TUJUH

34K 2.2K 52
                                    

Aku berjalan dengan tertatih mengikuti Bagas. Tak jarang aku berjengit nyeri ketika telapak kakiku menginjak dan tergores oleh ranting. Aku menyesali keadaanku saat ini. Andai aku mendengar pendapat Vincent agar kami liburan di Jepang saja, mungkin kondisiku tak separah ini.

Ya Tuhan, maafkan aku yang begitu sombong menolak kasih-Mu. Kau sudah mempertemukanku dengan orang seperti Vincent yang sanggup memberiku kenyamanan, tetapi aku justru memilih liburan yang membawa petaka. Aku juga mengkhawatirkan kondisinya, Tuhan. Jagalah Vincent di sana.

Entah berapa lama aku dan Bagas berjalan hingga langit mulai petang. Tubuhku rasanya tak kuat untuk melanjutkan. Pusing yang mendera membuat langkahku terhenti lalu membungkukkan badan.

Aku menegakkan tubuh dan melihat pria itu berhenti berjalan lalu berbalik badan. Dia memandang lantas menghampiriku. Ekspresi wajahnya datar saja dan terkesan acuh tak acuh. Bagas memandang kakiku sebelum kembali menatap mataku dengan tatapan tajam yang seakan menembus relung hatiku.

"Kenapa?" Suara Bagas terdengar tak benar-benar bertanya, tetapi lebih seperti protes.

"Kamu enggak liat telapak kaki aku sakit karena berkali-kali nginjek ranting!?" ujarku ketus.

Dia duduk di batang pohon yang roboh kemudian melepas sepatunya. "Pakai saja sepatuku," kata Bagas tanpa memandangku.

Aku tertawa mengejek. "Hey, udah ya. Berhenti nyuruh aku pake ini, pake itu. Jangan seenaknya ngatur aku harus begini, mesti begitu. Sok berkuasa! Emangnya kamu siapa!?". Aku meninggikan suaraku. Berkacak pinggang dan menunjukkan amarahku.

Sementara Bagas malah terdiam menatapku. Dia tenang saja padahal aku sudah geram dengan sikapnya yang menyebalkan. Dia mengulurkan sepatunya seakan tak mendengar semua omelanku. Dasar tuli!

"Aku enggak mau pake!" teriakku.

Seraya berjalan mundur, aku menumpahkan segala kekesalanku. "Denger ya, aku enggak pernah minta kamu buat nyelamatin aku waktu itu, aku enggak berharap kamu yang nolongin aku tadi, dan aku sangat enggak pengin terjebak di hutan sialan ini hanya berdua dengan kamu. Jadi, berhenti bersikap menyebalkan karena itu bikin aku muak!"

"Pakai sepatuku biar kaki kamu tidak sakit," ujarnya seraya kembali menyodorkan sepatunya.

Aku mengepalkan kedua tangan, kesal sekali padanya yang tak mau mendengar. "Aku enggak mau pake! Jangan pernah ngatur aku!" teriakku.

"Tadi katanya kakimu sakit kena ranting, ya pakai sepatu, dong." Dia masih bisa santai membalas kata-kataku.

Aku ingin mencekiknya saat ini juga. "Maksudku, kita 'kan bisa jalan pelan-pelan." Kenapa Bagas tidak menyadari perbedaan kondisi kami? Aku baru saja menghabiskan tenaga untuk bertahan hidup dengan melawan arus. Sementara dia, datang dengan perahu karet. Selain itu, dia pria dan aku wanita. Secara fisik, tentunya aku lebih lemah dibandingkan dirinya.

"Itu hanya akan memperlambat kita sampai di pengungsian," kata Bagas.

"Jangan kira aku enggak tau kalo pengungsian itu masih jauh. Ini saja sudah hampir petang. Kita pasti akan bermalam di hutan 'kan?" Aku menegaskan, tetapi Bagas tak menjawab. "Ok, pergi sana! Aku mau menunggu tim evakuasi di sini saja," putusku.

"Baik," katanya.

Hah? Dia benar-benar akan meninggalkan aku? Pria kejam! Bagas memakai kembali sepatunya. Dia berdiri dan menghampiriku yang masih bingung karena dia akan tetap pergi sementara aku tinggal di sini. Tanpa kuduga, Bagas tiba-tiba membopong tubuhku di pundak kanannya. Tangan kanan Bagas mengapit kedua kakiku sedangkan tangan kirinya memegangi tangan kananku. Aku bisa mendengar tawa lirihnya di tengah teriakanku.

Kilas RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang