Chapter 2: Eilen

6.5K 1.1K 808
                                    


Brick

Brick

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Brick duduk di anak tangga perpustakaan. Menggosok-gosok tengkuknya yang kaku. Dari semua ketidaknyamanan terkurung dalam satu bentuk, yang paling menyiksa adalah nyeri otot. Sepertinya ia telah keliru menentukan tinggi badan. Tiga puluh senti di atas rata-rata manusia di daerah ini, jelas ia banyak menunduk kalau berbicara dengan mereka. Tapi tiga kesempatannya untuk berganti bentuk sudah habis digunakan. Nyaman tidak nyaman, ia harus hidup dengan fisik seperti ini. Ugh, kayak bentuk lain ada bedanya saja. Halimun seharusnya malah tidak bersosok.

Brick mendesah, kikuk mengatur posisi tangan kaki dan punggungnya. Ck! Kalau mau nyaman, ya masuk ke furball-nya dan tanggalkan fisik kaku ini. Tapi jam kerja masih panjang.

Di ruang utama kafe, tamu sudah berkurang lebih dari separuhnya. Bisa dilayani lima cebisan Lavender. Tiga tepatnya, karena yang dua lagi baru saja memudar kehabisan energi. Lavender yang asli ia lihat tadi sedang memberi instruksi pada Tiger. Menyuruhnya mengembalikan jalur-jalur jalan ke arah semula. Kalau tidak, pengunjung tak akan pernah habis.

Dari jendela lebar di bagian samping, tampak Minty menanami lagi area hijau yang tadi dibukanya. Kurang kerjaan! Besok kan bisa jadi mereka perlu space lagi. Tapi Minty bukan Minty kalau tidak menumbuhkan tanaman.

Cloudie dan Aegean masih di pos masing-masing. Cuma mereka berdua yang tidak pernah mengeluhkan batasan bentuk fisik. Cloudie malah terlihat menikmati perannya sebagai cewek modis dengan tubuh seperti boneka. Sedangkan Aegean ... dia sih terlalu aristokratis untuk mengeluh.

"Hey." Seorang gadis seumurannya mendekat di kaki tangga. "Perpusnya buka? Aku mau lanjutkan bacaan minggu lalu."

Brick tercengang. Penggemar kopi dan kue tak terhitung. Pelanggan butik banyak. Pengagum galeri lumayan. Pencinta hijau-hijauan juga terus bertambah. Tapi pembaca? Perpustakaannya sepi dari hari ke hari. Orang-orang naik sekadar untuk lihat-lihat atau selfie. Brick mengabaikan mereka. Tapi gadis ini katanya membaca. Pustakawan macam apa dia sampai tidak tahu?

Buru-buru ia berdiri, nyaris tersandung kaki sendiri. "Ya, selalu buka. Silakan."

Gadis itu naik dan mendahuluinya masuk. "Aku heran, perpus ini luasnya paling dua kali ruang kelasku. Tapi bukunya banyak sekali. Rasanya enggak habis-habis aku kelilingi. Mengembang ke dimensi lain, ya?"

"Wah, kamu tahu?" Brick heran sekaligus bangga. Akhirnya, ada juga yang memperhatikan kerja keras dan keahliannya. "Memang aku perluas ke dimensi keempat. Dimensi waktu. Past and future."

Gadis itu tertawa. "Pasti kamu banyak baca cerita fantasi."

Ah, ternyata tak ada bedanya dengan manusia lain. Brick menaikkan kacamata, sambil menelan lagi penjelasannya tentang desain arsitektur perpustakaan.

Lavender benar tentang sifat manusia. Bahwa mereka makhluk yang senang mengikatkan diri dengan aturan:

Rule no.1: Manusia memiliki akal yang jadi batasannya sendiri. Memisahkan mana yang masuk akal dan mana yang tidak, tanpa ampun.

Rule no.2: Manusia hanya percaya apa yang ingin dipercayainya, bisa mati-matian tidak percaya sesuatu meskipun menurut rule no.1 masuk akal.

Rule no.3: kebalikan no.2.

Itu sebabnya mereka berenam tidak perlu repot-repot menyimpan rahasia. Segala hal tentang mereka terlalu fantastis untuk dipercaya. Oh, kalian sedang cosplaying? Dapat ide dari buku atau film apa? Serius deh, cerita sesungguhnya bagaimana? Dalam waktu singkat, mereka berenam belajar, akan jauh lebih sederhana kalau mereka mengarang-ngarang saja penjelasan yang masuk akal.

"Oh ya, namaku Eilen. Kenapa kamu dipanggil Brick? Bata? Karena rambut merahmu? Itu dicat atau asli?"

Brick meringis. Rule no.4, tambahnya, manusia itu melit, selalu ingin tahu, tapi tidak selalu suka dengan fakta yang ditemukannya. "Brick itu nama keluarga. Namaku sendiri Carmine. Ya, dua nama itu saja mengindikasikan aku bangsa merah. Rambut jelas tidak asli karena Halimun tidak punya bentuk fisik."

Sesaat Eilen tercengang, lalu tawanya meledak. "Kamu lucu."

"Buku apa yang sedang kamu baca? Aku ambilkan." Brick mengalihkan topik.

"Oh, tidak usah. Aku tahu tempatnya," Eilen menghambur ke gang paling ujung. Dan kembali dengan buku yang tidak terlalu tebal. "Lihat. Judulnya, Esok Terakhir Eilen, based on a true story. Kebetulan ya nama tokohnya sama kayak aku. Kebetulan juga ceritanya mirip dengan cerita hidupku. Paling tidak bagian awalnya. Jadi kayak baca catatan harian. Enggak tahu selanjutnya bagaimana. Aku penasaran karena penulisnya kasih spoiler di judul. Eilen bakal mati. Ini menarik. Kamu sudah baca?"

Brick terbelalak sampai kacamatanya merosot. Eilen telah mengakses koleksi dari masa depan. Kesamaan nama dan peristiwa bukan suatu kebetulan. Buku itu memang tentang dia. Tertulis dan muncul di perpustakaannya karena Eilen menginginkan buku yang gue banget. Kisah hidup Eilen pasti layak dibukukan sehingga perpustakaan mengabulkan keinginannya. Jarang-jarang perpustakaan tergerak oleh pengunjungnya. Cuma satu yang memungkinkan itu terjadi. Eilen memancarkan emosi yang sangat kuat tentang kehidupannya sekarang. Mungkin rasa frustrasi atau kesedihan mendalam.

Brick sama sekali tidak melihat tanda-tandanya pada Eilen. Gadis itu tampak ceria dan baik-baik saja. Itu sebabnya ia sangat terkejut. Menarik, katanya? Tidak, buku ini menakutkan. Bisa memberi gagasan buruk pada Eilen untuk mewujudkan peristiwa di buku yang berujung pada kematiannya. Membuat buku itu benar-benar a true story.

"Coba aku lihat." Brick menyambar buku itu, mengejutkan Eilen. Ia membuka-buka halamannya. Skimming adalah keahliannya, walau tidak ada apa-apanya dibandingkan kemampuan Aegean membaca dengan eidetic memory. Tapi dari kalimat-kalimat yang tertangkap mata, Brick tahu dugaannya benar. Ia harus "berbicara" dengan perpustakaan nanti. Mungkin ada kelemahan pada desain programnya. Sekarang ia perlu mengamankan buku ini dulu. "Eilen, ini edisi lama. Cetakannya buruk sekali." Diam-diam ia menyalurkan energi dari jemarinya untuk melelehkan tinta. "Coba lihat di rak 7A lorong 3. Ada edisi barunya di sana."

"Okay." Eilen melompat-lompat riang menuju bagian present. Oh ya, ia akan menemukan buku yang dicari, dengan banyak halaman kosong di dalamnya. Terisi hanya setelah Eilen menentukan pilihan pada setiap peristiwa yang dihadapi.

Brick mengembuskan napas lega. "Kamu boleh bawa pulang buku itu. Kembalikan kapan saja."



Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hexotic CaféTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang