Sudah tersedia versi novel, PDF, juga e-book di Google Play.
Hubungi Vintari untuk ketersediaan novel atau PDF (metode share link)
WhatsApp: 085742897916
Instagram: vintariwp
Repost hanya sebagian untuk spoiler.
Happy reading!
💕💕💕
Bagas mengeluarkan botol air lain dari tasnya lalu perlahan membersihkan lukaku tanpa permisi. Aku diam saja karena memang kondisi kulit tubuhku mengenaskan. Banyak sayatan luka di mana-mana dan kotor karena lumpur. Jika tak dibersihkan mungkin akan menyebabkan infeksi atau semacamnya. Namun, saat dibersihkan seperti ini, rasanya perih sekali!
"Angkat rambutmu," perintah Bagas.
Aku menggulung rambutku dan menahannya dengan tangan kanan. Bagas mulai membersihkan luka-luka di sekitar bahuku membuat posisi kami semakin dekat. Aku tidak tahu apa yang merasukiku hingga aku diam-diam mengamati wajahnya. Bagas tetap tampan seperti empat tahun yang lalu. Hanya saja dia tampak lebih dewasa. Kulitnya kecokelatan dan lengan kekarnya membuat ia terlihat sangat maskulin.
"Dahimu terluka."
Aku tidak tahu itu pertanyaan atau dia hanya memberitahu. Seingatku, ada batu besar tepat menimpa wajahku. Mungkin lukanya berasal dari sana. Yang pasti saat ini aku merasa sedikit canggung karena wajah Bagas tepat berhadapan denganku. Aku memerhatikan wajah seriusnya yang sedang membersihkan lukaku. Anehnya ketika pandangan mata kami beradu, aku merasa sentakan asing di relung hatiku.
Aku merasakan detak jantung yang terpacu ketika pria di hadapanku memajukan badannya dan melihat punggungku lewat bahuku. Aroma tubuhnya sampai bisa kuhirup. Gila! Pria ini genit sekali memakai parfum. Bahuku merasakan napas hangatnya dan ini membuatku merinding. Samar-samar bisa kudengar helaan napas beratnya. Dia ini kenapa?
"Berbaliklah," bisiknya.
Aku mengerutkan dahi dan segera berbalik memunggunginya. Aku sungguh merasa geli! Dia berbisik dekat sekali di telingaku. Aku sampai bisa merasakan terpaan napasnya. Ya Tuhan, kenapa aku merasa terlena dengan kedekatan seperti ini?
"Ohh ...." Erangan sialan keluar dari mulutku ketika kurasakan jemari Bagas menyentuh kulit punggungku. Luka-luka itu begitu pedih saat disentuh. Namun, saat kulit kami bersentuhan rasanya ada gelenyar asing yang menjalar di bagian tubuhku yang lain.
"Sakit?" tanya Bagas.
"Yahh ...." Aku segera menutup mulutku yang terkutuk. Bagas menyentuh lukaku bertepatan ketika aku akan menjawab pertanyaannya. Suaraku jadi terdengar seperti desahan menjijikan. Ya Tuhan, aku malu sekali. Seharusnya tadi aku mengangguk saja dan tak perlu bersuara.
"Kenapa ... kenapa kamu bisa ada di sini?" Aku bertanya untuk mencairkan suasana canggung ini.
"Aku membantu tim SAR mengevakuasi korban," jawabnya datar.
Aku sedikit tersentak ketika Bagas mengoleskan sesuatu pada punggugku. Mungkin semacam antiseptik. Aku menahan perih yang mendera. Tubuhku menegang karena pedihnya melebihi saat dibersihkan tadi.
"Sudah," ujar Bagas.
Kini aku menghadap ke arahnya lagi. Dia memberi antiseptik di tangan hingga bahuku. Aku beberapa kali berjengit karena obat itu justru membuat lukaku bertambah pedih.
"Kamu nangis?" Dia bertanya setelah selesai mengoleskan antiseptik.
"Pedih sekali," jawabku seraya menyeka air mataku.
"Kenapa kamu bisa ada di sini?" Giliran Bagas yang bertanya. Tangannya mencari-cari sesuatu di dalam tasnya.
"Aku jatuh ke sungai dan terhanyut hingga sampai sini."
Dia memandangku. "Maksudku, kenapa kamu ada di desa ini? Kamu tidak tinggal di sini, 'kan?" Bagas membuka plester luka dan mengulurkannya untuk luka di dahiku.
"Oh, aku sedang liburan dengan pacarku," terangku.
