"Boleh kah aku mendengar pertanyaanmu tadi?"
Tanpa ku sadari ia kembali memulai percapakapan.
"Iyaaa... kamu gak benci lihat aku seperti ini? Dari tadi aku perhatikan, kamu selalu bersikap seolah aku tak berbuat salah kepadamu. Mengapa?"
"Kenapa kamu bertanya seperti ini? Apakah kamu benar-benar sudah tidak mengenalku lagi? Sebenarnya aku sedih melihat sikapmu seperti ini? Aku merasa kehilangan dengan sikapmu yang dulu. Sikapmu yang selalu ceria entah sedang dilanda masalah atau tidak. Aku kehilangan sosok itu. kemana kamu yang dulu? Kemana sosokmu dulu yang selalu memberi semangat padaku? Kemana sosokmu dulu yang selalu tak kenal letih untuk terus berjuang? Kemana?"
"Apakah kamu bisa melihat ini? Lalu asalan apa yang membuatmu terus bersikap baik padaku? Aku mohon tinggalkan aku. Aku tak layak untukmu."
Aku menunjukan kilauan permata yang melingkari jari manisku. Air mata sudah tak kuasa lagi untuk ku bendung.
"Aku mohon. Aku mohon hapus air matamu."
"Kenapa? Apakah kamu malu berbincang dengan wanita cengeng seperti diriku? Apakah malu karena tangisanku telah disaksikan oleh khalayak umum disini?"
"Maasyaa Allaah... Apa yang kamu katakan habibah? Aku tidak malu. Aku tidak pernah malu. Aku tidak ridho jika kau harus mengorbankan air matamu hanya untuk masalah seperti ini. Mengertilah Ya Mahbub. Aku mohon..."
Tanpa berkata aku langsung menuju mobil dan kembali duduk di kursi yang sama. Dia dengan segera menghampiriku dan duduk disampingku. Air mataku semakin deras membanjiri jilbab ini. Aku semakin tak karuan menahan tangisan ini. Aku putus asa. Aku putus asa dengan semua ini.
"Demi Allah aku tidak bermaksud membuatmu seperti ini kekasihku. Sekali lagi aku mohon, tolong hapus air matamu. Aku mohon untuk yang terakhir kalinya. Dengarkan aku kekasihku, aku tidak pernah dan tidak akan pernah membencimu. Seperti yang kau ketahui, aku tidak pernah mengumbar kata-kata penuh rayuan kepadamu. Aku tulus mencintaimu. Sampai detik ini pun aku tetap mencintaimu. Dengarkan aku kekasihku, jangan pernah kau menyesali semua jalan ini. Jangan pernah. Kau harus ikhlas menjadi pemeran-Nya. Jadilah pemeran yang professional. Sekali lagi jangan pernah kau korbankan air matamu yang berharga itu. Maafkan aku kekasihku. Kau harus kuat. Kau adalah Ira yang tangguh seperti yang ku kenal."
Entah apa yang ku dengar dari idolaku malam ini. Perlahan air mata mulai menyusut. Aku berusaha mengusap pipiku yang basah dengan helaian tisu yang ia julurkan padaku. Perlahan aku menanam senyum dan ku terbakan kepada pria yang ku kagumi sejak duduk di bangku sekolah dasar itu.
"Naaah gitu dong... tetap senyum habibah."
"Ya Habibi....?"
Tanpa sadar aku telah mengucapkan nama itu kepadanya. Dengan mata yang berbinar ia mengerutkan dahinya pertanda menunggu perbincanganku yang selanjutnya.
"Bagaimana aku memulai ini semua? Bagaimana aku akan menjadi istri sholeha sebagaimana mestinya? Bagaimana? Apakah aku akan sanggup memulai ini semua? Sungguh aku tak berdaya. Mengapa aku harus bertemu kembali denganmu?"
"Ya Mahbub... Aku yakin kau adalah istri sholeha yang calon suamimu idamkan. Aku yakin pria itu merupakan pilihan-Nya yang terbaik untukmu? Ingatkah engkau kekasihku, bahwa sesuatu yang menurut kita baik, belum tentu baik dimata Allah. Yakinlah akan hal itu."
"Aku akan selalu mengingat kata-katamu."
Kembali tatapanku hanya tertunduk pada jilbab hitam ini.
"Kita pulang ya. Aku akan mengantarmu. Sudah pukul setengah sembilan. Khawatir nanti kamu kena tegur orang tuamu. Jangan lupa nanti setelah sampai langsung sembahyang tarawih ya. Maaf jika dalam pertemuan ini aku hanya bisa membuatmu menangis. Maafkan aku. Mungkin saat pesta pernikahanmu di gelar, aku tak dapat menghadirinya. Tapi yakinlah, do'aku selalu terpanjatkan untukmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Air Mata Jilbab
General FictionAku butuh bicaramu yang terus terang juga penuh kejujuran apa adanya. Kau menutupi kebenarannya yang ada sehingga kau telah menyakiti hati perempuan yang tak berdaya. Kau terus berkata bijak seakan kaulah yang paling benar di dunia ini. Aku sendiri...