Part 14

7 1 0
                                    

Part 14 :: Dan, ternyata

➖➖


"Duluan ya, Nad," ucapku pada Nadin. Nadin hanya membalasnya dengan anggukan. Setelah bel pulang berbunyi, aku langsung memasukkan semua buku pelajaranku, lalu turun ke lantai bawah. Aku menuju ke lokerku, ya— sudah lama juga aku tidak membuka loker ku, sekitar dua hari. Dan, masih ada kertas yang terselip juga di sana. Kertas pertama berisi tulisan,

'Makasih, Tang buat semuanya'

"Apaan?" tanyaku pada diriku sendiri. Lalu aku mengambil kertas kedua,

'Gue sayang sama lo,'

Deg. "Gue harap, ini bukan dari—" gumamku. "Lintang!" sebuah teriakkan membuyarkan segala pikiranku yang sudah terbang hingga kemana mana. "Eh, Bian," ucapku. Kenapa sangat tepat?

"Ntar malem ikut gue yuk?" ajaknya. Tapi, janji dengan si misterius itu? "Gue— lagi gak bisa malem ini, maaf," ucapku merasa bersalah, setelah kejadian malam kemarin itu, Bian rasanya kurang sehat, hujan mengguyurnya kemarin malam dengan cukup deras. "Oh," Bian hanya ber-oh-ria di sana, "Gakpapa, kalau malem minggu ini gimana?" tanyanya. "Gue usahain, ya," ucapku. "Oke, gue anter pulang?" aku berpikir sejenak, "Ya udah, ayo," ucapku menerima tawarannya.

Bian langsung mengajakku berjalan keluar, ya banyak pasang mata yang melihat kami berdua, karena semuanya mengetahui kalau Bian itu bersama Nadin, bukan denganku. Tapi, hei? Kenapa kalian yang ribut?

"Naik," ajak Bian. "Lo naik motor? Gue kira lo bawa mobil hari ini," tanyaku. "Mobil gue lagi service, jadi gue pake motor, gakpapa kan?" aku mengangguk kecil lalu menaiki motornya. Bian memacunya dengan cukup kencang, membuatku harus berpegangan pada pundaknya.

"Lo mau kemana gitu gak?" tanya Bian. Aku menggeleng, "Gak, pulang aja," Bian lalu memutar kembali pandangannya kedepan lalu kembali memacunya lagi.

Setelah beberapa menit, Bian memberhentikanku tepat di depan rumahku. Aku langsung turun lalu memberikan helm yang ku pakai pada Bian.

"Hari ini gak bisa ya, Tang?" tanya Bian memastikan. "Gak bisa, Yan. Sori banget," jawabku sambil menyatukan tanganku. "Ya udah, gakpapa, nanti gue coba ajak Nadin aja sapa tau mau gitu," ucap Bian di akhiri tawa, aku pun ikut tertawa. Rasanya berbeda setelah saling mengetahui perasaan di antara kita— lebih kaku daripada biasanya. "Ya udah, gue balik duluan ya," pamit Bian. "Oke, hati hati ya," jawabku. Bian mengacungkan jempolnya lalu pergi.

Aku masuk ke rumah, ya, ada Bunda dan Ayah di sana. Raut wajahnya sedikit berbeda dari biasanya, dengan kertas putih di tangannya.

"Eh, Lintang," ucap Bunda lalu mengajakku duduk bersama di sofa. "Apaan nih," ucapku lalu mengambil kertas yang di pegang Ayah. "Eh, Kak— jangan," cegah Ayah. "Sebentar doang, Yah. Gak bakalan deh aku gambar gambar pake spidol," ucapku menghibur. Pandanganku menyisir setiap kata yang ada di kertas itu. Pandanganku berhenti pada sebuah kata, bahwa,

tanah ini harus di kosongkan.
tanah ini di kosongkan.
di kosongkan.

"Di kosongkan?" tanyaku. "Terus kita tinggal dimana? Yah! Apaan sih ini, sobek aja! Gak guna banget!" ucapku meluapkan emosi yang sudah sampai di ubun ubun kepalaku. "Lintang," ucap Bunda menetralkan suasana. "Kita bisa tinggal sementara di rumah Om Widi, atau di rumahnya Nenek yang lama? Kita masih bisa tinggal di san—"

"Tapi suasananya beda!" potongku. Katakan apa saja, tidak sopan atau apapun. Tapi aku hanya ingin tinggal di sini, egois? Aku langsung pergi, naik ke lantai atas lalu membanting pintu kamarku. Kenapa tidak ada yang berada di pihakku kali ini? Kenapa?

Aku langsung merebahkan diriku ke kasur, aku hanya berharap, semoga jam enam berjalan lebih cepat dari biasanya. Aku hanya memerlukan dia, dan sedikit suasana yang cukup tenang. Aku langsung menarik bantal ku lalu mencoba untuk tidur sejenak. Pikiranku, semuanya kacau.

➖➖

Aku melirik jam di smartphoneku. "Jam lima, anjir," teriakku lalu langsung beranjak ke kamar mandi yang berada di kamarku. Aku langsung berlari ke arah lemariku, mencari pakaian yang ku pikir cocok. Hingga akhirnya, baju lengan panjang dengan celana hitam se mata kaki menjadi pilihanku. Aku langsung memasukan ponselku dan uang di sling bag.

Aku berjalan ke luar dari kamarku. Aku tidak punya kontak darinya tapi kurasa dia sudah menunggu. "Kemana, Kak?" tanya Listy. "Pergi bentar," ucapku lalu keluar dari rumah. Benar saja, dia sudah ada di sana. Dengan motor matic warna hitam, dan tentunya jaket hoodie nya.

"Udah kan? Ada yang ketinggalan?" tanyanya memastikan. "Gak ada," ucapku. Dia memberikan helm dan memberikan kode untuk naik ke motornya. Setelah beberapa menit di jalan— yang sebenarnya aku bahkan tidak tau ini jalan kemana, dia memasang lampu sen ke kiri.

"Bentar," ucapnya sambil memberhentikan motornya di pinggir jalan. "Di sini?" tanyaku. "Bukannn, ada di depan sana sih, lo tutup mata dulu," ujarnya sambil memberikanku penutup mata hitam. "Oke," ucapku lalu menutup mataku. Aku merasa bahwa dia mulai memberhentikan lagi laju motornya, 'mungkin ini sudah sampai' batinku.

"Pelan pelan," ucapnya sambil memanduku untuk berjalan. Banyak tangga di sini, apa ini mall? Tapi tidak sedingin AC mall di sini, lalu ini apa?

"Udah," ucapnya lalu membuka penutup mataku. "Lo suka?" tanyanya.

"Suka— banget," ucapku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Suka— banget," ucapku. "Kok lo bisa tau tempat tempat kayak gini?" tanyaku. "Gue suka jalan jalan kalau malem, terus gue nemu tempat ini," ucapnya. "Oh ya, lo juga cewek pertama yang gue ajak barengan ke sini," lanjutnya. "Whoaaa!" teriakku, "Makasih,"

Maybe, Is Not YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang