Part 12 :: Dan Semuanya, Jadi Lebih Berat
➖➖
"Kalung lo bagus, Tang, dapet dari siapa?" tanya Nadin sambil memandangi kalung yang ku pegang. "Dari, yang ngasih surat itu, lo ngerasa aneh gak sih, tapi seleranya bagus ya?" ucapku. Nadin melongo, "Dari, si penggemar rahasia lo itu?" tanyanya. Aku menggeleng, "Percayalah, Nad. Dia bukan penggemar rahasia gue, apaan coba yang mau dibanggain dari gue yang kayak gini?" kataku. "Elah, banyak kali yang dibanggain dari lo, lo cantik, pinter, beuhhh, paket komplit!" ucap Nadin sambil mengacungkan jempolnya.
Tiba tiba Bian datang dengan kaki yang terseok seok, apa yang terjadi? Bukannya kemarin dia baik baik saja? Hanya sedikit luka lebam di lengannya dan, kenapa? Kini kakinya- astaga, Bian!
"Yan, kaki lo kenapa?" tanyaku. Bian menarik kursi lalu duduk dengan perlahan, mengurut kakinya sendiri. "Gakpapa, cuma kemarin, jatuh dari motor," ucapnya. "Terus, terus, yang sakit mana?", tanya Nadin. "Udahlah, kalian gak usah kayak gitu, cuma perih sama lecet doang kok," ucap Bian. Tapi aku merasa ada yang janggal, maksudku, selama Bian hidup sampai detik ini, dia tidak pernah terjatuh saat naik motor karena Bian itu orangnya sangat hati-hati saat melakukan apapun, atau mungkin- Gaga. Ah, sudahlah.
"Lo jatuh di mana?" tanyaku. "Depan perumahan," katanya. Nadin langsung berdiri dari kursinya dan menarik kursi menghadap ke arah Bian. "Lo makanya hati-hati, Yan," ucapku. "Nih, minyak," Nadin menyodorkan minyak kayu putih ke Bian. "Makasih," ucap Bian lalu mengoleskannya ke pergelangan kakinya, "Kalung yang di tangan lo, lo dapet dari siapa, Tang?" tanya Bian. "Itu lho, yang ngirim surat," ucap Nadin ceplas ceplos. "Oh, ya udah," ucap Bian. "Lo gak marah kan? Lagian ini bukan dari Gaga," jelasku. "Gakpapa," ucap Bian lalu mengembalikan minyak kayu putih itu ke Nadin.
➖➖
"Lo suka kalungnya?" tanyanya. Maksudku, dia, si misterius itu. Ya, kini kita ada di belakang halaman sekolah. Hanya berdua, tidak terlalu sepi karena semua suara menggema hingga daerah ini.
"Gue suka, gue pikir selera lo gak sebagus ini, lo sendiri yang beli?" tanyaku penasaran. "Iya, gue yang beli. Tapi gue minta saran juga dari temen," ucapnya. Aku mengangguk kecil sambil melihat kembali kalung itu. "Makasih ya," ucapnya. Aku mengernyitkan dahi, "Buat apa?" dia memasukkan tangannya di saku jaketnya. Keren— iya, dia cukup keren, dan misterius tentunya. "Karena lo udah putusin Gaga,"
Aku mengangguk lagi, sambil membentuk huruf O di mulutku. "Lo kapam bisa buka identitas lo ke gue?" tanyaku kini. "Pas angkatannya Gaga bikin acara kelulusan," tubuhku menegang sesaat lalu normal kembali, "Jadi lo—" ucapku, "Iya, gue satu angkatan sama Gaga," potongnya. "Gue tau lo sekarang jadi anak OSIS jadi gue pastiin, lo bakalan ada di acara itu," lanjutnya.
Aku terdiam. Bingung. Siapa dia sebenarnya? Kenapa dia begitu benci dengan Gaga? Dan kenapa dia begitu ingin menjauhkanku dari Gaga?
"Ya udah, gue duluan" ucapnya. Namun, sebelum dia pergi, tiba tiba, dia mendekatkan wajahnya padaku, memotong dan mempersempit jarak antara kita, dan di saat seperti ini, aku bisa mendengar deru napasnya dari telingaku. Sejujurnya aku tidak terlalu suka dalam posisi seperti ini. "Gue, sayang sama lo," tiba tiba ponselku berbunyi. Aku tersenyum kaku padanya,
Bian : Lo dimana?
[09.06am]Lo sendiri dimana?
[09.06am]Bian : UKS sendirian
[09.07am]Gue kesana,
[09.07am]"Gue pamit ya, dan, makasih kalungnya," ucapku terburu buru. Aku meninggalkannya sebelum dia mengucapkan satu patah kata pun dalam menjawab ucapanku. Aku berlari secepat yang aku bisa, di pikiranku hanya— mengapa mereka di UKS? Aku harap tid—
"Bian!" teriakku. Bian langsung mengarahkan pandangannya padaku, dan Bian, kepalanya, astaga.
"Bian?" tanyaku. "Karena, Gaga," ucapnya. Aku membelalakan pandanganku. "Gaga? Maksudku, Gaga berantem sama lo?" tanyaku. "Tapi, muka lo lebam, lo di apain?"
"Jadi gini, tadi gue berantem sama Gaga, soalnya Gaga narik gue dan—"
"Bohong!"
Suara itu mengejutkan kami semua. Aku langsung melirik pandanganku ke depan pintu UKS di sana ada kamu dan beberapa temanmu, Ga. Aku berdiri, meskipun Bian sudah mencegah dengan cara memegang pergelangan tanganku. Entah kenapa, tetapi, kamu harus diberi pelajaran, Ga. Aku langsung melayangkan tamparanku ke pipi kananmu. Bahkan semua temanmu langsung meringis melihatnya.
"Apa!" teriakku di depan wajahmu. "Sakit? Sakit!" lanjutku. Kamu memegang pipi kananmu yang masih berbekas merah karena tamparanku yang kurasa cukup kuat. "Gak sakit," ucapmu saat itu, dan kamu tau, Ga? Aku melihatmu seperti itu malah merasa jijik. Bian langsung berada di sampingku, berjaga jaga untukku. Dengan sigap Bian langsung menghalau tanganmu yang sudah ingin menamparku, bahkan aku sudah menutup mataku.
"Gue pernah bilang sama lo, kalau lo nyakitin Lintang, lo berhadapan sama gue!" teriak Bian. Kamu langsung menarik tanganmu dari genggaman Bian. "Jadi, lo berniat buat jadi pahlawan kesiangannya Lintang?" ucapmu waktu itu. Aku meneguk ludahku, "Kalau iya? Lo mau apa?" ucap Bian dengan nada dingin. "Lo suka kan sama Lintang," ujarmu. Aku langsung menatap kamu dan Bian bergantian, apa maksud kalian? "Iya, gue suka sama Lintang, terus kenapa?"
Deg. Bian suka sama ak—aku? maksudnya, semua ini apa? "Cukup!" teriakku. Semuanya pun diam. Termasuk kamu, Ga. Awalnya aku berpikir ini semua adalah, salahmu, tapi kurasa, aku juga ikut terseret dimasalah ini.
"Lintang, gue—" ucapan Bian terpotong saat aku kembali berteriak "Cukup, Bian!" jari telunjukku langsung mengarah ke Bian. "Jadi, maksud lo selama ini," lalu telunjukku berputar ke arah kamu, Ga. Dengan tatapan sinis, "Dan ini semua gara gara, lo, Ga!" ucapku. Kamu langsung maju beberapa langkah, tepat di depanku, dan aku hanya mendapat bagian bahumu. "Cukup," ucapmu. "Ini semua salah lo!" teriakmu, Bian langsung menarikku mundur, namun aku melepaskan pegangannya, menatapnya sinis. Kenapa semuanya jadi begini? Aku langsung pergi dari UKS, tidak memperdulikan Bian yang selalu memanggilku dan banyaknya orang yang selalu melihatku berjalan dengan tergesa gesa sambil menangis. Dan tiba-tiba,
"Lo kenapa?" aku langsung mendongak sedikit ke atas. "Lo lagi," ucapku pelan, saat mengetahui itu adalah si misterius. Aku masih berusaha menghapus air mataku yang bahkan masih bisa menetes, dan suara sesenggukan yang masih bisa lolos dari bibirku. Dia langsung menarikku ke pelukannya— itu, menenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maybe, Is Not You
Teen FictionJadi, hal apa yang akan kembali menghangatkan ku? Hal apa yang akan kembali membuatku kembali tersenyum saat waktu mengutuk kesendirianku, saat kita berjauhan.