Suara pertemuan antara sepatu dengan tangga menggelitik pendengaran Alvin sehingga membuatnya menoleh ke asal suara.
Disana dengan ekspresi malas yang kentara, berjalan gadis dengan mata sembabnya.Alvin tau penyebabnya. Ya, kedua orang yang menyandang gelar mama papa. Alvin berpikir, Viola ini lebay sekali. Hanya karena mama dan papanya tidak pulang ia sudah menangis tersedu-sedu seperti anak SMA yang di lecehkan gurunya. Tidak taukah mama dan papanya kerja banting tulang untuk dirinya sendiri. Entahlah Avlin juga bingung sudut pandang apa yang digunakan Viola.
Dan Alvin juga ingat, Viola menangis juga karena dirinya tidak peduli dengannya. Hei! Tidak taukah Viola sekarang sudah SMA.
Masa iya Alvin harus meninabobokannya saat ingin tidur. Mengelus manja ubun-ubunnya. Atau menceritakan dongeng agar Viola cepat tidur. Alvin jadi kesal sendiri dengan Viola yang kekanak-kanakan.
Ya! Menurut Alvin Viola sungguh kekanak-kanakan. Itulah faktor penyebab lain yang menyebabkan Alvin tak betah berada disini. Di rumahnya sendiri.Viola juga penyebabnya!
Ia kembali fokus dengan ponselnya agar tidak terlibat pembicaraan dengan adiknya itu. Tapi sebuah suara lagi-lagi membuyarkan konsentrasinya dari permainan pou yang baru saja dimulai.
"Kak."
"Heum." Alvin masih fokus dengan ponselnya. Sengaja membuat adiknya menyerah untuk bicara dengannya.
"Ih kak, dengerin dulu dong."
"Gue udah denger."
Lama tak ada suara akhirnya Alvin mengangkat wajahnya. Di samping sofa ia duduk terdapat adiknya memandangnya dengan ekspresi yang sulit dibaca.
"Apa sih, lo ganggu gue."
Alvin semakin kesal saat adiknya tak berbicara apa-apa."Nanti berangkat sekolahnya bareng ya?" Mohon Viola.
"Gak! Lo lupa sama perjanjian kita?" Alvin kembali mengingatkan akan perjanjian yang sudah ia sepakati dulu.
Viola dan Alvin memang satu sekolah. Tapi, Viola satu tingkat di bawah kakaknya. Mengenai perjanjian itu, Alvin meminta Viola untuk tidak menceritakan kepada temannya kalau Alvin adalah kakaknya. Saat ditanya apa alasannya. Alvin tidak mengatakan apa-apa, namun dengan tegas ia menyuruh Viola untuk menuruti kemauannya. Dan benar saja, sampai saat ini teman-teman Alvin maupun Viola tak ada yang mengetahui perihal hubungan saudara mereka.
"Sekali aja kak, Vio pengen berangkat sama kaka." Viola kembali bernegosiasi.
"Nanti turunnya agak jauh dari sekolah deh, asal aku satu mobil sama kakak."
Apa-apaan Viola ini, seperti anak kecil saja!
"Gue bilang enggak ya enggak, lo ngotot banget sih. Lagian lo biasanya di anter sama supir. Gak usah sok manja deh. Gue gak suka punya adek manja!"
Dibentak seperti itu Viola merenggut takut. Pasalnya baru kali ini ia mendengar kakaknya mengucapkan kalimat yang lebih panjang dari sebelumnya. Dan itu tandanya kakaknya benar-benar marah.
"Ba... ba...baik kak, Viola gak akan jadi adek manja." Setelah mengucapkan itu Viola beralalu dari hadapan kakaknya. Ia urungkan niatnya untuk menumpang pada kakaknya. Akhirnya ia kembali memanggil pak Ujang supirnya, untuk nengantarkan ke sekolah.
Sekuat tenaga Viola menahan air matanya. Ia tak ingin membuat pak Ujang khawatir. Tapi tetap saja air mata itu dengan tidak tau dirinya mengalir dari sudut matanya. Viola benci menjadi cengeng, hanya saja ia benar-benar tidak bisa menahan air matanya. Bentakan kakaknya masih terngiang-ngiang di telinganya. Viola kembali berpikir, apa yang salah dengan keinginannya. Viola hanya ingin satu mobil dengan kakaknya. Ia hanya ingin kakaknya menghibur Vio untuk mengikis rasa kecewanya kepada mama dan papanya.