Uluran tangan Bagas berhenti sesaat. Aku memerhatikannya dengan dahi berkerut. Dia memberikan plester di lukaku dengan sedikit ditekan.
"Aduh! Pelan-pelang dong," tegurku dengan nada tinggi. Dia diam saja seakan tak mendengarku. Dasar tidak punya perasaan! Rasanya aku ingin menendang pria menyebalkan itu.
Bagas selesai membereskan tasnya lantas berdiri memerhatikan aku yang masih duduk dan memandangnya. "Ayo," ajaknya seraya berbalik meninggalkan aku.
Aku bergegas menyusulnya. "Kita mau ke mana? Lebih baik di sini saja menunggu orang menjemput kita."
Dia berhenti dan berbalik memandangku. "Tidak ada yang akan datang sampai besok. Kita harus berjalan ke pengungsian."
"Apa?"
"Jarak mereka sampai ke tempat ini cukup jauh jika melintasi sungai. Mungkin akan sampai setelah hari gelap. Mereka tak akan mengambil resiko itu dan memilih kembali esok," terang Bagas.
Jadi, sekarang aku hanya berdua di tengah hutan dengan Bagas? Ini bencana kedua. "Kalau begitu aku mau tetap menunggu di sini. Ngapain masuk hutan? Bahaya." Aku duduk kembali dan membelakanginya. Aku dengar langkahnya mendekatiku membuat aku menoleh ke arahnya.
"Aku ini prajurit. Keluar-masuk hutan sudah pernah kulakukan dalam tugasku. Aku bisa menjagamu," yakinnya. Bagas memerhatikan tubuhku lalu dia membuka baju seragamnya. Ya Tuhan, dia mau apa?
"Pakai bajuku," tawarnya.
"Enggak," tolakku. Memang, saat ini kondisi halter neck-ku sudah tak karuan. Atasan yang hanya menutupi bagian dada dan perutku itu terkoyak di mana-mana. Mungkin bagi orang lain aku terlihat setengah telanjang. Namun, aku alergi memakai seragam itu. Mengingatkan aku pada kak Rudy saja.
Bagas kembali membuka kaus putih yang ia kenakan. Perasaan aneh menyentuhku ketika aku melihat tubuhnya yang hanya menggunakan kaus singlet. Otot tangannya kekar, dadanya bidang, dan kulitnya yang kecokelatan membuatku tak berhenti kagum melihat lukisan dari kesempurnaan sosok pria. Aku berkelit ketika jantungku mulai berdebar. Ya Tuhan, hindarkanlah aku dari perasaan terkutuk.
"Kalau tidak memakai kausku, aku khawatir kamu tidak akan selamat sampai ke pengungsian," katanya datar. Matanya menjelajah setiap inchi tubuhku.
Apa-apaan dia itu? Dia mengancamku? Yang benar saja! Aku berdiri dan berjalan melewatinya seraya berkata, "Aku enggak mau pakai!" Sekalian saja dengan nada tinggi biar dia mendengar.
Bagas meraih tangan kiriku. Ketika aku berusaha menepis, dia menjatuhkan tubuhku ke tanah yang tertutup dedaunan kering. Aku meronta saat posisinya sudah di atas tubuhku. Dengan sekuat tenaga aku meloloskan diri, memukuli dan menendangnya hingga aku dapat merayap menjauhinya.
"Tolong!" jeritku ketika kedua tangan Bagas menyeret dan membalikkan tubuhku. Dia duduk di atasku dan memaksa memakaikan kausnya. Aku menjerit lagi meminta pertolongan meskipun akhirnya aku menyadari tidak ada yang bisa mendengarku saat ini. Lagipula, apa yang harus kuadukan? Seorang pria memaksa untuk menutup tubuhku?
Usahaku sia-sia karena Bagas yang awalnya kesusahan tetap bisa memakaikan kausnya ke tubuhku. Kini dia berdiri dan memakai seragamnya kembali, sementara aku kesal setengah mati.
"Ayo jalan," perintahnya kemudian. Dapat kulihat bibirnya membentuk garis senyum tipis yang ia sembunyikan.
Pria sialan!
~o0o~
7 Jan 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Kilas Rasa
AdventureMaudy Halim mengajak kekasihnya, Vincent Nugraha, berlibur di sebuah desa terpencil untuk menghangatkan kembali gelora cinta mereka. Malang, sebuah bencana alam melanda. Maudy yang sedang tak bersama Vincent, jatuh ke sungai dan tubuhnya terseret ar...