Braaak......!!!
Sebuah buku dengan ketebalan sekitar 200 lembar menghamtam pintu yang telah di cat warna coklat tanpa hiasan apapun. Tanganku begitu refleksnya melampiaskan kemarahan kepada lembaran gudang rumus matematika itu. Pipi merahku mulai dibanjiri air mata kecewa. Bola mata yang memerah dan isak tangis mulai terdengar.
Ketukan pintu telah mengusik pendengaranku. Dialah ibu yang tak pernah bosan mengingatkannku untuk mengisi perut ini. Aku bergegas merapihkan jilbab dan mengusap pipi sekering mungkin.
10 langkah menuju ruang makan, tepat di depanku terpampang sajian favorit yang telah disiapkan oleh koki keluargaku. Perhatianku langsung tertuju pada semangkuk sup pedas dilengkapi potongan daging ayam dengan taburan bawang goreng diatasnya. Adik pertamaku mulai menyapa dengan senyuman kecil tanpa sepatah kata pun.
Kuraih kursi disampingnya dan kami hanya bertiga menikmati makan malam ini karena Ayah sedang bertugas di luar kota untuk menghadiri seminar pembukaan perusahaan cabang barunya di Jakarta.
"Ini makanan kesukaanmu, sepertinya malam ini anak sulung mamah sedang tidak bersemangat."
Seorang perempuan idolaku memulai percakapan ditengah keheningan ini.
"Iyaaa nih, kenapa kak? Dari tadi diem aja."
Bocah penggemar puisi ikut memancingku untuk berbicara
"Nggak... Lagi pengen diem aja."
Aku dengan judesnya menjawab pertanyaan, bahkan untuk melemparkan senyuman pun aku tak mampu.
Tiga sendok sup telah berhasil menuju ususku. Rasanya aku tidak berselera malam ini. Padahal jika di dapur tersedia sup pedas ini aku pasti tidak tanggung-tanggung untuk menyantapnya hingga membuat ibuku bersemangat menyaksikannya. Kuteguk segelas air milik siswi kelas 6 SD itu hingga membuatnya merengek kepada ibu. Dan aku segera bergegas kembali menuju kamar dan menjatuhkan diri ke atas ranjang yang beralaskan sprei berwarna hijau karena aku sangat menyukai warna itu.
Handphone di atas tumpukan buku itu bergetar dan segera tanganku meraihnya. Sebuah pesan masuk dari nomor yang sebelumnya tidak pernah ku kenal.
"Assalamu'alaikum... Ini Zain."
Ternyata dia yang tadi pagi berbincang denganku di facebook. Segera ku balas pesannya.
"Wa'alaikumsalam..."
"Kamu lagi apa Ra?"
"Lagi tiduran aja. Kamu?"
"Maaf kalau aku mengganggu waktumu."
"Nggak... O iya, sekarang kamu dimana?"
"Aku di sukabumi. Kalau kamu sekolah dimana?"
"Jauh sekali ya, sekolah juga disana? Aku di Bandung."
"Nggak, aku mesantren disini."
"Oh jadi kamu setelah lulus SMP melanjutkan kesana? Pantas saja aku tak pernah melihatmu."
"Iya, eeem sudah malam, takutnya aku mengganggu. Besok insya allah dilanjutkan lagi SMSnya ya. Wassalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Setelah malam itu, Zain selalu mengirimkan pesan setiap jam 9 malam. Dia selalu memulai percakapannya dengan menanyakan apakah aku sudah sembahyang atau belum. Sekitar 2 bulan kami setiap malam menjalin komunikasi hingga membuatku berhasil melupakan masa laluku yaitu Putra. Saat kejadiaan itu aku langsung memblokir semua akun sosial media juga menghapus semua kontaknya hingga aku tak pernah berkomunikasi lagi walaupun sesekali rasa rindu menghampiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Air Mata Jilbab
General FictionAku butuh bicaramu yang terus terang juga penuh kejujuran apa adanya. Kau menutupi kebenarannya yang ada sehingga kau telah menyakiti hati perempuan yang tak berdaya. Kau terus berkata bijak seakan kaulah yang paling benar di dunia ini. Aku sendiri...