Dengan segera ia melajukan kemudinya. 15 menit kami sampai di perempatan jalan. Jaraknya hanya 50 meter menuju rumahku. Seperti biasa aku turun disana. Sebelum pergi aku kembali melontarkan pertanyaan.
"Mengapa kau tak akan hadir di pesta pernikahanku nanti?"
Dengan penuh sikap memelas aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Ya Mahbub... Setelah Idul Fitri aku berencana untuk pergi ke Banten. Aku akan mukim disana sekitar 1 tahun. Maka dari itu setelah ini aku tak dapat menemuimu kembali."
Aku kembali terdiam. Tak lama tanganku meraih pintu dan entah mengapa jemariku terasa berat. Sebelum aku turun, ia menahanku secara tiba-tiba.
"Habibah...! Tunggu... Apakah kau tak akan mengucapkan sepatah kata pun kepadaku? Katakanlah sesuatu untuk meyakinkanku agar aku benar-benar ikhlas melepasmu bersamanya."
Bibirku kembali bergetar untuk berkata-kata. Jantungku seolah berhenti berdetak.
"Semoga Allah selalu melindungimu."
"AAMIIN... Syukron Habibah."
Dengan penuh keikhlasan telapak tangannya mengusap seluruh wajahnya yang bercahaya itu. Lalu ia mengambil sesuatu di kursi belakang. Sebuah tas kecil berwarna hijau, dihiasi motif bunga warna-warni. Aku tak tahu tas apa yang hendak ia berikan padaku. Namun tas itu tidak dalam keadaan kosong.
"Iraaa... Ambillah ini. Selamat ulang tahun habibah. Walaupun tidak tepat pada waktunya, aku harap ini dapat memberikan manfaat yang berlimpah untukmu. Dan ini jus yang tadi kau pesan. Aku sampai lupa untuk memberikannya padamu."
Apa lagi ini? Dengan keadaan seperti ini pun dia masih saja berniat untuk memberikan hadiah untukku.
Hari ulang tahunku tepat dimana pertunanganku berlangsung. Dan alasan Zain terus menelponku waktu itu adalah hanya untuk mengucapkan kalimat "Happy Birthday". Entah mengapa semua kejadian ini seperti telah direncanakan. Ketika cincin melingkar, secara bersamaan mereka mengucapkan kalimat itu padaku. Ya... Mereka dua pria yang secara tidak langsung telah aku sakiti.
Mungkin saja jika Rian tahu bahwa aku membuat pertemuan dengan Zain, bisa saja saat itu pula Rian memutuskan pertunangannya denganku.
"Ambillah ini Iraa..."
Zain menggoyakkan lamunanku. Sontak dengan tangan yang bergetar hebat aku menerima hadiah itu. Aku pergi seketika dan berlari kecil. Setelah jarak sekitar 20 meter, aku memberanikan diri untuk menoleh ke belakang dan ternyata dia masih memperhatikan langkahku yang semakin memudar.
Dalam hati aku menjerit memanggilmu Wahai Zain Kekasihku. Rasanya aku ingin meluapkan semua kekesalan dan kekecewaan atas keputusanku sendiri dengan berteriak sekencang mungkin. Tapi itu mustahil untuk ku lakukan.
Langkahku kini semakin melambat. Entah apa yang ku pikirkan saat ini. Bahagia, rindu, kecewa, menyesal, sedih. Semuanya mencambuk perasaanku. Aku semakin tak berdaya untuk berjalan di tengah malam yang dilengkapi penerangan lampu pijar di pinggiran jalan.
Yang ku pikirkan adalah bagaimana aku harus menjelaskan semua ini kepada Rere sepupuku. Padahal saat ini aku sedang tidak ingin bercerita apapun. Yang ku bayangkan adalah bagaimana jika Rian mengetahui semua kejadian ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Air Mata Jilbab
General FictionAku butuh bicaramu yang terus terang juga penuh kejujuran apa adanya. Kau menutupi kebenarannya yang ada sehingga kau telah menyakiti hati perempuan yang tak berdaya. Kau terus berkata bijak seakan kaulah yang paling benar di dunia ini. Aku sendiri...