Part 11

1 1 0
                                    


Part 11 :: I Got a Piece

➖➖

"Tapi, Tang. Gue gak mau putus dari lo," ucapmu penuh harap, Ga. Tapi, di sini juga ada Nadin dan Bian. Dan aku, kurasa memang sudah seperti ini jalannya. Hubungan kita gak bisa bertahan lama, Ga.

"Tapi, Ga. Gue gak bisa," ucapku. Kamu mengepalkan tangan di samping tubuhmu. Bian mulai memegangi tanganku, kurasa dia berjaga jaga untukku.
"Lintang. Ayolah, Ayah lo juga udah nerima gue kan? Terus kita udah gini aja?" tanyamu. "Ayah emang udah nerima lo, tapi—" ucapku terpotong sesaat setelah kamu akan memukul lenganku, untungnya, Bian sudah menarikku.

"Denger lo, Ga!" ucap Bian berapi api sambil menarik kerah bajumu, Ga. "Lo sakitin Lintang, lo berhadapan sama gue," lanjut Bian. Nadin langsung menarikku menjauh, menenangkanku.

"Tang, lo duduk dulu, gue beliin minum" ucap Nadin. Aku mengangguk kecil. "Nih, minum dulu," Nadin menyodorkan minuman dingin ke hadapanku. Setelah itu Bian datang. Dia terlihat baik baik saja, meskipun ada beberapa luka lebam dilengannya. "Sakit, Yan?" tanya Nadin sambil menyentuh luka Bian. "Gak terlalu sih, cuma perih aja," ucap Bian. Aku melihat Nadin dan Bian bergantian, mereka— cocok.

"Tang?" panggil Nadin. Aku tersenyum kecil sambil membenarkan posisi dudukku. "Lo kenapa?" lanjutnya. "Gakpapa, mending lo bawa Bian ke UKS, lo obatin dulu, kasihan gue liatnya. Gue ke kelas duluan ya," ucapku lalu berlari ke kelas. Aku berhenti di lorong sekolah, menaruh jaketku di sana. Tiba tiba, sebuah kertas terjatuh tepat di atas sepatuku. "Surat lagi," gumamku.

Makasih lo mau nurutin mau gue, makasih lo udah putusin Gaga.

"Darimana dia tau, gue putus sama Gaga," gumamku. Aku langsung menaruh surat itu ditasku. Aku menutup pintu loker itu dan tepat di hadapanku, maksudku, di ujung lorong. Di sana ada Gaga dan Resa. Mereka— cukup mesra untuk sekedar berpelukan. Cemburu? Ah, tidak. Jika itu tidak pantas untukku, jadi apa guna aku cemburu? Aku kembali melanjutkan jalanku ke kelas. Tapi sebuah tangan menarikku, aku mengetahui rasa itu.

"Apa lagi?" tanyaku. Itu dia, si misterius, masih dengan jaket biru lusuhnya. "Gue cuma, mau bilang makasih, dan maaf, gue selalu narik tangan lo yang mungkin bisa dibilang kasar," ucapnya. Aku mengangguk mengerti. Dia menatapku, tapi aku tak tau siapa yang memiliki bentuk mata besar itu. "Gue boleh pergi?" tanyaku. Dia mengangguk pelan sambil mengambil sesuatu dikantong jaketnya. "Dan, ini buat lo," ujarnya sambil menyodorkan sebuah kotak kecil yang dibungkus rapi. "Tapi, ini apa dan buat apa?" tanyaku sambil mengambil kotak itu. "Ya, sekedar hadiah kecil dari gue. Gue pergi ya,"

➖➖

Aku memperhatikan kotak pemberian si misterius itu. Untuk orang seperti dia, cara membungkusnya cukup rapi, apa ini spesial?

"Dari siapa?" tanya Bian. "Eh," ucapku spontan lalu menaruh kotak itu di laci meja. "Dari temen," lanjutku. "Anak SMA ini?" tanyanya. "Ada deh," ucapku, Bian langsung membenarkan kembali posisi duduknya menghadap ke papan tulis. Nadin lalu memandangiku. "Bukan dari Gaga kan?" tanyanya lebih ke arah bisikan. "Bukan," jawabku.  Nadin mengangguk angguk.

Setelah itu bel istirahat berbunyi. Nadin mengajak ku ke bawah, tapi aku menolaknya. Aku sengaja membawa roti dari rumah, karena ya, aku malas bertemu dengan Gaga setiap pergi.
"Ya udah, gue sama Bian duluan ya," pamit Nadin. Aku mengangguk lalu mengeluarkan roti yang ku bawa. Kotak kecil itu juga ikut ku keluarkan, aku ingin tau apa isinya, tapi— kurasa di rumah membukanya lebih baik.

Setelah beberapa kunyahan, rotiku habis, tepat dengan kembalinya Nadin dan Bian. "Udah makan?" tanyaku. "Udah, dibayarin Bian lo, gak asik lo gak ikut," ucap Nadin memukul pundakku. "Eh jangan, Lintang gak usah ikut, ntar dia makan banyak, gue bokek," aku langsung menjitak kepala Bian. "Dasar lo, gue gak sebanyak itu kali makannya," ucapku membenarkan. Bian tertawa kecil.

"Lo berdua temen dari kecil?" tanya Nadin. "Iya, gue sama Bian temenan dari kelas satu SD, dan lo tau? Bian banyak berubah tau gak? Dia dulu polos banget," ucapku. "Nadin juga banyak berubah. Tapi yang gak berubah, dia masih suka nangis" kini Bian yang memulai. Astaga, untuk apa dia berkata bahwa aku 'cengeng'? Oke, kini Bian jahat.

"Kalo lo, Nad? Temen lo gak ada yang di sini?" tanyaku. Nadin menggeleng. "Temen gue udah pada jauh jauh semua, yang di kota ini juga cuma gue sama Karel, tapi Karel gak sekolah di sini," ucapnya. Aku mengangguk, "Eh, main dong ke rumah lo, Nad," ucap Bian. "Iya dong," lanjutku. Nadin tertawa sekilas. "Rumah gue sederhana, gak ada apa apanya, ya ampun," elaknya. "Lo gak bakal betah kali di sana," tambahnya. "Gakpapa kok gakpapa," jawabku. "Yaudah deh, terserah kalian aja," ucap Nadin pasrah.

➖➖

Aku berjalan menuju kamarku, di rumah hanya ada Bunda. Ayah sedang pergi ke luar kota, dan pulangnya besok. Sedangkan Listy, ya, dia sedang bersama temannya, kerja kelompok seperti biasa.

Aku merebahkan tubuhku ke kasur, meletakkan tas ku di bawah lalu mengambil kotak kecil pemberian si misterius itu— eh, tak enak didengar kalau sebutannya misterius, benar? Tapi aku tidak tau namanya, jadi, sudahlah. Atau aku harus menyebutnya, 'mawar'?

Aku memutar benda itu, melihatnya dari berbagai sudut. Ya, jika di goyangkan pun tidak ada bunyinya. Lalu apa ini? Aku membukanya perlahan dengan merobek ujung sisinya.

"Ast— wooaaahhh!" ucapku tertahan. "Kalunggg," lanjutku sambil mengangkat kalung pemberiannya. Ada sebuah bandul kecil di tengahnya, dan satu kata yang menggambarkan kalung itu— indah, sangat indah. Dan tunggu, ada satu kertas terselip di sana.

' Hope you like it, Lintang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

' Hope you like it, Lintang. '

Dan aku benar benar menyukainya, sangat. Untuk orang seperti dia, pilihannya sangat, memukau.

Maybe, Is Not YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang