Kakiku lelah berlari. Namun, aku tetap berjalan menjauhi villa. Aku berhenti untuk mengambil napas dan mengembuskannya. Berulang kali seperti itu hingga air mataku menetes kembali. Aku menyeka bulir air mata karena tak enak jika penduduk di sini melihatnya.
Kini kuperhatikan sekitarku. Aku berdiri di tengah jalanan desa. Jangankan aspal, jalanan yang kulalui sejak tadi masih berbatu. Beberapa kali aku hampir terjatuh karena struktur tanahnya yang tak rata. Kanan dan kiriku pekarangan, jarak tiap rumah pun cukup jauh dari tempatku berdiri.
Aku berjalan lagi menyusuri jalanan di desa ini. Tak tahu ke mana tujuanku, yang pasti aku tak ingin kembali ke villa dulu. Masih kurasakan amarahku pada Vincent. Percuma saja jika aku kembali, kami akan bertengkar lagi.
"Mau ke mana, Mbak?" sapa seseorang yang terlihat lebih tua dariku. Dia menggendong anak laki-laki, sementara tangan lainnya membawa keranjang belanja yang penuh dengan sayuran.
"Ehm ... mau liat air terjun," jawabku. Aku teringat Vincent pernah berkata ada air terjun di desa ini. Setelah pertengkaran tadi, dia tak mungkin kuajak ke sana. Jadi, lebih baik aku melihatnya sendiri. "Arahnya ke mana, ya?" tanyaku.
"Oh, lurus saja, Mbak. Nanti di ujung jalan belok kiri. Jalan lurus lagi sampai ketemu sungai," jelasnya ramah.
Aku mengangguk saja. Memang, samar-samar kudengar suara air. Mungkin sudah tak jauh lagi.
"Mbak yang tinggal di villa?" tanya wanita itu.
Aku tidak tahu bagaimana dia bisa tahu. Aku mengangguk dan menjawab, "Iya."
"Pacarnya Ko Vincent, ya?" Kali ini wanita itu tersenyum setelah bertanya.
"Iya, kok tau, Bu?" Giliranku yang bertanya.
Dia tertawa sebelum berkata, "Saya yang disuruh Ko Johan untuk mengurus villa. Tadi pagi saya yang disuruh Ko Vincent bikin sarapan," terangnya.
Aku mengerti sekarang. Om Johan itu saudara Vincent yang punya villa. Pantas saja ibu ini mengenalku. Mungkin Vincent yang memberitahu. "Ya udah, saya jalan dulu, Bu," pamitku. Kembali kususuri jalan ini dan rasanya ibu itu pun pergi ke arah villa.
Mungkin aku berhalusinasi atau semacamnya. Jalan desa ini sangat jauh kutempuh ujungnya. Setelah di ujung jalan dan berbelok ke kiri seperti instruksi ibu tadi, tak terdengar suara air. Tak mungkin aku kembali lagi. Sudah setengah jalan, lebih baik aku mencari sungai yang akan mengantarkanku ke air terjun.
Beberapa kali aku bertemu penduduk di sini. Kadang mereka melempar senyum, tetapi seringnya hanya menatap saja. Mungkin mereka menyadari aku bukan orang daerah ini, meskipun aku orang Jawa seperti mereka.
Oh, Tuhanku!
Aku benar-benar bodoh. Mereka menatapku pasti karena aku hanya memakai atasan halter neck warna kuning yang mempertontonkan seluruh punggungku. Vincent pasti marah jika aku pergi dengan pakaian tak sopan begini. Aku mengembuskan napas. Begitu besar pengaruh Vincent bagiku bahkan aku masih memikirkannya di saat seperti ini. Aku kembali melangkahkan kakiku hingga tak ingat lagi sejauh apa jarak yang sudah kutempuh.
Suara gemercik air kembali membangkitkan semangatku. Lelah masih menahan kakiku untuk berjalan. Namun, aku mengabaikan itu dan memaksakan kaki untuk berlari hingga kulihat aliran air sungai di hadapanku. Aku bersorak sendiri, melepas sandal dan melipat celana denimku hingga menampilkan kedua betisku yang kuning langsat.
Air jernih itu menyapu kedua kakiku. Dinginnya seakan mengobati lelahku yang menapaki sepanjang jalan desa. Gemuruh air terjun seakan tak jauh dari sini, tetapi aku tidak meilhatnya. Sungai ini memisahkan hutan dan desa. Dari kejauhan aku melihat beberapa warga yang sedang mandi dengan pakaian yang masih melekat. Aku mengabaikan mereka dan membasuh wajahku dengan air yang segar itu.
