TIGA BELAS

30.1K 2K 54
                                    

"Gas, turunkan aku." Aku meminta di sela isak tangis.

Dia tak segera menjawab. Langkahnya agak terhuyung, kuyakin dia kelelahan karena telah membwa kami dari dasar jurang. Langkah Bagas berhenti dan dia mengatur napas. Setiap embusannya, dapat kurasakan letih yang mencambuk raganya.

"Gas ...."

"Kamu saja tidak bisa jalan. Aku—" dia mengambil napas lagi, "—turunkan setelah kita melewati daerah ini," putusnya.

Aku menempelkan pipiku di tengkuknya. Bulir air mata masih tak ingin pergi. Tubuhku terasa mati. Batinku berteriak ingin semua berakhir di sini. Aku tak ingin lagi melihat Bagas terluka lagi demi kami. Aku mengutuk kebodohanku hingga sampai masuk ke hutan ini.

Kilasan wajah ibu hadir ketika aku memejamkan mata. Sakit menyeruak di relung dada, saat aku mengingat bagaimana kabar ibu di sana. Kini suara ibu ingin kudengarkan. Aku merasa bersalah karena menolak ibu yang mengungkapkan kerinduannya.

Tak hanya itu, sejak dulu aku ingin terlihat kuat di mata ayah. Aku lelah dengannya yang menganggap aku ini anak sakit yang butuh perlindungan. Namun, ingin rasanya saat ini aku menangis di pelukan ayah. Karena hanya ayah yang bisa mengusir ketakutanku.

Tuhan, maafkan aku yang telah menjauhi ayah dan ibu. Sudah terlambatkah jika aku menginginkan kasih sayang mereka?

Pantaskah tubuhku ini diusung oleh pria yang selalu kusakiti perasaannya? Dengan segala luka di tubuhnya, Bagas tetap menjagaku, ya, Tuhan. Kumohon lindungi Bagas dalam setiap langkahnya.

Inikah hukuman-Mu karena aku meninggalkan Vincent? Pria yang sudah berbuat banyak dalam hidupku, tetapi dengan seenaknya aku menuntut lebih. Bagaimana dia sekarang? Baik-baik sajakah dia di vila setelah kutinggal?

"Bertahanlah, Dy," pinta Bagas.

Aku tersedu dalam tangisku di sepanjang perjalanan kami. Banyak semak dan pohon-pohon jati yang kami lalui. Langkah tegap Bagas pun kini mulai melamban. Sementara aku memilih untuk memejamkan mata. Tenggelam dalam tangis sesal dan raga yang terluka.

*

"Maudy," panggil Bagas.

Aku tersadar dari lamunanku. Kini di sekitar kami terdapat tumbuh-tumbuhan yang lebih hijau dari yang sebelumnya. Sementara di depan kami ada mata air yang sangat jernih. Aku takjub karena sehari yang lalu ada gempa hingga tanah di hutan longsor dan mengeruhkan sungai. Namun, di dalam sini seakan tak terjamah oleh amukan alam.

Bagas menurunkan tubuhku perlahan. Dia berdiri di sampingku dan wajah kumalnya terlihat berseri saat menatap mata air. Dia memeluk pundakku kemudian mengajakku melangkah ke depan. "Ayo."

Aku menahan tubuhku untuk tetap berdiri dan menggeleng ke arahnya. Terakhir aku masuk ke sungai, ada gempa hingga membuatku terbawa arus. Rasanya sungai yang bening pun membawa trauma karena berubah menjadi berlumpur yang berulang kali akan menenggelamkanku.

"Bersihkan lukamu di sana," ujar Bagas.

"Aku mendapatkan semua luka ini di sungai, Gas," tegasku.

Bagas memerhatikanku sesaat kemudian wajahnya kembali teduh. Wajahnya tetap dekil, hanya ekspresinya terlihat lembut. "Waktu itu kamu sendirian, 'kan?" yakinnya yang kubalas dengan anggukan. "Sekarang ada aku. Aku tidak akan membiarkan hal buruk terjadi padamu."

Aku bergeming, tak serta-merta mempercayainya. Mengingat selama bersama Bagas, aku harus tidur di lubang pohon, mendapat cakaran beberapa monyet dan diinjak-injak babi hutan. Aku juga mual setiap mengingat buah jambu air berulat yang kumakan.

"Ayolah." Bagas setengah memaksa. "Air dapat melepas lelahmu," kata Bagas yang akhirnya kuturuti saja.

"Nanti ada buaya, Gas."

Bagas menoleh ke arahku dan tersenyum. "Tidak ada. Buaya hidup di rawa."

"Piranha?"

Bagas tertawa. Tawa yang jarang sekali kudengar meski hampir seharian kami bersama.

Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Mungkin saja ada makhluk air lain yang memakan kami berdua dari dalam air. Aku tidak tahu kenapa Bagas bisa sesantai ini setelah apa yang telah menimpa kami.

Kami berdua menuju mata air dangkal yang begitu jernih. Bagas berjalan seraya memeluk tubuhku erat. Jalanan yang kami lalui adalah bebatuan licin, membuatku beberapa kali hampir terpeleset. Udara di sini lebih menyejukkan dibanding dalam hutan tadi. Gemercik air pun terdengar syahdu menenangkan sanubari.

"Gas," panggilku. Dia menoleh ke arahku dan aku kembali berkata ragu, "Aku ... aku mau buang air." Tentunya aku malu mengakuinya, tetepi ini harus. Aku tidak tahan lagi.

Aku terhenyak ketika Bagas tiba-tiba berjongkok di hadapanku. Ya Tuhan, dia mau apa?! "Ngapain?" tanyaku takut-takut.

Dia tak menjawab, tetapi tangannya terulur untuk melepas sepatunya yang kupakai. Ketika aku hampir terjatuh karena berdiri dengan satu kaki, dia menangkapku. Bagas menaruh kedua tanganku di bahunya hingga membuat posisiku sedikit membungkuk. "Pegangan," perintahnya.

Setelah Bagas selesai melucuti sepasang sepatu di kakiku, dia menuntun ke arah mata air. Di dekat batu besar kami berdiri dengan kaki yang terendam air dingin yang mengalir. "Di sini saja," katanya. Pria itu berjalan membawa sepasang sepatu dan meninggalkan aku. Dia pergi ke sisi lain di balik batu besar.

Aku terperangah melihat anak air terjun yang mengucurkan air dengan riang. Di sekitarnya mengalir sungai yang kutebak mungkin agak dalam. Banyak bebatuan di sekitarnya yang terlihat basah karena percikan air. Hampir mirip dengan sungai yang membelah hutan dan desa tadi. Namun, sungai dekat anak air terjun di dalam hutan ini tak terlalu lebar.

Kudongakkan kepala. Matahari hampir tak terlihat karena rimbun dedauanan. Namun, jika kulihat dari tempat Bagas di sana, sepertinya matahari sudah di atas kepala, atau bahkan melewatinya. Aku menurunkan celana denimku dan berjongkok. Tubuhku tertutup batu besar sehingga Bagas tak dapat melihatku. Bergegas aku menunaikan hajatku dan membasuh bagian tubuhku.

Setelah memakai celanaku, aku tak segera berdiri. Di balik batu besar aku menyembunyikan tubuh dari jangkauan Bagas, tetapi mataku tak lepas dari gerak-geriknya di ujung sana. Dia telah melepas seluruh seragam TNI-nya, kaus dalamnya menyusul hingga saat ini dia memakai celana pendek saja. Bagas perlahan masuk ke dalam air dan membasuh wajahnya. Dia melakukannya berulang kali hingga kotoran sedikit demi sedikit menguak ketampanannya.

Aku menelan ludah ketika Bagas mulai menyapukan air ke tubuhnya yang kekar. Kulitnya yang berwarna cokelat begitu memikat. Goresan luka di sekitar lengannya justru menampilkan sisi maskulin. Tangan kiriku berpegangan pada batu karena jantungku berdebar ketika air yang mengucur dari wajah Bagas, membasahi dada bidang dan otot perutnya yang tercetak. Napasku sesak saat pandanganku tertuju pada bagian bawah perut pria itu. Aku menutup mata dan menggeleng keras ketika otak kotorku membayangkan sesuatu di balik celannya.

Masih memejamkan mata, aku tersengal dan berdiri perlahan. Mengutuk pada pemikiran konyolku yang tidak tahu diri. Mengambil udara sebanyak mungkin dan menetralkan detak jantungku yang sekeras genderang. Satu lenguhan lolos dari mulutku karena dalam keadaan mata tertutup pun aku masih bisa melihat pesona pria sempurna. Darahku berdesir karenanya.

"Maudy! Ayo kemari!" seru Bagas.

Sialan! Aku ketahuan.

***

Gimana? Kalo enggak nge-feel aku unpub aja lah, yaa.

15 Feb 2017

Kilas RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang