"Dav."
"Hem?" Davin bergumam menjawab panggilan Kevin yang sudah menganggu konsentrasinya untuk mecahkan rumus fisika yang berkelit-kelit dihadapannya. Dia memang tidak terlalu suka dengan fisika. Tapi yah, sebagai murid SMA sudah seharusnya dan mau tidak mau ia harus menunaikan kewajibannya.
"Kemarin gue liat dia." Jawaban Kevin menghentikan gerakan pensil yang tengah mencoret-coret kertas tak bersalah yang sudah terisi berbagai huruf dan angka.
Davin kemudian melirik Galang yang malah berhaha hihihi dengan gadis-gadis dikelasnya. Ya, sahabat satunya itu memang hobi menggoda gadis dikelas.
"Dia? Siapa?" Pertanyaan kembali terlontar sesaat setelah Davin kembali melanjutkan memburu jawaban dari soal Fisika di hadapannya.
"Gue yakin lo ngerti." Jawab Kevin.
"Sialan!" Umpatan Davin yang cukup keras jelas mengagetkan Kevin yang masih menatap Davin dengan harap-harap cemas.
"Lo kenapa sih?" Tanya Kevin setelah meredakan ketekejutannya.
"Ini soal benar-benar gila! Padahal gue udah masukin angka-angkanya bener kok. Tapi jawababnya gak ada. Kan sialan!"
"Lo yang sialan! Dav, gue serius!"
"Dia siapa sih? Gue gak tau maksud lo siapa?" Kali ini Davin benar-benar memfokuskan perhatiannya pada Kevin. Ia malas harus berdebat lama-lama dengan Kevin. Kevin sama sekali tidak ahli untuk di ajak bercanda. Seperti saat ini. Ia terlalu serius dalam membawakan sesuatu. Meskipun Davin tidak secerewet Galang, tapi Davin juga tidak terlalu suka dengan keseriusan karena menurut Davin terlalu serius malah akan berujung pada ketegangan. Lain halnya dengan Galang. Galang seperti kebalikanya Kevin. Tapi anehnya mereka tetap akur meskipun kepribadian mereka sungguh betolak belakang. Ya mungkin itulah perbedaan. Perbedaan yang saling melengkapi.
"Key."
Satu suku kata itu sontak membuat kesadaran Davin tertarik begitu mudahnya. Ia segera fokus pada satu kata itu melupakan topik perbedaan yang saling melengkapi yang sedari tadi menari-nari di otaknya. Topik itu tak lagi penting ketika satu suku kata----lebih tepatnya nama itu berhasil menerobos indera pendengarannya dan menyerap pada otaknya lalu menghentikab kerja sarafnya.
"Dav,"
Davin masih terdiam ketika Kevin kembali memanggil namanya.
"Tidak mungkin!" Seruan itu terlontar pertama kali ketika sarafnya kembali berfungsi. Saraf sensornya seperti menangkap rangsangan yang menurutnya sedikit berbahaya bagi hatinya.
"Gak! Itu gak mungkin!" Gelengan kepalanya juga turut berperan sebagai wujud penolakan jika apa yang diucapkan Kevin benar-benar sebuah hal mustahil yang akan terjadi didunia ini.
"Tapi gue lihat sendiri dengan mata kepala gue!" Kevin juga semakin menaikkan intonasi suaranya ketika kebenaran yang ia serukan sama sekali tidak di percaya bahkan ditolak mentah-mentah oleh sahabatnya itu.
"Dan lo tau kalau gue sendiri yang nganterin dia Vin!"
"Dan dengan mata kepala gue sendiri juga, gue liat dia udah ninggalin gue!"
"Astaga! Dimana letak kewarasan lo Vin?"
"Lo juga ada di tempat yang sama nemenin gue waktu itu!"
"Sumpah becandaan lo garing Vin!"
"Lo emang gak bakat buat becanda dan gue tau itu! Jadi lo gak guna sama sekali ngelucu pakek bahan kayak beginian!"
Kevin sudah menduga jika reaksi sahabatnya akan seheboh ini. Tidak heran jika Davin yang pertama dikenalnya ketika berada di Taman Kanak-Kanak yang dulunya mempunyai peribadi riang gembira sudah berubah menjadi cowok antipati terhadap lingkungan akan kembali ke cowok cerewet yang jika sudah menyinggung penggalan nama yang disebutkan Kevin tadi.