Isak tangis di malam hari sudah menjadi adegan rutin di kamar dengan luas 3 meter persegi itu. Sesekali gadis itu menampakkan wajah berserinya di kaca cermin yang dapat memantulkan bayangan tubuhnya. Cukup dengan tinggi badan sekitar 155cm, dengan bobot tubuhnya 61kg. di kamar itu dia sering menumpahkan kekesalannya terhadap dirinya sendiri. Meratapi hidup yang begitu dramatis bagi dirinya. Tumpukan buku di atas meja telah mengalihkan perhatiannya. Tak lebih dari 1 menit dia kembali menatap dirinya di depan kaca yang dapat menampilkan kecantikannya dengan kepala dibalut hijab hitam favoritnya. Kini air mata kembali membasahi pipi lembutnya. Mengingat masalalu yang menyesakkan, masalalu yang tak bisa bahkan mustahil untuk dilupakan. Beban hidup yang begitu beratnya harus ia pikul sendiri. Cinta sejatinya telah pergi menjauh, sampai ia tak bisa melihat bahkan mendengarkan lagi suaranya yang bergema penuh kharismatik. Seorang pria yang dulu mengisi hari-harinya dengan motivasi dan perhatian.
Tangisan macam apa ini? Apakah aku harus terus menangis? Mengapa aku harus menangis? Keramaian enggan mengalahkan kesedihanku. Mencari sesuatu yang tidak seharusnya ku cari. Menunggu sosok yang tidak seharusnya ku tunggu. Kini aku harus bangkit yaitu dengan memilih jalan bahwa aku harus meninggalkannya. Mungkin dia bahagia tanpa kehadiranku. Yaa... Dia akan lebih bahagia jika aku tak berada disampingnya. Langkah demi langkah kutuju, dan kini saatnya aku harus memulai....
KAMU SEDANG MEMBACA
Air Mata Jilbab
General FictionAku butuh bicaramu yang terus terang juga penuh kejujuran apa adanya. Kau menutupi kebenarannya yang ada sehingga kau telah menyakiti hati perempuan yang tak berdaya. Kau terus berkata bijak seakan kaulah yang paling benar di dunia ini. Aku sendiri...