Part 7 :: Kamu dan Kopi
➖➖
"Jadian yuk?" ucapmu, Ga, sambil menghentikan langkah, aku berbalik ke arahmu. Sebentar, apa ini benar? Maksudku, kita bakal jadian?
"Jadian?" ulangku di depanmu dengan raut wajah bingung. "I–iya, jadian," jawabmu. Aku memainkan jariku, aku gugup, Ga. Percayalah, jantungku serasa ingin keluar dari tempatnya, dan di perutku serasa ada taman kupu-kupu di sana. "Jadi, gimana?" tanyamu. "E,e,e—" aku ingin menjawabnya, Ga. Tapi bel masuk menyelamatkanku, "Nanti ya, Ga. Di cafe aja deh, pulang sekolah, gakpapa?" tanyaku memastikan. "Oke, gakpapa,"
Aku tersenyum pelan lalu meninggalkanmu. Bagaimana, Ga, aku bingung ingin menjawab apa, rasanya serba salah, Ga. Tapi kurasa keluargaku, tepatnya Ayahku sepertinya menyukaimu. Argh, apa, Ga. Aku harus menjawab apa?
➖➖
"Darimana, lo" ucap Bian kebingungan melihatku masuk bersamaan dengan guru jam pertama. "Ketemu, Gaga," ucapku. "Dan lo di tangkep sama, Pak Wid?" tanya Bian dengan nada sedikit lebih tinggi. "Gak lah, gue tadi masuknya lagi bareng aja sama Pak Wid, gue gak ketahuan sama Pak Wid, sumpah," ucapku sambil mengeluarkan buku pelajaran pertama. Bian hanya membentuk huruf 'O' pada mulutnya lalu menghadap ke depan.
"Ngapain ketemu, Gaga?" kini Nadin yang bertanya. Aku menengok ke sampingku. "Gue di tembak," bisikku ke Nadin. Dengan spontan, Nadin menutup mulutnya dengan tangannya sendiri. "Demi apaan? Terus lo terima?" aku menggeleng. "Lo gak terima? Bodo lo anjir," aku memukul pundaknya pelan. "Gue belum ngasih jawaban,"
"Terima aja, kalau gue jadi lo langsung gue terima tuh cogan, anjir," ucap Nadin dengan kekehan kecil. "Lo terima Gaga? Bian ke mana?" ledekku. Pipi Nadin kini nampak seperti kepiting rebus dengan bibir yang di kerucutkan. Lucu.
Beberapa jam kemudian bel istirahat berbunyi tepat dengan pembahasan soal terakhir. "Baiklah, terima kasih, pelajari lagi, kalian boleh istirahat," ucap Pak Wid lalu meninggalkan kelas di susul beberapa siswa untuk segera keluar dari neraka ini.
"Mau ke kantin?" tanya Bian padaku dan Nadin. Aku menengok ke Nadin, "Lo mau?" tanyaku. "Yaudah ayo," ucap Nadin sambil berdiri di susul aku dan Bian.
Aku menengok ke arah kelasmu, Ga. Pintunya di buka dengan sangat lebar, tapi kurasa kamu tidak ada di sana, kelasmu kosong— tidak kosong juga sebenarnya, ada beberapa siswi yang ada di dalamnya sambil berbincang masalah 'perempuan' mungkin?
Tiba tiba, tanganku di tarik oleh seseorang. "Eh," ucapku spontan. Aku berbalik di ikuti Nadin yang ikut berbalik. "Lintang, ini gue, Gaga,"Kamu, Ga? Astaga, tapi— ah ayolah, Ga. Kan aku bilang, aku akan menjawabnya nanti waktu pulang sekolah di cafe. "Tang, gue ke kantin duluan ya," ucap Nadin sambil berlari mengejar Bian. Dan? Ya, tinggal kita lagi. "Kenapa?" tanyaku ke kamu, Ga. Kamu mengangkat bahu sambil melihat ke sekitar. "Jangan di sini, ikut gue," ucapmu sambil menarik tanganku, eh bukan— tepatnya sih, menggandeng? Ya, sedikit romantis lah. Aku mengikuti langkahmu, dan kita berada di depan ruang ekstra, kamu duduk di kursi panjang dan aku mengikutinya.
"Gue ulangin. Kenapa?" tanyaku. "Gak bisa ya? Di jawab sekarang? Gue serasa di gantungin gitu sama cewek, anjir, gue baperan. Ayolah, Tang," ucapmu. Aku tertawa kecil. "Dua jam lagi kok," ucapku. Kamu mengacak acak rambutmu. "Oke, oke," pasrahmu.
Hening, Ga. Aku bingung ingin memulai perbincangan dari mana. Rasanya, aneh.
"Gue, balik duluan ya," pamitku. Kamu langsung menengok ke arahku. "Ya udah, ntar bareng kan?" tanyamu. "Iya, duluan ya,"➖➖
"Nanti gue ajarin ya, Tang," ucap Bian padaku saat ada pr yang tertulis di papan. "Kalau gue udah ngerjain, gue bbm lo ntar," ucapku, dan di jawab Bian dengan acungan jempol. "Lo habis ini mau ke mana? Maen yuk?" ajak Nadin. "Gue— mau ke cafe sama Gaga, kalau ada waktu nanti gue kabarin deh," ucapku. Nadin mengangguk angguk dan bel pulang berbunyi tepat waktu. Aku langsung memberesi mejaku setelah selesai mencatat pr yang di berikan.
"Di kerjakan, besok Kamis di kumpulkan," kata Bu Ana dengan nada tegas. Lalu kami semua langsung keluar sesaat setelah Bu Ana pamit dan menutup pelajaran. "Duluan, ya," ucapku pada Nadin dan Bian. Aku langsung turun dan mencari keberadaanmu, Ga.
"Lintang!" teriakmu dari kejauhan. Aku melihatmu melambaikan tangan di antara para siswa lain yang mulai keluar kelas. Aku mendekat ke arahmu, Ga. "Sekarang?" tanyamu. Aku mengangguk.
Kamu langsung menuju ke arah mobilmu dan menyuruhku masuk. Aku berfikir ulang, Ga. Maksudku, apa pilihanku nanti akan benar? Sampai akhirnya, mobilmu sudah berhenti tepat di depan cafe. Kita langsung masuk ke cafe itu, Ga. Kita memilih duduk di dekat jendela seperti biasa.
"Mau pesen apaan?" tanyamu. "Apa ya, teh hijau aja satu, sama roti kering satu," kamu mengangguk dan mengatakan pada pelayan, sedangkan kamu memesan kopi."Gimana pelajaran, lo tadi?" tanyamu membuka pembicaraan. "Oke, oke aja sih kayak biasa, lo gimana?" ucapku sambil menaruh tasku di kursi samping. "Sama sih," kamu berdehem. "Jadi? Gimana?" tanyamu lagi. Astaga, Ga, aku harus menjawabnya secepat itu kah? Bahkan pesanan kita baru saja sampai di meja. "Tang? Kok diem? Kenapa? Gue di tolak nih? Yaudah, gakpapa, gakpapa," ucapmu.
Aku merasa bersalah, Ga. Astaga, aku hanya berfikir. "Eh bukan gitu," ucapku. Kamu memainkan sendok kecil di kopimu dengan wajah lesu. Ya ampun, Ga. Ayolah, aku belum berkata apa apa, "Ga?" ucapku. Kamu melihatku sambil memangku dagumu. "Sekarang tanggal berapa?" tanyaku. "Di tolak, gak di kasih apa apa, malah tanya tanggal," ucapmu. Aku merasa ingin tertawa, Ga. Tapi, ya ampun.
"Tanggal tiga belas November," lanjutmu.
Aku tersenyum tipis. "Yaudah, di inget ya tanggalnya, kita anniversary tiap tanggal tiga belas ya?" ucapku.
➖➖
KAMU SEDANG MEMBACA
Maybe, Is Not You
Fiksi RemajaJadi, hal apa yang akan kembali menghangatkan ku? Hal apa yang akan kembali membuatku kembali tersenyum saat waktu mengutuk kesendirianku, saat kita berjauhan.