Pertemuan Sebelum Pernikahan 3

40 2 0
                                    

"Ya Mahbub... Ayo naik, keburu malem loooh..."

Apa? Mahbub? Apa yang ia katakan? Setelah sekian lama ia memanggilku dengan nama sayang itu. Ya... nama sayang saat kita menjalin hubungan dulu. Aku semakin terbuai dan tak kuasa menahan air mata. Namun, dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk membendungnya.

"Naik...? Naik ke dalem maksudnya? Lalu mau kemana?"

Tanpa sadar aku mengangkat kepala dan menunjukan wajah dengan balutan jilbab hitamku. Dan aku menyaksikan senyumannya dengan tangan yang hendak membukakkan pintu mobil untukku.

"Iyaaa... Naik... Aku akan mengantarmu pulang setelah kamu menemaniku untuk berkeliling sebentar saja. Masa aku harus membiarkanmu berdiri disana. Apakah pantas jika kita harus berbincang di pinggir jalan seperti ini? Kenapa kamu jadi sungkan padaku? Apakah aku pernah melakukan kesalahan saat berjalan berdua denganmu? Insya Allah aku bisa mengendalikan diri ko mahbub... Silahkan..."

Dalam hati aku tak henti ber-istighfar. Begitu lembutnya ia meyakinkanku untuk bersedia duduk. Memang ini bukan kali pertama aku menumpangi mobil itu, namun tetap saja aku tak percaya dengan semua ini. Ia bersikap seakan aku tak pernah membuat luka dihatinya, yaitu dengan menerima pinangan laki-laki lain.

"Baiklah..."

Kami mulai mengenakan sabuk pengaman dan segera menancap gas perlahan. Dia pun kembali memulai perbincangan.

"Kenapa kamu jadi gugup seperti itu? Aku menanyakan kabarmu tapi belum kamu jawab."

Ia terus berbicara padaku dengan muka penuh senyuman seperti dulu. Tak berubah sedikitpun. Sepanjang perjalanan aku hanya tertunduk dengan bola mata yang semakin berkaca-kaca yang bisa saja membasahi jilbab hitamku ini.

"Ko diem? Kita kenal udah lama looh, tapi sepertinya kamu canggung kepadaku. Kenapa?"

"Nggak... Alhamdulillah kabarku baik seperti yang kamu lihat. Lalu bagaimana dengan dirimu?"

"Alhamdulillah seperti yang kamu lihat juga. Dari tadi kamu terus menunduk. Apakah kamu tidak akan mengizinkanku untuk melihat wajahmu walau sekejap? Semenjak bertemu aku belum pernah melihat senyummu seperti biasanya. Kenapa?"

Sontak aku memberi kesempatan kepadanya untuk melihat senyumku walau tak setulus ketika aku masih menjalin hubungan dengannya. Aku sadar bahwa kini aku telah menjadi milik orang lain walaupun belum seutuhnya.

Tapi mengapa dia tidak menaruh benci kepadaku? Mengapa?

"Aku mau tanya sesuatu kepadamu."

"Iyaa kenapa?"

"Eeemmmm kamu.... Kamu gak benci melihatku seperti ini?"

Bruuuuuk....!

Secara mendadak mobil yang ia kemudikan berhenti secara tiba-tiba. Aku kaget dan sontak berteriak.

"Maasyaaa Allaaah... Ya Allaaah"

"Astaghfirullaah kamu gak papa kan? Maafkan aku. Aku mohon maaf. Aku kaget dengan pertanyaanmu seperti itu. Kebetulan ada kedai jus buah di depan, kita kesana aja ya. Gak enak sama orang kalo ngobrol berdua di dalam sini. Nanti aku akan jawab pertanyaanmu disana. Sekali lagi aku minta maaf."

"Baiklah... Aku baik-baik aja ko."

Kini kami duduk berhadapan dengan meja hijau sebagai pembatas. Sebuah kedai kopi di pinggir kota yang cukup ramai. Di sebelah kananku seorang dua remaja begitu asyiknya berbincang ditemani secangkir chocolate dan segelas jus jeruk.

"Ya Mahbub, kamu mau minum apa? Masih jus apel kah?"

Lagi-lagi dia mengundang air mata dengan memanggilku dengan nama itu. aku sungguh tak kuasa. Dan dia pun masih mengingat apa-apa yang menjadi favoritku. Sesekali aku memandangnya dan ia tak henti menebar senyuman itu.

Air Mata JilbabTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang