Part 3

9 2 0
                                    

Part 3 :: Tidak Sama Seperti Dugaanku

➖➖

Hari kedua di Amerika! Suasananya sangat berbeda dengan di Indonesia. Di sini banyak salju dan benar-benar dingin, Ga. Aku bahkan harus memakai jaket dan baju tebal untuk keluar dari hotel. Aku di sini bersama Laura. Dengan secangkir teh dan kue kering, nikmat ya? Tapi ada yang kurang, Ga. Kamu tau apa yang kurang?

Kamu.

➖➖

"Kamu anak tunggal?" tanyaku waktu itu, kamu melihatku sejenak lalu mengangguk. Pandanganmu terarah ke game di smartphone-mu. Astaga, memangnya semua laki-laki di dunia ini selalu jadi gamers ya? Bian juga begitu, apalagi saat hari libur, Ya Tuhan.

"Hujan, lo pulang gimana?" tanyamu setelah banyak ruang keheningan di antara kita. Suaramu memecahkan pikiran buruk-ku tentangmu. "Em— aku pasti di jemput," jawabku ragu-ragu.
"Gak mau bareng gue?" tawar mu waktu itu. Aku bingung harus menjawab apa, maksudku— ah, siapa sih yang gak kenal Gaga? Cowok pentolan di sekolah, dan dia kini ada di sampingku sambil nawarin tumpangan sampai ke rumah? Ya jelas mau lahhh, Ga. Tapi—

"Udah, kalau mau bilang aja" katamu. Kalimat itu, menandakan kamu orangnya over pede. "Bukannya nolak, Ga. Tapi— aku kan gak mau jadi trending topic bully-an di sekolah besok"

"Well, beneran gak mau bareng gue?" tawarmu sekali lagi. Mungkin kalau kamu pulang, aku gak tau mau minta tolong sama siapa lagi, dan kali ini hujannya benar-benar deras, Ga. Aku— takut.

"Ya udah, hati-hati, ya. Take care"

Lalu perlahan kamu pergi.

➖➖

Beberapa jam setelah kamu pergi, hujan semakin deras, Ga. Di tambah tiupan angin yang kencang membuat rok bagian bawahku basah. Jika kamu bertanya, apa tidak ada yang aku lakukan saat itu, aku pasti akan membantahnya dengan keras.

Aku sudah mencoba menelpon Ayahku, Bunda, bahkan Listy. Saat aku menelpon Ayahku teleponnya sibuk, ya— orang kantoran. Bunda? Sama, teleponnya mati, Bunda emang hobi banget Whatsapp-an, jadi gak jarang kalau baterai nya cepet habis. Listy? Dia harapan terakhirku, tapi—

"Udah bareng gue aja, gue tau lo gak bakalan di jemput. Soalnya hujannya deres banget, lo gak liat? Rok lo udah basah semua. Damn! Lo bisa masuk angin, Tang. Percaya deh sama gue,"

Suaramu mengejutkanku, Ga. Tapi akhirnya menghangatkan. Dengan ragu-ragu aku mengikuti kamu dari belakang, aku terlihat seperti penguntit? Yang benar saja! Bukannya kamu yang memberikan ku tawaran untuk pulang bareng? Kenapa aku yang ada di belakangmu bukan di sampingmu? Kamu pikir aku babu, hah?

"Masuk," ucapmu datar. Kamu menghela nafas. "Masuk, Lintang, ini mobil gue" aku masuk dan duduk di samping kursi sopir, dan yang duduk di sana itu, Kamu.
Aku terdiam, melihat kamu menyetir di jalanan yang hujan, bahkan kaca mobil-mu penuh dengan tetesan rintik hujan yang turun setiap detiknya, dan kebahagiaanku juga turut jatuh bersamaan dengan tetesan hujan itu, karena kamu, Ga.

"Reaksi Ayah lo gimana?" tanyamu saat traffic light sedang berwarna merah. "Reaksi?" tanyaku. "Iya. Reaksi, dulu kan gue sempet nganterin lo ke rumah kan? So? Ayah lo gimana?"

Ah! Ya, kini aku ingat, Ga. Aku lupa memberi tau kamu waktu itu. "Oh. Ayah seneng kok. Ngucapin makasih juga"

"Yes!" gumam-mu. Aku mengernyit ke arahmu. "Ga? Kamu— seneng gitu"

"Eh— gakpapa, Tang, gue anterin sampe rumah lagi, ya?" ujarmu. Aku tersenyum tipis. 'Apa sih, Ga, yang gak buat kamu' batinku.

Jadi, sore itu aku sangat menikmatinya. Dimana kamu selalu bisa menghadirkan tawa di sela-sela degupan jantungku yang kian cepat. Dimana kamu, seseorang yang bisa membuatku menjadi Lintang yang sangat berharga seperti sebuah berlian langka yang kini kembali di temukan keberadaannya. Dan kamu tau, Ga? Aku menyukainya.

Beberapa saat kemudian, mobilmu berhenti tepat di depan rumahku. Aku sempat ingin turun karena kamu sudah membuka kunci otomatis pintu mobilmu itu. Tapi kamu menghentikan pergerakanku. "Tunggu" larangmu. Posisi badanku kembali berbalik menghadap ke arahmu, "Kenapa? Ini udah sampe kok"
"Gue anterin lo sampe ke dalem, bentar" ucapmu sambil mengambil jaket hitam milikmu yang tersedia di kursi belakang.

Kamu keluar duluan lalu membuka-kan pintu untukku. Astaga, apa pipi ku seperti kepiting rebus sekarang?
"Ayo," ajakmu. Kita berjalan beriringan beberapa langkah dan beberapa loncatan— bersama. Aku mengetuk pintu dan memanggil Adikku untuk segera membuka-kan pintu. Sedangkan kamu sedang sibuk mengeringkan jaketmu yang basah.

"Gaga!" teriakku melawan suara derasnya hujan sesaat setelah Bunda membuka-kan pintu dan menyuruhku masuk. Tentu aku tidak tega melihat kamu yang berdiri kedinginan. Jadi, aku meminta kamu ikut masuk. "Masuk, Ga"

"Beneran?" tanyamu memastikan, dan aku mengangguk. Bagaimana mungkin aku bisa berbohong untuk orang seperti kamu, Ga.

It's always been to you, Ga.

➖➖

Jerman dan Amerika ternyata jauh juga ya, Ga? Apa kita masih bisa di pertemukan? Sekedar berpapasan meskipun kamu nanti lupa siapa aku. Tapi, mungkin jika kamu ingat denganku, aku akan mengucapkan, terima kasih, Ga. Karena kamu telah menjadikanku orang yang berharga dan istimewa saat ada di hadapanmu. Terima kasih karena kamu selalu bisa memberikanku kehangatan.

Sesederhana itu,

Maybe, Is Not YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang