Keesokan harinya seperti biasa aku membersihkan kamarku sebelum mandi. Selang 20 menit kemudian aku sudah siap dengan seragam sekolah melekat pada tubuhku. Aku keluar kamar berjalan menuju dapur. Hari ini mama masuk pagi jadi tidak sempat membuatkanku sarapan. Terdapat mie instan dan beberapa telur dikulkas juga nasi, aku memutuskan memasak mie instan saja, karena itu lebih praktis. Tak butuh waktu lama mie ku sudah jadi."Assalamualaikum. "
Seperti biasa Dika dan Dika menghampiriku untuk sekolah. Tapi mereka pasti menumpang makan ditempatku dulu.
"Wa'alaikum salam."
"Loh kok gak ada makanan sih?" tanya Dika.
"Gak ada makanan disini, pergi-pergi sana ngrusak moment makan gue aja." jawabku ketus.
"Dih pelit amat lo" garam Diki.
"Biarin." tukasku.
Terdengar helaan nafas. Namun tak kuhiraukan .
"Tante Lidia mana? kok gak kelihatan"
"Masuk pagi Ka"
"Oh." Dika dan Diki ber oh ria.
"Ngomong-ngomong lo udah pacaran ya sama Lio?"
Uhuk uhukk.
"Jadi bener ya? Wihh si Lio jago juga ya bisa dapetin Liana yang super duper galaknya melebihi nenek sihir lagi PMS." balas Dika.
"Heh enak aja. Gue disamain sama nenek lampir! Udah ah gue berangkat dulu. " aku meninggalkan mereka tanpa menengok kebelakang. Seleraku hilang sekejap mengingat kelakuan Lio kemarin.
"Eh tunggu li." dengan buru-buru Dika dan Diki bergegas menyusul ku.
"Sorry deh, tadi gue kan cuma bercanda Lian." ujar Dika.
"Hm."
"Tuh kan masih marah. Ya udah ntar gue traktir makan dikantin deh."
"Janji?"
"Iya." Dika dan Diki mengacak-acak rambut Liana.
"Ih berantakan tau."
"Tapi tetep cantik kok." ucap Diki dengan mengedipkan sebelah matanya.
"dih adik lo makan apa Ka? Kok bisa kaya gini?"
"Dia gak makan tadi,tapi minum teh buatan lo" jawab Dika polos.
"Tapi gue inget kok 100% gue belum ngasih jampi-jampi sama minuman gue."
"Anjirr sialan lo. Gue masih normal lagi, lagian ya gue kalo mau nyari cewek gak kaya lo yang kurus, kering, otak udang, IQ jongkok."
"Biar dikatakan otak udang, IQ jongkok lo juga nyontek sama gue kalo ulangan."
"Hay sudahlah sampai kapan kalian akan selesai? Liat jam!"
"7 kurang 15 menit." ucap Liana dan Diki dengan nada tinggi.
"Mampus kita"
"Tamat riwayat kita."
"Ki ambil montor yok. Gak akan nyampe sekolahan kalo naik angkot. Lian tunggu disini dulu ya." perintah Dika
"Sip" aku mengacungkan jempol.
Selang beberapa menit kemudian terdengar suara deru montor yang mendekatiku.
"Naik buruan." perintah Diki pada Liana.
"Ogah. Lo boncengan ama Dika aja. Biar gue sendiri aja."
"Ya udah nih."
Aku mengambil alih montor yang dipakai Diki. Sedangkan Dika dan Diki berboncengan. Dengan gas tinggi kami membelah jalan macet ibu kota. Namun tak disangka-sangka ban montor yang dikendaraiku oleng. Aku langsung mengerem, dan turun dari montor untuk mengecek apakah terjadi sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Roses Blue
Teen FictionRintih air membasahi, Beribu nafas.. beribu jiwa.. Rintik air menggenangi, Seluruh ruas yang ada.. Mengalir.. tuk sucikan kesalahan.. Turun dengan damai.. Dihentak gemuruh badai, Mengalunkan ketenangan.. Menggoyahkan kedamaian, Ada sunyi.. tatkal...