DUA BELAS

33.1K 2.2K 70
                                    

"Maudy."

Suara pria yang rasanya lama tak kudengar memanggilku. Sosok Vincent memandangku dengan wajah tampan dan senyuman manisnya. Aku ingin terbangun dari posisi tidurku.

"Maudy."

Suara yang berbeda. Bersamaan dengan itu, bayangan Vincent telah sirna dan aku menyadari bahwa sejak tadi aku sedang menutup mata. Pipiku ditepuk oleh sebuah tangan dan suara yang kukenal—milik Bagas—kembali memanggilku. Aku melenguh. Kepalaku masih dicengkeram ngilu dan aku membuka mata perlahan. Mengerjap dan memandang wajah Bagas yang menunjukkan kekhawatiran.

"Sakit," keluhku lirih dan aku kembali memejamkan mata.

"Bertahanlah. Aku akan bawa kita ke pengungsian secepatnya. Maafkan aku." Ciuman Bagas mendarat di dahiku. "Maaf," bisiknya. Dia meraih tubuhku untuk digendong. Namun, baru saja wajahku menempel dadanya, terdengar suara mengorok entah dari mana. Bagas tercekat, akupun demikian.

"Apa itu, Gas?" rengekku seraya mencengkeram erat baju seragamnya. Tubuhku meremang karena membayangkan hal buruk yang sedang mengincar. Kami berada di tempat yang lebih rendah di hutan ini, hingga di sekitar kami lebih gelap dan banyak tumbuh-tumbuhan liar menghalangi jarak pandang.

Aku memandang Bagas yang tak segera menjawab. Tubuhnya waspada dan menatap tajam ke sekeliling kami. Dia menggendong tubuhku perlahan lalu berjalan ke arah sebuah pohon. Dia menurunkan tubuhku dan berkata," Naiklah."

"Apa?"

"Naik ke atas pohon, sekarang! Ada babi hutan, Dy." Dia memaksaku untuk memanjat pohon itu.

"Aku enggak bisa," ratapku. Pria gila! Untuk berdiri saja tubuhku sakit semua. Seenaknya saja menyuruhku naik. Dia pikir aku kera?!

"Dy, cepat!" Bagas meninggikan suaranya. Dia meraih pinggulku kemudian membantuku memanjat.

Sementara aku tak dapat membendung tangis karena batang pohon yang kasar itu seakan memarut telapak tangan dan lenganku di bagian dalam. Di tengah ketakukan dan dera luka-luka yang kudapatkan sebelumnya, aku merangkak naik dengan sisa tenaga. Saat aku baru mencapai setengah dari tinggi pohon, aku merasa pohonnya bergoyang membuat tubuhku oleng. Kedua lenganku mendekap batang pohon sehingga tubuhku tergantung tak sampai jatuh.

"Bagas!" Aku menjerit ketika melihat ke bawah. Rupanya gerakan tadi akibat tubuh Bagas yang diseruduk babi hutan hingga membentur pohon dengan keras. Hewan berbadan besar dan berbulu hitam itu dengan beringas menyerang Bagas.

"Jangan liat ke bawah! Ayo cepat naik!" teriak Bagas di bawah serangan hewan liar yang terus membenturkan wajahnya ke perut Bagas. Beberapa kali babi hutan itu menginjak-injak tubuh Bagas ketika pria itu tergolek di tanah.

Tangisanku semakin keras ketika kedua lengan ini seakan tak mampu lagi menahan berat badanku. Kaki kananku yang sakit kupakasakan meraih batang pohon agar aku kembali ke posisi semula. "Bagas," ratapku karena kakiku ngilu bukan kepalang. Kepalaku menjadi pening karena kesakitan ini. Aku menutup mata dan terus mencoba menaikkan kaki yang tergantung ke batang pohon.

Aku membuka mata ketika aku berhasil menumpukan seluruh tubuhku di batang pohon. Aku melihat ke bawah di mana ada Bagas berjuang melawan hewan itu. Aku mengernyit sakit saat dia terluka sementara aku hanya diam tak berbuat apa-apa. Kini Bagas mengeluarkan pisau dari sakunya. Dia melukai kaki babi hutan hingga hewan itu mundur setelah mengularkan suara seperti meringik.

"Bagas," panggilku lagi. Suaraku hilang ditelan tangis ketakutan, marah, sekaligus putus asa.

"Panjat lebih tinggi, Dy," perintahnya dengan langkah terhuyung mendekati pohon.

