingungan dengan secarik kertas di tanganmu. Entahlah apa itu, mungkin lagu mu yang kemarin?

"Gaga," sapaku. Kamu berbalik menghadapku lalu tersenyum sebentar, kamu tidak bisa menyembunyikan wajah gugupmu itu, Ga. Aku tau itu,

"Kenapa?" tanyaku lagi. "Jadikan nanti?" kamu berbalik bertanya. Aku bingung, Ga, tapi mana bisa aku menolak tawaran untuk menghabiskan sore ku denganmu. "Jadi, kok" jawabku. Kamu berkata 'Oke' waktu itu. "Itu apaan?" tanyaku sambil menunjuk tanganmu. "Eh— gakpapa, cuma daftar buku yang perlu gue kembaliin," ucapmu. Aku mengangguk saja, lagian keringatmu mengalir deras, Ga. Aku pikir kamu akan dehidrasi setelah ini. "Udah kan? Itu aja?" tanyaku. Bukannya aku ingin cepat cepat kembali ke kelas— tapi aku hanya tidak ingin jantungku lepas sekarang, Ga. Kamu mengangguk ragu, "Em,"

"Yaudah, duluan, ya" ucapku sambil berbalik menjauh. "Eh, Tang, tunggu" cegah mu. "Kenapa, Ga?" tanyaku setelah kamu mendekat beberapa langkah ke arahku. "Jadian, yuk?"

➖➖

Maybe, Is Not YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang