Hari demi hari sudah berlalu, dan hubungan ku dengan Lio semakin membaik. Namun status kami masih berteman. Sedangkan untuk Liam, sejak aku memutuskan untuk putus dengannya ia selalu membujukku untuk balikan, tapi aku selalu menolaknya sampai-sampai aku bosan sendiri. Tapi entah kenapa beberapa hari lalu ia sudah berhenti menerorku. Aku mencoba tidak memikirkannya tapi terkadang tanganku gatal ingin menelponya dan bertanya kenapa dia berhenti? Namun aku selalu menepisnya dan lebih memilih sibuk dengan pelajaran. Apalagi sekolah sudah menerapkan tambahan jam pelajaran.
Terkadang aku sempat bingung dengan perasaanku sendiri. Aku nyaman didekat Liam bahkan aku masih suka mengingat kejadian di apartementnya, tapi diotakku terus berputar nama Lio. Apa mungkin aku mencintai dua orang itu? Apa itu mungkin?
'Andai saja perasaan gak serumit ini.'
Aku melirik ke jendela menatap langit yang dipenuhi oleh awan hitam yang membuat upacara dibatalkan. Sebagai gantinya para guru mengadakan apel diruangan guru, alhasil jam pertama kosong. Dan penghuni kelasku baik murid cowok ataupun cewek milih berdiam diri dikelas. Ada yang memilih membaca komik, bermain rubik, mengobrol, bernyanyi-nyanyi tak jelas, tapi rak banyak pula yang memilih tiduran.
Aku sendiri memilih tiduran dengan headset menyumpal ditelingaku. Sepertinya aku masih kangen sama hari minggu.
"Lian, bangun!!" pekik Diki keras membuat ku meringis pelan.
"Ck! Apa sih Ki? Gue ngatuk!!" aku menggeram kesal.
"Bantu gue kunyuk!!"
"Kenapa?" ucap ku kesal dengan kening berkerut.
"Menurut lo gue harus memilih universitas di Indonesia apa di California?" tanya Diki.
"Kenapa lo tanya gue? Lo tanya aja sendiri sama diri lo sendiri." jawabku ketus.
Pletak!! Sebuah sentilan kencang tepat mengenai dahiku.
"Kalo gue tau gue gak akan tanya sama lokunyuk!!" gerutu Diki kesal, "Gue tanya serius ini!"
"Ck! Iya iyaaa, kalo gue disuruh milih sih gue pilih di California. alasannya 1 gue bisa bebas dari doktrin mama gue, 2 gue bisa belajar mandiri, 3 kali aja gue ketemu bule-bule kece kaya Justin Bieber, Zain Malik, atau gak kaya om Tom Cruise. Behhh kapan lagi coba dapet rejeki nomplok 1 dapet suami caem 2 memperbaiki keturunan jiahahaha." aku tertawa terbahak-bahak membayangkan bagaimana jadinya jika aku bertemu dengan bule berparas sexy dan erotis seperti itu.
Pletak!!
Sebuah hadiah sentilan lagi-lagi kudapatkan, "Argh sekit nyuk!!" aku mengelus dahiku yang mulia memerah.
"Satu kali lagi lo Kasih jawaban gak jelas. Gue Kasih bogem mentah dari gue."
"Dih jahat banget sih gue kan bercanda coy." aku mengerucutkan bibirku, "iya iya deh gue serius, pertama lo harus tentuin lo mau ambil fakultas apa dulu? Coba lo cari tau di California ada gak fakultas yang lo tuju kalo gak ada lo bisa ambil disini aja, tapi kalo ada setidaknya lo minta pendapat dari kedua orangtua lo! Gak ada salahnya bukan?"
Dika menyandarkan tuhunya pada tembok kelas seolah yang ada difikirannya melelahkannya, "Di California sih ada fakultas yang gue pingin tapi gue bingung,"
"Bingung kenapa?"
"Apa gue bisa hidup mandiri disana? Nanti kalo gue sendirian disana gimana? Terus hubungan gue sama Dita gimana? Padahal gue baru mau mulai sama Dia," ucap Diki, ia menghela nafas berat.
Ini pertama kalinya aku melihat seorang Diki yang biasanya bercanda dan berbuat onar, sekarang berfikir dewasa dalam mengambil sebuah keputusan.
"Gue rasa lo cuma perlu latihan, jadi pas lo di California gak begitu kaget dan tertekan belajar hidup mandiri, dan mengenai Dita. Jodoh gak akan kemana coyy, kalo kalian jodoh pasti ketemu juga. Kalo gak jodoh lo kan bisa dekan bule-bule disana. Siapa tau lo dapet pacar kaya Selena Gomez."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Roses Blue
Teen FictionRintih air membasahi, Beribu nafas.. beribu jiwa.. Rintik air menggenangi, Seluruh ruas yang ada.. Mengalir.. tuk sucikan kesalahan.. Turun dengan damai.. Dihentak gemuruh badai, Mengalunkan ketenangan.. Menggoyahkan kedamaian, Ada sunyi.. tatkal...