Apa yang sedang kau lakukan saat ini? Hendakkah kau mengingatku? Entahlah... aku tak paham. Aku disini merindukanmu. Hanya kepada kertas ini aku bisa meluapkan isi hati yang tak pernah pudar padamu. 1 bulan aku tak jumpa bahkan bertegur sapa pun itu hal yang cukup sulit untuk singgah kedalam kehidupanku. Rasanya sudah berpuluh-puluh tahun aku tak mendengar bahkan menerima coretan jarimu.
Aku tak berdaya. Aku tak berhak. Sungguh aku tak berhak untuk itu. Kemana hati ini harus berlabuh? Dayungku semakin rapuh. Apakah engkau hendak menyisihkan sedikit waktu untuk merindukanku? Kemana hatimu? Aku selalu menunggu. Seribu bahkan sejuta aktivitas pun tak mampu mengalihkan perhatianku terhadapmu. Walau hari-hariku sepadat jalanan yang tersumbat laju kendaraan, sekecil apapun itu, tapi aku tak pernah hendak melupakanmu. Apa yang terjadi dengan diriku?
Siapa aku ini? Siapa? Tak henti air mata mengguyur wajah ini. Apakah aku harus bahagia? Bahagia semacam apa? Ketika namaku bersanding dengan pria yang bukan idamanku. Lalu siapa yang patut disalahkan? Siapa yang dulu dengan percaya dirinya mengagumi sosok yang belum seutuhnya ku kenali? Sungguh aku terjebak oleh tangisanku sendiri ketika sosok pemimpin keluarga sekaligus pria yang telah menafkahiku sejak kecil hingga saat ini dengan penuh kebijaksanaan menolak lamarannya.
Lantas siapa yang harus merasa bersalah? Apakah aku tak punya hati sedikitpun? Mengapa? Apakah aku akan bahagia ketika diri ini kuserahkan seutuhnya kepada laki-laki itu? Apakah langkahku ini sudah seutuhnya sempurna? Kepada siapa aku berbicara? Kini rasa sesal sudah tak berlaku. Sungguh tak berguna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Air Mata Jilbab
General FictionAku butuh bicaramu yang terus terang juga penuh kejujuran apa adanya. Kau menutupi kebenarannya yang ada sehingga kau telah menyakiti hati perempuan yang tak berdaya. Kau terus berkata bijak seakan kaulah yang paling benar di dunia ini. Aku sendiri...