Menikah ... kata itu tak pernah ada selama aku menjalin hubungan dengan Vincent. Aku yang kesepian dihiburnya. Sedangkan dia yang rapuh selalu kudukung dengan berada di sisinya. Kami saling menjaga, melengkapi kekurangan, hingga menjadi bergantung satu sama lain.
Aku tak tahu apakah aku benar-benar mencintainya. Jika memang cinta, kini tak lagi kurasa. Jangankan menghapus gundahku, hadirnya saja lebih sering kudamba. Semakin hari Vincent menjadi orang asing yang sulit sekali kurengkuh.
Menjadi anak pertama dan kedua adiknya perempuan membuat Vincent diberi tanggung jawab yang besar oleh ayahnya. Mungkin sekitar enam bulan yang lalu, dia masuk rumah sakit karena tak menjaga kesehatannya. Dia semakin tertekan karena kondisi keuangan perusahaannya sedang tak stabil. Aku kasihan dan akhirnya memaksa Vincent untuk istirahat lebih lama.
Maksud baikku tak sejalan dengan pemikiran ayahnya. Vincent justru dilarang berhubungan denganku karena ayahnya menganggap aku pengaruh buruk. Masih kuingat bagaimana Vincent menangis di hadapanku, memohon agar aku tak pergi darinya. Dia meminta agar aku bersabar dan tetap mendampinginya hingga pada waktunya kami bisa bersama.
Namun, setelah sekian lama menanti aku justru kehilangan minat. Aku terlalu lelah. Tak ada rasa bahagia ketika Vincent mengajakku menikah.
"Ayo, kita bicara sambil sarapan," ajaknya. Dia memeluk bahuku karena aku diam saja. "Ayo, Sayang."
Kami berjalan keluar kamar dan menuju ruang makan. Ada dua gelas jus jeruk dan satu piring nasi lengkap dengan beberapa lauk. Aku duduk bersebelahan dengan Vincent. Kutarik piring itu agar lebih dekat denganku.
"Ibu yang ngurus villa enggak bisa bikinin waffle. Bikin sarapannya gitu, tuh," ujarnya.
Aku melirik Vincent yang terlihat cemas. Waffle atau sandwich menjadi menu sarapanku. Mungkin dia takut aku tak mau memakan nasi ini. Aku menyendok nasi dan ayam potong lalu menyuapkannya pada Vincent. Dia mengulas senyuman tipis tak ketara kemudian menerima suapanku.
Sudah menjadi kebiasaan jika tak ada orang lain, kami makan sepiring berdua. Ini berawal dari Vincent yang susah saat kuajak makan. Akhirnya aku mengalah untuk menyuapi Vincent agar dia tak sakit lagi.
"Enak 'kan nasinya?" tanya Vincent.
"Hmm," gumamku setelah menyuapkan nasi ke dalam mulutku.
"Papa minta aku ...."
"Kita bicara setelah makan," potongku. Aku menyuapinya lagi dan dia menurut saja.
Bila kuingat, Vincent hampir tak pernah marah padaku. Bahkan di saat kita bertengkar, dia lebih bersabar untuk tak mencoba mendebatku. Teman-temanku berkata, dia pria idaman karena tak menunjukkan keegoisannya, terutama saat berargumen. Namun, bagiku itu terasa seperti Vincent yang tak peduli. Dia melakukan apapun hanya agar aku tak marah lagi.
Kini sudah setengah gelas jus kuhabiskan, setelah kami menghabiskan sepiring sarapan. Kulirik Vincent hanya menyesap jusnya. Wajahnya terlihat gusar ... entahlah. Mungkin dia menahan kekesalan karena aku membuang ponselnya. Aku tidak peduli. Dia 'kan bisa dengan mudah membelinya lagi.
"Papa kamu bilang apa?" tanyaku seraya menoleh ke arahnya.
Vincent membalas tatapanku lalu memandang ke arah lain. Dia menunduk dan berkata, "Kita tunangan dulu aja."
"Ok, aku yang persiapkan pernikahannya. Kamu urus pekerjaanmu," usulku.
"Jangan," cegah Vincent. Dia membenarkan letak kacamata di wajahnya yang oriental kemudian memandang ke arahku.
Aku mengerutkan dahi. Apa maksudnya? Tatapan menyelidik dariku rupanya membuat Vincent tak nyaman sehingga ia kembali menunduk. "Kamu bohong, 'kan?" desakku.
"Enggak." Vincent kembali menatapku. "Aku sudah bilang Papa, kita bisa menikah ... tahun depannya lagi."
Aku beranjak dari tempat dudukku dengan marah. Pria di hadapanku ini memang tak serius. Tadi berkata ayahnya setuju, sekarang malah mundur. Mungkin ini sebabnya aku tak merasa bahagia mendengar kata menikah. Karena Vincent-nya sendiri setengah hati.
"Tapi kita bisa tunangan dulu," ucapnya. Dia ikut berdiri dan meraih kedua tanganku. "Aku serius dengan kamu. Kita pasti akan menikah. Biarkan aku mengurus pekerjaanku dulu. Senin nanti aku harus ke Kalimantan menemui pamanku. Perusahaan papa sedang krisis keuangan dan hanya paman yang bisa memberi pinjaman."
Lagi-lagi pekerjaan! Vincent hanya memikirkan perusahaan ayahnya tanpa memedulikan hubungan kami. Di matanya, aku ini bukan apa-apa.
Aku menarik tanganku dari genggamannya. "Ya Tuhan, Vin. Tahun lalu kamu beralasan menemani adikmu yang sakit. Tahun ini kamu ninggalin aku lagi demi pekerjaan? Kamu tega, Vin. Aku hanya ingin kita merayakan Natal bersama. Apa itu berlebihan buat kamu!?" ketusku. Aku mendorong kursi hingga benda itu terjatuh dan menimbulkan bunyi berdebum. Aku berbalik badan dan meninggalkannya, tetapi suara Vincent mengentikan langkahku.
"Maudy! Adriana sedang sakit waktu itu. Kenapa kamu marah hanya karena aku menemani adik kandungku? Kamu perempuan egois," makinya.
Aku membalikkan badan dan menatapnya. Wajah Vincent merah padam. Kilatan amarah dapat kulihat di matanya.
"Jangan karena kamu enggak akur dengan kakakmu, sekarang kamu mau menjauhkan aku dari keluargaku sendiri," tuduhnya.
Hatiku bagai ditampar mendengar kata-katanya. Vincent tidak salah. Semenjak kakak perempuanku menikah dengan kekasihku, aku tidak sudi lagi tinggal di rumah ayah. Aku merantau ke Jakarta hingga empat tahun lamanya. Tak kupedulikan lagi rayuan rindu ibu yang membujukku pulang. Apalagi setahun terakhir ini aku mengenal Vincent--pria keturunan Tionghoa--yang menjadi sandaranku. Semakin hilang keinginanku untuk bertemu kedua orang tuaku yang hanya menyayangi Kak Nia. Namun, rupanya Vincent tak beda dengan mereka yang mengabaikanku.
"Sudah cukup, Vin. Semuanya berakhir di sini," putusku.
"Maudy!" panggilnya.
Aku tetap berjalan meninggalkannya—keluar villa. Tak kusangka Vincent akan mengungkit semuanya kali ini. Mengapa dia tidak mengerti yang sesungguhnya kurasakan? Aku ini hanya kesepian.
Vincent tipe anak yang selalu mematuhi apapun keputusan kedua orang tuanya meski berbenturan dengan nuraninya. Dia hanya bersekolah di tempat yang telah dipersiapkan oleh kedua orang tuanya, bekerja di perusahaan penjual produk makanan milik keluarga, diberikan tanggung jawab untuk mengurus adik-adiknya, dan pastinya akan menikah dengan perempuan pilihan ibunya. Kebutuhan Vincent tercukupi sejak kecil karena kedua orang tuanya mampu. Meski setelahnya, Vincent memikul tanggung jawab besar dari keluarganya.
Sementara hidupku berbanding terbalik dengan Vincent. Ayah hanya pegawai negeri golongan paling bawah sedangkan ibu menjahit pakaian orang lain. Kak Nia yang pintar selalu mendapat juara dan beasiswa, juga lebih disayang karena dianggap tak memberatkan perekonomian keluarga. Sedangkan aku hanya si bungsu yang mudah sakit, tak pernah juara sekolah dan tak membanggakan orang tua. Mereka justru menghabiskan uangnya untukku berobat.
Setelah selesai kuliah, aku bertemu dengan Kak Rudy. Dia adalah pria yang membuatku jatuh cinta dan ingin hidup bersamanya. Namun, kenyataannya Kak Rudy justru memilih Kak Nia. Orang tuaku bahkan setuju dan menikahkan mereka. Aku kecewa pada keluargaku dan pergi ke Jakarta di umurku yang ke dua puluh satu tahun. Tiga tahun kemudian aku bertemu Vincent. Setahun bersama Vincent membuatku mengerti, aku tidak butuh orang lain lagi.
Namun, kini aku benci mereka semua yang membuangku. Aku tak ingin kembali pada Vincent yang tak benar-benar mencintaiku. Sudah tak ingin aku bertemu orang tua yang tak pernah menganggapku sebagai anak mereka. Tak sudi kupunya saudari yang merebut kebahagiaan adiknya. Cinta itu hanya kepada Kak Rudy. Saat ia tak membalas rasa, aku tak ingin siapapun memberiku cinta.
~o0o~
3 Jan 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Kilas Rasa
AdventureMaudy Halim mengajak kekasihnya, Vincent Nugraha, berlibur di sebuah desa terpencil untuk menghangatkan kembali gelora cinta mereka. Malang, sebuah bencana alam melanda. Maudy yang sedang tak bersama Vincent, jatuh ke sungai dan tubuhnya terseret ar...