Part 9 :: Why?
➖➖
"Gaga," lirihku. Kamu berbalik, Ga. Memegang bahumu, aku tau rasanya menyakitkan, melihatmu berdarah, terluka. "Apalagi," jawabmu ketus. Aku menggeleng pelan. Lebih baik mengalah, Ga, maksudku, untuk apa membicarakan masalah dalam waktu dan rasa yang seperti ini. Rasanya, tidak mungkin.
Kamu lalu benar benar pergi, Ga. Menjauh. Aku masuk kembali ke UKS, membereskan semua obat-obatan yang ku gunakan tadi. Masih dengan rasa yang tertinggal, Ga. Aku membereskannya dalam diam. Hingga akhirnya,
"Lintang,"
Aku berbalik, menemukan seseorang berjaket biru tua lusuh, aku yakin, itu bukan kamu maupun Bian. Aku tidak mengenal suara itu. "Siapa?" tanyaku pelan, aku mulai takut, Ga. Percayalah, aku sendirian di UKS dan aku perempuan. Astaga,
"Lo gak usah mikirin, Gaga. Gue yakin, lo gak bakalan bisa lama sama Gaga. Gaga itu," ucapnya tertahan. Dia mengepalkan tangannya. Aku benar benar takut kali ini. Tapi, dia menghela nafas, mengembalikan tangannya seperti semula. "Gaga, gak baik buat lo," lanjutnya. "Maksud lo?" tanyaku bingung. "Jauh-jauh aja sama Gaga," tambahnya, lalu dia berbalik. Aku terdiam.
➖➖
"Tang? Something wrong with you, kenapa?" tanya Nadin sambil mengolesi tangan Bian dengan minyak. "Gakpapa," ucapku pelan dan mengakhirinya dengan senyum kecil, mencoba menghibur diri, membuat semua keadaan apapun menjadi lebih baik. "Lo gak lagi mikir, Gaga itu kan?" ucap Bian.
Gosh!
"Eh, e,e, gak" ucapku. "Stop it!" ucap Bian tertahan. "Kenapa sih? Lo mikir diri lo dulu, baru dia, jangan selalu jadiin orang lain sebagai prioritas utama lo, ntar lo sendiri yang sakit. Tau?" lanjutnya berapi-api. "Gue bilang apa? Gue gak mikir—" ucapku. "Bohong!" potong Bian.
Hening. Suasana berubah hening, Nadin bahkan tak ingin memulai percakapan. Bian terlalu fokus pada semua pikiran yang ada di kepalanya. Aku hanya terdiam, berpikir, apa yang terbaik. "Tang?" Nadin bersuara. Aku menatapnya, Bian juga melakukan yang sama. "Tapi gue berpikir, Bian ada benernya, Gaga gak terlalu baik buat lo, ya— meskipun gue sempet bilang kalo Gaga itu ganteng, baik. Mungkin sekarang semuanya udah beda, Tang. Dan, lo juga harus perhatiin diri lo sendiri dulu," ucap Nadin. Aku mengangguk pelan. "Gue paham,"
Bian menepuk pergelanganku, "Take care, Tang" ucapnya. Aku mengangguk tersenyum kecil, lalu mengambil tasku dan keluar dari kelas. Tiba tiba, tanganku ditarik ke belakang sekolah. Entah siapa yang menariknya, tapi ini benar benar menyakitkan. "Lepas!" teriakku. Namun, kini dia menariknya lebih kencang lagi. "Lo siapa sih!" teriakku. "Diam!" jawabnya lebih terkesan membentak. Aku diam, duduk di kursi yang disiapkannya. Oke, tapi ini taman belakang sekolah. Siapa dia? Kenapa di sini? Tunggu, jaket hoodie itu— yang di UKS tadi,
"Lo itu–" ucapku. "Iya, gue yang di UKS," jawabnya. Aku meneguk ludahku. Dia membuka maskernya, membuat wajahnya sedikit lebih terlihat. Tapi, tetap saja aku tidak mengenalnya. "Lo anak SMA ini juga?" tanyaku menebak. "Lo gak perlu tau, gue cuma pengen nyelametin lo, dari Gaga" jawabnya. "Gaga?" tanyaku. "Iya, Gaga. Percaya sama gue, Gaga bukan orang baik, Gaga bukan orang yang seharusnya lo perjuangin, gue tau semua tentang Gaga," ucapnya panjang lebar. "Tapi, lo siapanya Gaga?" dia tertegun, badannya sedikit kaku, "Gue— e, lo bakal tau, tapi gak sekarang,"
Dia melepaskanku, membiarkanku pergi memberikan jalan untukku lewat dari hadapannya, mungkin, dia paham bahwa aku memang butuh oksigen kali ini. "Kenapa lo gak pergi?" tanyanya. "Karena, gue belum tau siapa lo," ucapku. "Lo bakal tau, dan lo bakal ngerti kenapa gue gak suka kalo Gaga deket sama lo," ujarnya lagi. "Lo janji buat buka identitas lo?" dia mengangguk. Aku pergi menjauh darinya, menuju lorong sekolah dan membuka lokerku untuk mengambil jaket yang sudah ku tinggalkan hampir dua hari. Aku terdiam melihat sebuah kertas terjatuh dari balik loker yang sedang ku buka. "Surat," gumamku.
'Jangan deketin Gaga, kalau lo mau diri lo selamat. Jaga diri lo,'
Itu tulisannya, tapi apa maksudnya? Apa Gaga itu psikopat? Astaga, tidaklah! Gaga itu pencuri? Penjahat?
"Lo liat apaan?"
Aku kaget, membuang surat itu dengan jaketku entah kemana, aku melihatmu, Ga. Berdiri mematung di hadapanku. Aku langsung mengambilnya kembali. "Gakpapa, duluan ya," ucapku terburu-buru.
"Tang, tapi— gue mau minta maaf," ucapmu. Aku berhenti sejenak, "Gue udah maafin lo, udah ya," ucapku lalu kembali berlari.
➖➖
"Hah, hah," desahku, aku memegangi lututku, lelah. Berlari menghindar dari Gaga, dan tentang surat itu. Semuanya mengacaukan pikiranku. Aku berjalan pelan, rumah sudah hampir dekat, semoga Gaga tidak mencariku di sana.
Aku memasuki rumah dengan lelah, menuju kamarku dan langsung mandi.Aku langsung membuka smartphoneku, semuanya—
Message.
Gaga : Tang, gue minta maaf
Gaga : Tang, maafin gueMissed call
Gaga. 2:34pm."Untung mati," gumamku. Aku langsung merebahkan tubuhku ke kasur. Sampai akhirnya pintu kamarku terbuka, menunjukkan wajah Bian dan Nadin bersamaan. 'Untuk apa mereka ke sini?' batinku.
"Lintaaang!" teriak Nadin lalu merebahkan dirinya di kasurku. "Kenapa?" tanyaku bingung. "Gakpapa, Bian yang ngajak, gue sih ikut aja," katanya. Aku langsung memutar pandanganku ke arah Bian. "Cuma main doang, elah, Tang" ucapnya seakan tau apa maksud pandanganku. Aku langsung mengangguk angguk.
"Gaga gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Maybe, Is Not You
Teen FictionJadi, hal apa yang akan kembali menghangatkan ku? Hal apa yang akan kembali membuatku kembali tersenyum saat waktu mengutuk kesendirianku, saat kita berjauhan.