Viola segera kembali ke kelasnya dengan perasaan yang semakin gundah.
Untuk apa tadi Kevin menghampirirnya? Apa karena disuruh Davin? Tidak! Tidak! Viola segera mengenyahkan pemikiran laknat itu dari otaknya. Sudah jelas tadi Davin benar-benar tidak menginginkan kehadirannya, mana mungkin lelaki itu menyuruh Kevin untuk memastikan keadaannya.
Hei! Siapa tau Davin khilaf dan merasa menyesal atas perbuatannya.
Sesorang seperti berbisik di telinga Viola.
Tunggu dulu! Untuk apa Davin repot-repot memastikan keadaanmu?
Terdengar suara lagi di telinga Viola.
Sial!
Viola rasanya hampir gila. Kenapa mencintai seorang Davin bisa membuatnya begini. Baiklah, mungkin tadi Kevin hanya kebetulan lewat dan melihat dirinya yang terlihat sangat mengenaskan. Oke sedikit mengenaskan. Ya ya benar seperti itu.
Tanpa sadar Viola sudah sampai di depan kelasnya. Ia melihat keadaan kelasnya yang ramai. Pasti hari ini Pak Bayu sedang tidak mengajar. Syukurlah, ia bisa bergalau ria tanpa harus mengikuti pelajaran Sejarah yang selalu menggoda matanya untuk terpejam.
Begitu ia melangkahkan kakinya, seseorang muncul di hadapannya secara tiba-tiba. "Ya ampun Vi, lo kemana aja sih, lo tadi nyuruh gue buat nunggu lo di kantin. Dan asal lo tau ya, gue udah nunggu lo lama ba---" ucapan Vina terhenti saat melihat wajah sahabatnya seperti belimbing sambal yang sungguh asam rasanya. Sepertinya acara mengamuk yang sudah Vina persiapkan tadi akan ia pending dulu saat melihat kondisi Viola.
Viola membawa langkahnya menuju tempat duduknya. Vina pun mengekor di belakangnya.
"Lo kenapa Vi?" Vina berbicara selembut mungkin. Ia merasa ada yang tidak beres dengan sahabatnya.
"Gak papa," jawab Viola lirih.
"Lo gak usah bohong sama gue Vi, gue udah tau lo luar dalam."
Sial lagi!
Viola lupa ia sedang berhadapan dengan Vina. Gadis itu tidak akan diam jika ia tidak cerita. Jadi percuma saja ia menutupi apa yang ia alami. Gadis itu pasti akan mengeruknya sampai dapat.
"Davin---"
"Udah gue duga, dia lagi dia lagi. Lo gak bosen ya, gue aja yang denger bosen."
Lihat bagaimana kelakuan Vina. Cantik sih, tapi mulutnya itu loh, susah di kondisikan. Belum sempat Viola melanjutkan ceritanya, gadis itu sudah memotongnya seenak udel.
"Gue belum selesai Vin, lo main potong aja."
"Stop stop! Gue udah tau genre cerita apa yang bakalan lo ceritain. Pasti Davin nolak makanan lo kan?"
Sial lagi lagi!
Vina kalau ngomong memang suka bener. Selain pas ternyata plus ada nyelekit-nyelekitnya di hati Viola."Lo jangan gitu dong, gue makin sakit hati tau gak."
"Udah gue bilangin kan, Davin itu kayak angin buat lo. Sampe kapanpun lo gak bakalan bisa megang dia, walaupun lo berusaha sekuat tenaga pun." Perkataan Vina sukses menjebol hatinya. Bibir Viola maju satu senti mendengar ucapan Vina yang ngalir gitu aja tanpa di saring dulu.
"lo udah nunggu lama Vi, apa lo gak capek?"
"Lo gak ngerti Vin, otak gue emang selalu nyuruh gue buat stop, tapi hati gue. Hati gue rasanya gak ada capeknya buat ngejar Davin."
Terserah Vina mau mengatainya bodoh, tolol atau sebangsanya. Siapa juga yang bisa mengontrol hati untuk berhenti jatuh cinta seenak yang kita mau? Viola berdoa dalam hatinya agar Vina bisa merasakan apa yang dia rasakan suatu saat nanti. Dan ia akan tertawa sekeras mungkin jika itu benar-benar terjadi.
