Lio prov.Perang dingin di pagi hari sudah seperti makanan sehari-hari bagiku. Sampai muak rasanya.
"Urus saja keluarga anda, dan jangan ikut campur dalam kehidupan saya dan ibu saya."
Brak!
"Apa ini yang diajarkan disekolah mu! Bukannya tambah pinter malah jadi anak pembangkang!"
Aku menatapnya datar. Baru pagi dan emosi ku sudah naik diubun-ubun.
"Sekali lagi saya tegaskan kepada Anda. Jangan ikut campur dalam kehidupan saya. Lebih baik anda fikirkan istri muda mu dan anak kesayanganmu itu," ucapku melirik ke meja didepanku yang di duduki oleh 'istri muda' yang tak lain yang tak bukan mama tiriku dan disebelahnya ada anaknya yang kini menjadi kakak tiriku.
Aku kembali melanjutkan makananku dalam diam. Tanpa mempedulikan tetap tajamnya yang tertuju padaku.
"Dasar anak sama ibu sama saja! tidak tahu diuntung!"
Aku menutup mataku untuk menetralkan amarah yang mulai keluar.
"Apa hanya ini pekerjaan anda dipagi hari? Tidak lihatkah istri mudamu yang mantap ku iri?" bukan iri tapi lebih tebih tepatnya sinis, "Saya sudah mengurus kepindahan saya. Saya akan keluar dari rumah anda nanti siang setelah pulang dari sekolah. Jadi anda bisa tenang sekarang begitu pula istri muda anda dan anak tiri anda. Benar bukan?"
"Lio kamu mau pindah kemana? Kita bisa tinggal disini bersama bukan?" kali ini istri mudanya mengangkat bicara.
Aku tersenyum kecil kearahnya, "Tidak perlu mengkhawatirkan saya. Saya hanya ingin hidup mandiri. Baiklah saya sudah selesai. Saya permisi," ku ambil tas yang berada di kursi sebelahku dan berjalan keluar.
Aku menatap Rudi, supir pribadi pemilik rumah ini sedang memanaskan motor kesayanganku. Sesekali ia mengecek bannya juga.
"Eh den muda ini montornya sudah saya panaskan. Tinggal pake aja."
Aku tersenyum kearahnya, "Terima kasih paman, ini uang tips buat paman," aku memberikan uang tiga lembar berwarna merah kedalam sakunya.
"Loh den, buat apa. Kan saya sudah di gaji sama tuan."
"Itu uang tips karena paman sudah merawat motor ku dengan baik. Sudahlah diterima saja."
"Tapi ini terlalu banyak den."
"Paman bisa menggunakannya untuk membayar pengobatan anak paman. Bukannya anak paman masih sakit kan?"
Paman Rudi tersenyum kearahku, "Makasih den. Iya tapi alhamdulillah keadaannya sudah membaik sekarang den."
"Syukurlah paman," aku menaiki motor ke sayanganku, "Baiklah paman. Aku berangkat dulu ya."
Aku berpamitan kepada paman Rudi.
"Iya den hati-hati ya."
Aku mengangguk mengiyakannya, "Dan satu lagi panggil aku Lio jangan den lagi. Oke?"
"Siap den eh Lio maksud paman."
Aku menggeleng pelan, "Aku berangkat dulu paman."
"Iya Lio."
Aku melajukan motornya meninggalkan rumah itu. Jam masih menunjukkan pukul setengah 6. Masih terlalu pagi untuk sekolah. Aku memutuskan ketoko bunga untuk membeli 1 buket bunga Mawar merah dan 1 tangkai bunga Mawar biru. Setelah selesai aku kembali melajukan motor kerumah sakit yang cukup dekat dengan sekolah. Setelah sampai kuparkirkan motor dan berjalan masuk keruangan vvip dimana ibunya dirawat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Roses Blue
Teen FictionRintih air membasahi, Beribu nafas.. beribu jiwa.. Rintik air menggenangi, Seluruh ruas yang ada.. Mengalir.. tuk sucikan kesalahan.. Turun dengan damai.. Dihentak gemuruh badai, Mengalunkan ketenangan.. Menggoyahkan kedamaian, Ada sunyi.. tatkal...