Davin membuka pintu kamarnya, ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia merasa hari ini sangat melelahkan. Davin mengambil handphone serta earphonenya, kemudian memasangkannya di telinga. Lagu Fix You - Cold Play mengalun indah. Davin sangat menyukai lagu itu karena bisa meneduhkan hati saat mendengarnya. Davin menghembuskan nafas berulang kali.
"Gue kangen," ucapnya lirih. Bahkan nyaris tak terdengar.
Davin memejamkan mata, menikmati lagu yang sedang mengalun di telinganya. Mata itu semakin terpejam. Jiwanya hampir memasuki alam mimpi.
Brak!
Bunyi nyaring itu membuat Davin terjaga. Matanya menoleh keasal suara.
Di tengah pintu terdapat Vina sedang berdiri tegak dengan mata nyalangnya. Davin menaikkan alis.
"Lo gimana sih Bang?"
Davin mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan Vina. Davin tidak sedang membuat masalah dengan Vina. Tapi tiba-tiba saja Vina masuk ke kamarnya, bahkan membuka pintu dengan tidak santainya.
Vina menghampiri Davin,"lo apain Viola Bang?"
"Apanya?" mendengar nama Viola Davin kembali merebahkan tubuhnya.
"Lo jelas-jelas liat Viola lagi kesakitan, lo malah pergi gitu aja," ucap Vina sambil mencabut earphone dari telinga abangnya.
"Bukan urusan gue," Davin semakin memejamkan mata. Tak peduli lagi dengan apa yang dilakukan Vina.
"Ih Bang, lo jangan jahat-jahat sama cewek. Nanti kalo gue dijahatin juga sama cowok gimana? kalo suatu saat nanti gue yang nanggung karma lo gimana?" Vina mengguncang guncang tubuh Davin.
"Berisik," Davin menjawab dengan memejamkan mata.
"Abang gue kenapa kejam banget sih?"
Karena Davin tak menanggapi pertanyaannya, Vina melanjutkan perkataannya, "lo gak kasian ya sama Viola?" Vina berusaha meluluhkan hati abangnya.
"Gak!" jawab Davin tegas.
Vina hanya menghembuskan nafasnya. Bukan hanya satu atau dua kali Vina melakukan hal ini pada Davin. Dan selalu itu jawaban yang dilontarkan Davin. Ya, selalu.
Entah apa yang ada di pikiran Viola, kenapa gadis itu bisa menyukai kakaknya. Ganteng sih emang banget ya. Baik? untuk ukuran seorang kakak lumayan lah. Usil? Enggak sih. Davin kan tipikal cowok yang hanya melakukan hal penting saja. Jadi, kata usil sangat jauh darinya. Peduli? iya sih, Davin gak tega kalau keluarganya sedang merasa kesakitan. Vina jadi tersenyum sendiri membayangkan ketika Davin bersedia menjadi wadah amarahnya ketika Vina datang bulan. Lebih tepatnya saat mereka masih SMP. Davin yang sama sekali tidak tau bahwa datang bulan itu sungguh sakit rasanya, bersedia menjadi wadah kegemasan Vina terhadap perutnya. Vina memukul mukul lengan Davin bahkan Vina sampai menarik narik rambut Davin saking sakitnya. Awalnya Davin memang sempat marah. Tapi karena adiknya sedang merasakan sakit yang katanya luar biasa hanya bisa pasrah sampai nyeri di perut adiknya itu mereda. Ah, betapa beruntungnya Vina mempunyai Davin. Hilang sudah kekesalan Vina terhadap kakaknya itu.
***
"Vin, panggilin abang kamu gih. Dia gak turun-turun tuh," perintah Sandra.
"Abang kebiasaan deh, udah besar juga. Masih aja harus dibangunin." Vina melangkah menaiki tangga menuju kamar Davin. Saat sampai di anak tangga ketiga, Vina melihat Davin.
"Nah, gini dong Bang." Vina kembali menuruni tangga menuju meja makan dimana mama serta papanya sudah ada disana.
"Gimana sekolah kamu Vin?" tanya Arya.