Dari atas sini, aku melihat babi hutan menuju ke arah Bagas. Sepertinya itu hewan lain karena larinya seperti tak pernah dilukai. "Gas, awas!" jeritku seraya menunjuk ke arah babi hutan yang berbulu hitam dan terlihat lebih menyeramkan.

"Naik!" Suara Bagas meninggi. Dia menyusulku memanjat pohon.

Akupun dibantunya agar memanjat lebih tinggi lagi. Lara disekujur tubuhku serasa menghantam bertubi-tubi. Rasa lelah untuk memanjat membuatku depresi, sedangkan di bawah sana ada babi hutan yang akan menyerang kami.

"Tenanglah. Aku di sini." Tangan kiri Bagas memegangi pinggangku. "Aku di sini," yakinnya.

Hewan itu terus menabrakkan kepalanya ke pohon. Hal itu membuat aku menjerit ketakutan karena pohonnya bergerak. Bisa saja batang pohon ini patah karena dihinggapi kami berdua.

"Aaaarrgghh ... Bagas!" jeritku ketika babi hutan mendorong pohon kuat-kuat. Tanganku yang tak mampu lagi berpegangan, membuat tubuhku jatuh dari ketinggian beberapa meter. Aku menggeliat ketika punggungku membentur tanah yang ditutupi dedaunan kering.

"Maudy!" Bagas segera turun dari pohon.

Namun, babi hutan itu lebih dulu menyerangku. Dia seakan mempermainkan tubuhku dengan menginjak-injak dan menyerudukkan kepalanya. Aku menjerit kesakitan karena tubuhku seakan diremukkan olehnya. Sebisa mungkin aku merayap—menjauhi hewan itu. Sementara ranting yang berserakan membuat kausku terkoyak hingga menggores kulit tubuhku yang sudah bercucuran darah.

Pandanganku mulai kabur. Aku berhenti dan membalikkan badan menjadi telentang di bawah tubuh babi hutan. Organ dalamku terasa sakit. Aku menutup mata, pasrah jika hewan itu membunuhku. Tiba-tiba aku merasa tertimpa sesuatu yang berat. Ketika aku membuka mata, tubuh Bagas menindihku. Tangannya menancapkan pisau ke badan babi hutan. Dia menyingkirkan hewan yang sekarat, kemudian berbalik menghadap ke arahku.

"Ya Tuhan, Maudy ...." Dia meraih tubuhku. Tangannya yang masih berlumuran darah babi hutan kini di pinggangku. "Sudah aman. Dia sudah mati," bisiknya.

Aku kembali menangis di pelukannya. Lega, tetapi juga geram karena kami harus mengalami kejadian seperti tadi. "Tadi monyet, terus babi hutan, nanti apalagi?!" kesalku. Pelukan Bagas semakin erat dan dia menenangku. "Aku takut, Gas. Setiap detiknya aku bisa saja mati di sini," ratapku.

"Maaf ... karena aku, kamu terluka. Aku janji akan kita akan keluar hutan sebelum petang. Jangan takut."

Aku merasakan kecupannya di puncak kepalaku. Dia membantuku bangun. Dengan tubuh lemah dan kaki bergetar aku berdiri. Dia segera menangkap ketika tubuhku mulai oleng. "Tahan sebentar, Dy." Bagas segera berbalik dan membelakangiku. Dia menarik kedua tanganku ke pundaknya lalu mulai menggendongku di punggungnya.

"Jangan lepaskan tangan kamu," perintahnya.

Bagas berjalan ke tempat di mana aku jatuh dan pingsan tadi. Hanya dengan berpegangan pada beberapa ranting, dia perlahan menaiki tanah terjal yang menanjak. Tak jarang dia hampir oleng dan membuat kami terjatuh. Beberapa kali ranting yang ditariknya terlepas sehingga dia harus berpegangan pada bebatuan agar tak tergelincir.

Air mataku terus berderai melihat perjuangannya. Batinku menjerit karena menyadari keadaannya. Hanya dengan kaus kaki, Bagas mencoba berjalan di dataran yang menanjak penuh batu. Ranting-ranting itu juga tak jarang melukai tangan bahkan wajahnya. Ditambah lagi dia harus menahan beban tubuhku di punggungnya.

Tiap menit seakan menyiksa. Aku ingin segera sampai di atas sana, meski bayangan Bagas akan terpeleset selalu menghantui. Rasa sakit di tubuhku kini terasa hingga ulu hati. Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat ketulusan Bagas berjuang demi keselamatan kami.

~o0o~

11 Peb 2017

Kilas RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang