Mentari telah naik dari peraduannya, cahayanya berusaha menelusup celah tirai kamar milik seorang gadis bernama Liana atau bisa dipanggil Lian. Hal itulah yang membuat membuat erangan lolos dari bibir tipisnya."Ergh, jam berapa ini?" tangannya mulai mencari-cari hpnya untuk melihat jam.
Ia membuka matanya yang masih berat karena rasa kantuk masih menyelimutinya, jam masih menunjukan pukul 05:30 WIB. Ia memilih tidur kembali namun baru saja ingin menutup matanya suara lantang terdengar dari luar kamarnya. Dia Lidia, ibunya Lian.
"Lian bangun sayang. Udah siang nanti kamu telat," pekik Mamanya dari luar kamarnya.
"Iya Ma, Lian udah bangun. "
"Mandi sana dulu sana, Mama mau lanjutin masaknya. "
"Iya Ma. "
Dengan enggan Lian mengambil handuk dan seragam sekolahnya sebelum masuk ke kamar mandi. Selang 20 menit kemudian dia telah siap dengan memakai seragam putih abu-abu beserta dasi yang melingkar di lehernya. Ia mengambil tas merahnya yang berada di meja belajarnya. Ia keluar menghampiri Mamanya di dapur sedang berkutat dengan masakannya.
Cup!
Lian mengecup pipi kiri mamanya, itulah kebiasaannya.
"Pagi Mama," sapa Lian dengan memeluk Mamanya dari belakang. Ia menyelipkan kepalanya pada bahu Mamanya.
"Pagi Sayang," balas Lidia, dengan sayang ia mengelus pipi kiri Putri tercintanya.
"Wih asik menu hari ini nasi goreng," Lian mulai melepaskan pelukannya. Ia beralih duduk di meja makan.
Lidia hanya menggelengkan kepalanya. Sementara Liana mengambil dua piring untuk Dia dan Mamanya.
"Gimana sekolah kamu Sayang?"
"Baik kok Ma, Semuanya lancar."
"Terus cafe kamu gimana?"
"Alhamdulillah sekarang omsetnya meningkat Ma."
"Syukurlah, oh iya nanti malam Mama pulang malam Sayang," ucap Lidia sembari meletakkan nasi goreng yang masih mengepul ke dalam piring yang telah diambil putrinya. Sisanya ia letakan pada mangkuk yang lebih besar.
"Mama kan bisa dirumah aja. Lian rasa hasil dari cafe cukup kok buat mencukupi kehidupan kita."
Bukan hal yang tabu jika mamanya pulang malam. Setelah papanya meninggal karena kecelakaan. sekarang mamanyalah yang mencari nafkah untuk kehidupan mereka. Mamanya bekerja di pabrik tekstil dekat dengan tempat mereka tinggal. Padahal Lian memiliki cafe yang cukup besar setidaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kami, namun mamanya selalu saja menolaknya. Mamanya selalu bilang lebih baik uang itu digunakan untuk mengembangkan cafenya.
"Mama masih sanggup kok kerja sayang. Mama rasa juga tubuh mama lebih sehat kalo kerja sayang."
Liana mendesah lelah, usahanya untuk membujuk mamanya selalu saja gagal.
Tok tok tok!!
Suara pintu diketuk mengalihkan perhatian Lian dan Lidia.
"Assalamualaikum Lian," pekik dua pria yang dikenal oleh Liana.
Ceklek! Tanpa dibukakan pintupun dua pria itu langsung membuka pintu sendiri. Mereka sudah mengenali siapa yang datang.
"Waalaikumsalam."
"Pagi tante Lidia, " sapa Dika dan Diki kompak disertai cengiran khas mereka.
"Pagi, duduk dulu kami baru mau makan, kalian sudah makan belum? Biar Tante ambilin buat kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Roses Blue
Teen FictionRintih air membasahi, Beribu nafas.. beribu jiwa.. Rintik air menggenangi, Seluruh ruas yang ada.. Mengalir.. tuk sucikan kesalahan.. Turun dengan damai.. Dihentak gemuruh badai, Mengalunkan ketenangan.. Menggoyahkan kedamaian, Ada sunyi.. tatkal...