Aku merasa tanah yang kupijak bergerak. Mungkin aku terlalu lelah berjalan sehingga kepalaku pusing dan merasa bumi ini bergoyang. Ketika melihat ada batu besar, aku segera menghampiri dan duduk di atasnya. Kakiku masih berendam di dalam air jernih yang mengalir deras. Aku menghirup udara yang masih bersih tak terkontaminasi polusi. Pemandangn hutan hijau di seberang tempatku duduk menyejukkan mataku yang sering menatap smartphone. Aku berharap Vincent di sini bersamaku menikmati indahnya alam ciptaan Tuhan. Seakan semua stress release, kita bebas tanpa beban apapun di sini. Namun, sayangnya jika aku kembali ke villa, aku yakin tak ada waktu baginya mendengarkan ceritaku ini.
"Owwh!" Aku terpekik karena terpeleset dari tempatku duduk hingga jatuh tercebur. Umpatan lirih keluar dari mulutku karena saat ini pakaianku basah. Memikirkan Vincent membuatku tak fokus dan jatuh seperti ini. Konyol sekali. Kedua tanganku menggapai batu besar untuk bangun dari posisiku. Satu sandal yang kupegang dengan tangan kiri jatuh. "Sial," umpatku lalu berjalan ke tengah sungai untuk mengambil sandal yang mulai hanyut itu. Ketika tangan kananku terulur, aku merasakan dasar sungai ini bergerak dan aliran airnya menghanyutkan sandalku semakin jauh.
"Gempa ... gempa!"
Aku kembali berdiri tegak ketika mendengar suara salah satu warga. Berikutnya, aku mendengar beberapa jeritan dari orang-orang di sekitar sungai ini. Kakiku tak segera kugerakkan karena aku masih melihat ke sekitarku—mencoba mengerti apa yang terjadi.
Orang-orang yang tadinya berada di sungai bergegas menuju tepian. Aku melihat ke arah hutan, pohon-pohon bergerak seperti ditiup angin besar. Rasa pusing menderaku ketika aku berjalan mendekati tepi sungai. Aku mendengar bunyi gemuruh. Ketika aku berbalik memandang ke arah hutan, pohon-pohon besar itu mulai berjatuhan ke arah sungai, disertai bongkahan tanah yang turut longsor membuat air sungai menjadi keruh.
Aku terpeleset dan kembali terjatuh. Belum sempat aku terbangun, suara gemuruh semakin kudengar. Aku melihat gelombang air datang ke arahku. Tubuhku dan beberapa batuan lainnya ikut tersapu hingga hanyut mengikuti arus yang semakin deras. Air sungai yang tadinya jernih sampai aku dapat melihat dasarnya yang berbatu, kini setengahnya terisi lumpur dan beberapa ranting pohon.
Tubuhku terus terbawa arus hingga ujung sungai yang berkelok, barulah aku berhenti karena tersangkut pada celah di antara dua buah batu. Posisiku seakan di ujung kematian sekarang. Aku menjerit dan tak ada yang menolongku karena mereka lebih memilih menyelamatkan diri sendiri dulu. Aku terbatuk dan meludah beberapa kali karena air yang bercampur lumpur itu masuk ke mulutku. Cabang-cabang pohon menggores kulitku, aku merintih karena perih yang menghujamku. Bebatuan dari segala ukuran menghantamku bertubi-tubi karena aku berada di tengah sungai yang arusnya perlahan membunuhku.
"Tolong!" teriakku seraya membebaskan diri dari himpitan batu besar yang menahanku di tengah sungai. Aku tidak tahu ke mana arus sungai ini akan membawaku. Namun, jika aku tetap terjebak di sini, sama saja aku bunuh diri. Aku melihat luka-luka karena tersayat ranting mulai dari pundak hingga tanganku. Darah yang keluar sudah dibasuh oleh air yang berlumpur. Tulang rusukku terasa remuk redam karena bebatuan itu terus menerus menabrak tubuhku sebelum terbawa arus sungai.
Mataku terpejam karena rasa pedih dan ngilu kian meruntuhkan kesadaranku. Aku membuka mata dan panik saat melihat batu besar menggelinding ke arahku. Sungai yang kini terisi lumpur membuatku semakin kesusahan bergerak. Tuhan, kumohon izinkan aku selamat. Batu besar itu menghantam tubuhku hingga aku terhempas dan kembali hanyut terbawa arus sungai. Kepalaku pening dan kurasakan cairan hangat keluar dari keningku yang terasa pedih—karena robek.
"Vincent," ujarku sebelum arus sungai yang keruh menyeret dan menenggelamkan tubuhku.
~o0o~
4 Jan 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Kilas Rasa
AdventureMaudy Halim mengajak kekasihnya, Vincent Nugraha, berlibur di sebuah desa terpencil untuk menghangatkan kembali gelora cinta mereka. Malang, sebuah bencana alam melanda. Maudy yang sedang tak bersama Vincent, jatuh ke sungai dan tubuhnya terseret ar...