Cewek itu berlari keluar dari rumah megah yang baru beberapa menit yang lalu di masukinya. Wajahnya sudah di penuhi dengan air mata, hidungnya memerah. Tangannya tak henti mengusap air mata yang semakin semangat menuruni pipinya.
"Hahaha, kenapa sakit sekali ?"ucapnya di sertai tawa berharap bisa meredam air matanya.
"Di sini rasanya juga sesak,"lanjutnya seraya memegangi dadanya.
"Ayolah Vio, berhenti nangis. Lo bukan anak kecil lagi,"ia berusaha mensugesti dirinya agar air matanya berhenti mengalir. Tapi sia-sia saja. Air mata itu tanpa komando meluncur dengan derasnya membasahi pipi.
"Arghhh !"teriaknya
"Gue bilang berhenti!"ia mengusap kasar air matanya.
Ia menatap lurus ke depan, berharap dia datang dan memeluknya di tengah malam yang dinginnya menusuk tulang, bahkan hati.
Harapan hanya tinggal harapan, ia mendongak ke atas. Langit malam semakin gelap. Tidak ada bintang, hanya terdengar bunyi guntur pertanda hujan akan turun.
"Hujan," batinnya seraya tersenyum.
Hanya hujan yang setia bersamanya.
Hanya hujan yang bisa menyamarkan air matanya.
Hanya hujan yang bisa menutupi kesedihannya.
Ya, hujan memang bisa menutupi kesedihannya, tapi tidak dengan lukanya.
***
Hallo! Ini cerita pertamaku. Awalnya suka baca cerita teenfic. Lama lama kok jadi pengen nyobain gimana rasanya nulis? Gimana rasanya punya suatu karya? Ternyata gampang-gampang susah. Kalau jelek mohon dimaafkan ya. Aku masih pemula. Masih amatir.
Semoga terhibur ya :)Lv♥