Pertemuan Sebelum Pernikahan 2

35 2 0
                                    

Toook... Toook... Toook...

"Re....! Buka Pintunya Cepet...! Re...! Ini aku..."

Dengan penuh kecemasan aku mengetuk pintu dengan ganasnya.

"Iyaaa... Bentar..."

Tak lama kemudian dengan longdress berwarna pink ia membuka pintu dibalut dengan raut wajah yang penuh rasa heran.

"Ada apa? Ko bawa tas segala, mau kemana?"

"Udah.. nanti aja nanyanya."

Dengan segera aku menyapa paman yang hendak bersiap pergi ke masjid untuk menunaikan shalat tarawih bejama'ah. Aku segera masuk ke dalam dan mengganti pakaianku. Namun di luar Rere masih saja bertanya dengan tingkahku yang mungkin sangat aneh.

"Sebenernya kamu mau kemana? Ko ganti baju disini? Mau kemana sih? Teraweh? Aku gak akan shalat. Aku lagi dapet."

"Bukan... aku mau pergi. Pergi menemui Zain. Gini yaaa... aku buru-buru. Aku bilang sama ibu bapakku bahwa aku mau ke rumahmu. Naaah... sebenernya aku mau ketemu sama Zain. Udah jangan kaget! Aku gak kan lama ko. Ntar aku ceritain setelah pulang. Oke?"

Setelah meyakinkannya aku bergegas pergi menuju tempat dimana kita biasa bertemu. Tempat dimana dia terakhir kali memberikan sebuah buku berisi coretan jemarinya yang akan menuntunku di akhirat kelak.

Ditengah perjalanan, handphoneku kembali berdering. Tak lama aku menjawab telephonenya.

"Kamu dimana? Aku sudah sampe."

"Aku di jalan. 5 menit lagi."

"Hati-hati. Maafkan aku..."

Aku terus berjalan dan sesekali berlari kecil untuk mempercepat waktu. Napasku mulai tak beraturan. Dalam hati aku bergumam dengan alasan apa ia meminta maaf. Sungguh aneh. Mungkin karena permohonannya yang tiba-tiba.

Sepuluh meter lagi aku sampai. Namun langkah semakin ku perlambat. Sosoknya mulai tampak walau sedikit sayup. Sesungguhnya aku tak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Aku tak pernah berpikir bahwa malam 13 Ramadhan ini akan menjadi pertemuanku yang ke 4 dalam kurun waktu 3 tahun itu.

Semakin dekat semakin jelas sosok yang kini berada tepat di depanku dengan jarak 3 meter. Sosok yang mengenakan celana hitam dengan sarung coklatnya. Tak lupa blazer hitam yang menambah kharismatik juga peci hitam yang menjadi favoritku ketika bertemu dengannya.

Aku berdiri seperti patung solah kedua kakiku telah tertancap ke dalam tanah sehingga sulit untuk bergerak sedikitpun.

"Ayo naik..."

Telingaku mulai mendengar ajakan yang begitu lembutnya. Sebuah mobil putih terparkir tepat di depan pintu gerbang sekolah dasar tempat kami dulu mengais ilmu. Ya... kami selalu bertemu di tempat dimana kita mengawali pertemanan.

Saat duduk di bangku kelas 5 kami dengan tak sengaja bertabrakan saat aku hendak membeli jajanan pasar. Dia murid yang selalu mengenakan seragam dengan lengan dan celana panjangnya. Dan pada saat itu baru menyadari bahwa kami merupakan teman sekelas sejak duduk di bangku kelas 1.

Sejakitu pun aku mulai mengaguminya. Aku mengaguminya karena sikapnya yang ramahterhadap murid perempuan. Aku mengaguminya karena pengetahuan agama yang cukupluas dengan usianya yang baru menginjak 11 tahun. Aku mengaguminya karena iamerupakan murid pertama yang menebar senyum ikhlas sebagaimana mestinya.

Air Mata JilbabTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang