Ketika petang menjelang, kami memutuskan untuk menghentikan perjalanan. Bagas menyusun beberapa batu dengan dedaunan kering dan beberapa ranting di tengahnya. Aku hampir saja tertawa saat berpikir Bagas akan menggosok dua buah batu untuk menghasilkan api. Kami akan benar-benar terlihat seperti dua manusia purba. Rupanya Bagas memiliki korek api di dalam ranselnya. Awalnya ia sedikit kesulitan membakar dedaunan itu, tetapi akhirnya kami punya sumber penerangan dan sedikit kehangatan.
Aku teringat tiga bulan pertama bersama Vincent, dia mengajakku ke Swiss untuk menghadiri pernikahan sahabatnya. Kami tinggal di rumah sewa yang mewah selama dua hari. Aku duduk di samping Vincent menghadap ke arah perapian di rumah itu. Tubuhku hangat dalam selimut yang nyaman dan pelukan Vincent yang menenangkan. Ironis sekali karena keadaanku sekarang berbanding terbalik dengan waktu itu. Kini aku terlantar di tengah hutan.
"Bagaimana kabar ibumu?" tanya Bagas setelah berhasil membuat perapian sederhana. Dia bertanya tanpa memandangku. Kedua tangannya sibuk menjaga nyala api yang selalu terancam padam. Mungkin karena dedaunan dan ranting yang lembab hingga sulit terbakar.
Sementara aku tak segera menjawab karena tak menyangka Bagas akan menanyakan kabar ibuku. Jika kuingat-ingat, Vincent tak pernah menanyakan keluargaku setelah aku menceritakan permasalahanku dengan mereka. Apakah ini pertanda Vincent tak peduli dengan keluargaku? Sebaliknya, Bagas-lah yang lebih perhatian? Ya Tuhan, dari mana datangnya pemikiran gila ini.
"Maudy?" panggil Bagas.
Aku menatapnya sekilas sebelum menjawab, "Baik ... kayaknya." Tentu saja aku tak tahu pasti keadaan ibu saat ini. Sekitar dua bulan yang lalu ayah mengunjungiku di Jakarta. Ayah bilang ibu baik-baik saja, hanya merindukanku.
"Kok 'kayaknya'? Kamu tidak pulang ke Surabaya?" tanya Bagas lagi. Kali ini dia menunggu jawaban seraya memandangku.
"Rumahku sekarang di Jakarta," jawabku.
"Kamu punya rumah di Jakarta?"
"Nyewa. Ehm ... pacarku yang menyewakannya buat aku," ralatku.
"Kamu pikir setelah disewakan rumah oleh pacarmu, kamu berhak memutuskan hubungan keluarga?"
"Aku enggak maksud gitu," bantahku.
"Tindakanmu sudah menunjukkan demikian."
"Lalu apa pedulimu!?" Aku meninggikan nada suaraku karena Bagas mulai membuatku kesal. Aku marah karena dia benar. Setelah merantau dan bertemu Vincent yang membantu biaya hidupku, aku seakan tak memerlukan kedua orang tuaku. Itu buruk, aku tahu. Namun, kurangnya kasih sayang yang mereka berikan membuatku memilih untuk tak berharap apapun lagi dari mereka.
"Akhir Januari kemarin, aku bertemu Rudy dan Nia. Aku ditugaskan di Padang dan sempat mengunjungi mereka. Dua anaknya laki-laki semua, ya?" Bagas mengalihkan pembicaraan tentang orang tuaku ke topik lain yang lebih menghancurkan hatiku.
Aku memang sempat mendengar kelahiran putra kedua Kak Nia dan Kak Rudy. Bodohnya aku, saat itu hati kecilku masih berharap akulah yang di posisi Kak Nia. Mengingat kehancuran cinta pertamaku, tak serta-merta membuatku merelakan kebahagiaan mereka.
Mataku terasa perih sekarang. Aku menunduk dan mengerjap agar Bagas tak melihat butran air mata yang menetes. Menahan tangis membuat tubuhku semakin menggigil.
"Dekatkan tanganmu di sini," perintah Bagas.
Kali ini aku menuruti apa katanya. Aku berpindah tempat duduk di sampingnya. Kedua tanganku terulur ke arah api. Wajah dan telapak tanganku terasa hangat. Namun, rasa dingin tetap menyerang dari balik punggungku.
"Jangan terlalu dekat. Kamu bisa terluka," larang Bagas seraya meraih kedua tanganku menjauh.
Kini kedua tanganku ditangkup oleh kedua tangan Bagas dan aku tak kuasa untuk menjauhkannya. Aku merasa pria itu menoleh ke arahku dan benar saja. Wajah kami berdua berjarak sangat dekat hingga aku merasakan terpaan hangat napasnya. "Kamu sendiri bagaimana? Sudah menikah?" tanyaku dengan suara lirih.
"Belum." Bagas menatapku dengan tajam. Dia mengerjap kemudian berkata, "Perempuan yang aku suka, sekarang sudah ada yang punya."
Aku segera memalingkan pandanganku ke arah api unggun. Apa sebenarnya maksud Bagas? Dia juga patah hati seperti aku? Ya Tuhan, kenapa aku merasa kata-katanya ditujukan untukku?
Ibu pernah memberitahu bahwa Kak Rudy ingin mengenalkan temannya padaku. Ya, si Bagas itu. Tentunya aku tak mau. Jika Kak Rudy tak dapat membalas cintaku, untuk apa dia minta orang lain untuk mencintaiku?
Salah satu alasan aku membenci Bagas adalah kenapa dia mau saja saat Kak Rudy mengenalkanku padanya. Mereka bersahabat, 'kan? Sudah pasti Kak Rudy memberitahu Bagas tentang retaknya kisah cinta kami. Pria macam apa yang mau dengan mantan kekasih sahabatnya sendiri?
Sebenarnya aku lebih membenci diriku sendiri karena pesona Bagas berhasil menarik perhatianku. Namun, aku terlalu tinggi hati untuk menerima pria yang bersahabat dengan pria lain yang membuatku patah hati. Andai saja Bagas bukan teman Kak Rudy, kami mungkin sudah punya cerita sendiri.
Aku menarik kedua tanganku untuk memeluk tubuhku sendiri. Semilir angin dingin kian menusuk tulangku. Dengan napas sesak aku kembali pada kenyataan bahwa saat ini aku sedang berada dalam kondisi menggenaskan di hutan. Aku lapar, haus, pakaian yang tak layak, rasa sakit di sekujur tubuh ... rasanya aku ragu jika esok akan selamat. Bisa saja aku mati kedinginan malam ini atau menjadi makanan bagi binatang buas. Tuhan benar-benar menghukum dengan menempatkanku dalam kondisi seperti ini.
"Maudy?" Bagas perlahan membuat tubuhku menghadap ke arahnya. "Aku tidak bisa melihat air mata orang yang aku suka." Dia menghapus air mataku dengan ujung jarinya. Dalam rengkuhannya aku kembali menangis sejadi-jadinya. "Aku tidak bisa menjanjikanmu apa-apa di sini. Tetapi, setelah kita keluar dari hutan ini, aku bisa menjagamu lebih baik dari dia." Bagas mengeratkan pelukannya. "Tinggalkan dia, Dy. Ikutlah bersamaku," bisik Bagas.
Seakan ada aliran listrik menyengat sekujur tubuhku. Aku tertegun sebentar saat mendengar kata-kata Bagas. Dia menyimpan rasa untukku? Sejak kapan? Ya Tuhan, jadi kami memiliki kegelisahan yang sama sejak pertemuan pertama.
"Aku lelah, Gas. Lelah dengan keluargaku, juga Vincent." Aku mendongak dan menatap wajah Bagas. "Aku benci di sini. Bawa aku pulang, Gas. Aku takut," mohonku sebelum menenggelamkan wajahku di dadanya.
"Jangan takut, Dy. Aku di sini," yakin Bagas.
Aku tersentak ketika merasakan tetesan air yang menyirami tubuhku. Pelukan kami mengurai dan aku segera berdiri melihat kegelapan di sekitarku. Lama-lama api pun padam disiram air hujan. "Hujan, Gas!" kataku panik.
Bagas menarik tanganku untuk mengikutinya. Mungkin dia mencari tempat untuk kami berteduh dan rasanya tak mungkin ada. Kami berhenti di sebuah pohon yang sangat besar kemudian Bagas memeriksa lubang di bagian bawah pohon itu. Tubuhnya perlahan masuk ke dalam lubang pohon yang sepertinya menuju ke akar.
"Ini muat untuk kita berdua," katanya seraya mengulurkan tangan.
"Enggak! Kamu gila. Aku enggak akan tinggal di lubang pohon," tolakku. Sementara kilat dan petir mulai menghiasi langit.
"Kalau begitu, carilah hotel!" serunya.
Aku berteriak marah. Tidak mungkin aku bersamanya di lubang itu. Di sana kotor, mungkin itu tempat binatang buang air, atau bahkan tempat tinggal kalajengking atau semacamnya. Tubuhku ngeri membayangkannya.
"Maudy, ayo sini! Hujannya semakin deras," perintah Bagas.
"Sialan!" jeritku sebelum turun ke lubang pohon. Tubuhku segara didekap Bagas ketika aku memposisikan berbaring di sampingnya. "Kita akan mati sebentar lagi, 'kan?" Aku berkata sambil menangis.
"Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Bertahanlah!" serunya karena suara kami ditelan bunyi hujan dan petir yang bergelegar.
"Kita akan tenggelam di lubang ini, Gas," ujarku lagi.
"Tanah di permukaan lubang ini cukup tinggi. Air tidak akan naik dan mengisi lubang. Lagipula, ini hutan, bukan jalanan beraspal. Air hujan akan segera terserap tanah. Jangan cemaskan itu, Dy. Kamu aman bersamaku." Bagas mengecup keningku sebelum memelukku lebih erat.
Hujan deras mengguyur hutan ini. Kilat dan petir melukis langit seakan menunjukkan kekuasaan tak tertandingi. Hawa dingin mulai membelenggu tubuh kami. Aku sendiri terhanyut dalam sesal tak berujung hingga rasanya lebih memilih untuk mati.
~o0o~
13 January 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Kilas Rasa
AdventureMaudy Halim mengajak kekasihnya, Vincent Nugraha, berlibur di sebuah desa terpencil untuk menghangatkan kembali gelora cinta mereka. Malang, sebuah bencana alam melanda. Maudy yang sedang tak bersama Vincent, jatuh ke sungai dan tubuhnya terseret ar...