Part 13

4 1 0
                                    

Part 13 :: Kamu Dingin, tapi Menghangatkan

➖➖

"Gue gak tau mau gimana lagi, gue rasa, semuanya udah beda," gumamku masih dalam pelukannya. Dia mengelus rambutku pelan. "Dan, gue ngerasa, kejujuran gak ada yang bikin gue ngerasa lebih baik lagi," lanjutku. "Sst," desisnya, berniat menyuruhku untuk tidak kembali memikirkan semuanya. Tiba tiba suara dari ruangan guru terdengar, aku pikir itu awalnya adalah bel masuk, dan salah satu perkara baru untukku, namun,

Hari ini dipulangkan lebih awal, di karenakan ada rapat dari dinas. Sekian.

Aku langsung beranjak sedikit menjauh dari dekapannya, lalu menghapus air mataku yang masih tersisa. "Makasih," ucapku pelan. Dia mengangguk, "Lo mau kopi? Atau teh? Kita pulang pagi kan?" tawarnya. Aku melihatnya dari atas sampai bawah, "Dan lo bakalan masuk ke cafe dengan kayak gini?" tanyaku. Dia mengangguk, "Ya, meskipun di menit menit awal bakal ada yang bilang gue teroris, udah yuk," ucapnya. Aku mengangguk kecil, lalu dia menarikku.

"Eh, bentar," tahanku. Dia berbalik, "Ada yang kurang?" tanyanya. "Tas gue, di kelas," jawabku. Dia langsung membuka jendela di sampingnya, masuk dengan menerobos jendela itu, tapi tunggu— eh, hei, ini kelasku, astaga, bagaimana dia tau?

"Ini tas lo, udah kan?" ucapnya. Aku mengangguk lalu mengikuti pergerakannya. Setelah beberapa langkah, dia mendekapku sebentar, "Tunggu, bentar, ada Gaga," ucapnya. Aku langsung menahan teriakanku, lalu mengangguk pelan. Aku sempat mendengar beberapa suara tawa mu, Ga, dan sempat ada kata Bian di sana. Tapi entahlah, aku tidak peduli. "Udah," ucapnya lalu kembali menarikku dan berjalan sampai cafe di ujung jalan.

"Ini buku menunya, Kak. Pesan apa, Kak?" tanya pelayan yang datang membawa buku menu. "Yang spesial hari ini apa ya?" tanyamu. "Hari ini kita ada kue coklat sama kacang terbaru, Kak. Gimana mau coba?" jawabnya. "Boleh deh, dua ya," lalu pelayan itu pergi sambil mengambil buku menu yang ku pegang juga.

"Kenapa lo cari yang spesial sih? Yang biasa aja kan ada, enak juga kok," ucapku. "Karena gue ngajak orang spesial," jawabnya.

Deg!

"Sp—spesial?" tanyaku terbata bata. "Iya, lo kan spesial," aku tersenyum kaku, bahkan aku tidak tau apa yang ingin ku bicarakan, rasanya aneh. "Lintang? Jangan ngelamun gitu," aku langsung membuyarkan lamunanku, menghilangkan segala pertanyaan dan tanda tanya besar di pikiranku. "Ini, Kak," ucap pelayan itu setelah kembali dari mengambil makanannya.

Semuanya hening, hanya dentingan sendok yang beradu dengan piring, sangat nyaring. Setelah beberapa menit, dia menaruh sendoknya lalu meneguk minuman yang di pesannya. "Enak?" tanyanya. Aku mengangguk, "Banget, makasih ya," ucapku pada suapan terakhir. "Lo besok malem kosong?" tanyanya. Aku berpikir sejenak, "Satu... Dua..., kosong kok kosong," ucapku. "Ikut gue yuk?" ajaknya. Aku mengernyitkan dahi, jangan jangan ke hutan? Atau ke sungai yang arusnya derad. Astaga, tidak! "Kemana? Kalo tempatnya serem gue mending di rumah," kini dia berdehem, "Ada lah, gak serem kok, janji, besok gue jemput jam enam ya?" ucapnya. Aku mengangguk ragu, "Pulang yuk?" ujarku.

➖➖

Aku berjalan ke terasku, ya, si misterius itu mengantarkanku sampai ke rumah, untung saja Ayah tidak ada, jadi, ya— aku tidak akan di tanya tanya hal aneh. Langkahku terhenti saat melihat, Bian sedang terduduk sambil memegangi bunga dan secarik kertas. Dia mabuk? Ah, tidak tidak! Bian tidak seperti itu, lalu apa? Dia tertidur? Di depan rumahku?

"Ehm— Lin— eh, Lintang!" teriak Bian lalu beranjak bangun. "Sori ya, gue ketiduran tadi, nungguin lo lama soalnya, kayaknya rumah lo kosong juga," ucapnya. Aku mengangguk kecil, "Ngapain lo ke sini?" tanyaku. "Gue, gue mau minta maaf, buat yang di UKS tadi pagi, sama tentang perasaan gue ke lo itu— semuanya bener, Tang, gue sayang sama lo," ucap Bian sambil memberikanku mawar yang tadi di pegangnya. Dadaku berdesir halus, entah kenapa, Bian seperti benar benar serius dalam mengatakan itu.

"Tapi gue tau, Tang. Lo gak bakalan kan mau sama gue?" ucap Bian di akhiri tawa yang hambar. "Iyalah, gue cuma berpikir, kenapa gue bisa suka sama lo, dan gue pikir, persahabatan kita gak boleh hancur cuma gara gara perasaan gue yang lebih sama lo, Tang," baiklah, kini mataku terasa panas. Ayolah, Yan, jangan katakan itu. Aku benci semua kalimat itu. Setelah itu, Bian beranjak pergi. "Bian," cegahku. Bian berbalik, tersenyum kecil, lalu melebarkan lengannya, "Mau peluk?" tanyanya. Aku langsung berlari ke pelukannya, menangis sejadi jadinya. Baiklah, katakan apapun yang kalian pikirkan. Cengeng? Kekanak-kanakan? Benar, aku itu semua.

"Maaf ya?" ucap Bian masih pada posisi yang sama. "Gue bikin lo nangis kayak gini, gue emang bukan yang terbaik rupanya, walaupun gue sempet berpikir kalau lo itu harus sama gue," lanjutnya sambil mengelus rambutku. Aku beranjak sedikit menjauh, "Jangan kayak gini," ucapku. "Gak selamanya perasaan itu bakalan terus ada, bisa aja hilang karena lo nemu yang lain, yang lebih baik dari gue atau lebih sempurna dari gue," jelasku. "Gue bahkan pernah suka sama lo," ucapku sambil tersenyum simpul, namun kata 'pernah' itu yang membuat kalimat itu selalu mengganjal. Bian sempat membelalakan matanya sebentar, lalu menormalkannya lagi. "Seriusan?" tanya Bian, aku mengangguk pelan. "Karena menurut gue, orang kayak lo itu langka, karena gue jarang nemu orang yang mirip sama lo," ucapku.

Tiba tiba, hujan turun dengan derasnya, Bian langsung menyuruhku masuk. "Lo gimana? Cepetan balik, Yan" ucapku. "Gue bakalan balik setelah lo masuk," ucapnya. Setelah itu, aku langsung masuk ke rumah, dan benar saja, Bian langsung pergi di bawah derasnya hujan. "Maaf, Yan," aku menghela napas, "Karena bukan cuma lo yang ada saat ini," gumamku di balik tirai.

Maybe, Is Not YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang