LIMA

33.4K 2.4K 51
                                    

Sudah tersedia versi novel, PDF, juga e-book di Google Play.

Hubungi Vintari untuk ketersediaan novel atau PDF (metode share link)

WhatsApp: 085742897916

Instagram: vintariwp

Repost hanya sebagian untuk spoiler.

Happy reading!

💕💕💕

Pertemuan pertamaku dengan Bagas Kurniawan sekitar empat tahun yang lalu. Dia datang ke rumah ayah bersama kak Rudy dan kak Nia. Saat itu aku yang masih marah pada kak Nia, memilih pergi daripada menemui mereka. Namun, kak Nia mencegahku dan akhirnya kami bertengkar. Emosiku membuncah setiap melihat kak Rudy. Aku berlari ke tengah jalan raya kemudian Bagas berhasil mendapatkanku sehingga aku tak sampai terserempet mobil.

Kini Bagas menarik tubuhku dari sungai lalu memelukku erat. Sama seperti saat itu, air mataku menetes di dadanya yang berbalut seragam prajurit. Lega karena hampir saja meregang nyawa, tetapi juga kecewa karena setelah ini aku yakin akan kembali terluka.

Sejak Bagas menolongku, aku tak bisa berhenti memikirkannya. Pria itu seakan mendekapku di setiap malam-malam berikutnya, wajahnya selalu membayang saat aku menutup mata, aroma tubuhnya membuatku merindu bahkan aku masih ingat suara helaan napasnya. Itu semua menyiksaku karena aku melihat sosok kak Rudy dalam diri Bagas.

Kak Rudy dan Bagas sama-sama pasukan TNI AD. Perawakan dan pembawaan diri mereka hampir sama. Mereka juga memiliki sorot mata tajam, meski Bagas lebih mengintimidasi. Tak bisa kupungkiri jika aku merasa aman saat berada di dekat mereka. Namun, aku tak ingin tergoda wajah tampan Bagas hingga akhirnya aku berharap itu adalah kak Rudy.

Vincent merupakan jawaban untuk melupakan mereka. Sosok pria keturunan Tionghoa yang mampu membuatku punya tujuan baru dalam hidup. Kebersamaanku dengan Vincent berhasil menghapus kenangan tentang kak Rudy dan keinginan untuk menjadikan Bagas sebagai pengganti. Namun, rasanya semua itu sia-sia karena kini Bagas merengkuh dan membawaku kembali pada rasa yang kupendam dalam-dalam.

Ya Tuhan, bagaimana Vincent di sana? Villa yang ditempatinya berada di tempat yang tinggi. Mudah-mudahan dia baik-baik saja. Tubuhku saat ini semakin menggigil karena tangisku.

"Kamu aman," bisik Bagas yang semakin erat memelukku. Kata-katanya seperti keajaiban yang mendamaikan.

"Ada orang," lirihku ketika kurasakan perahu karet ini mulai bergerak. Aku menunjuk ke arah hutan tempat tadi aku dan Rahma menenggelamkan pohon. Kini anak kecil itu tak kulihat lagi. Mungkin dia ketakutan dan menemui ibunya.

Bagas memberi instruksi kepada pria yang berseragam sama dengannya. Setelah membenarkan posisi dudukku, dia dan temannya turun dari perahu dan berjalan ke arah hutan. Selain aku, ada satu orang yang memakai pelampung—mungkin tim evakuasi—dan dua orang yang kutebak sebagai korban bencana alam karena pakaian mereka basah dan berlumpur.

Tak lama, Bagas datang menggendong wanita yang pingsan. Sementara teman Bagas berjalan bersama Rahma dan ibunya yang menggendong bayi. Bagas merebahkan wanita itu di sampingku lalu mengulurkan tangan untuk ibunya Rahma.

"Tidak bisa kita bawa semuanya," kata teman Bagas.

Bagas menoleh ke arah kami yang berada di perahu lalu menatap ke arah pria yang memakai pelampung seakan minta pendapat.

"Benar, perahunya bisa oleng karena kelebihan beban." Pria itu berkata pasti pada Bagas.

Bagas terlihat bingung dan kembali menatap temannya. "Bawa saja anak-anaknya," putusnya.

Ketika teman Bagas akan membantu Rahma naik ke perahu, gadis kecil itu menolak dan meronta di dekapan teman Bagas. Dia menjerit dan memanggil ibunya karena tak ingin berpisah. Ibunda Rahma sampai menangis membujuk putrinya agar mau dievakuasi lebih dulu bersama bayi kecilnya.

"Aku enggak akan ninggalin ibu," jeritnya pilu.

Ada perasaaan malu pada diriku sendiri ketika melihat kejadian itu. Rahma yang masih belia, tetapi rasa pedulinya begitu besar pada keluarganya. Sementara aku, dengan kekanak-kanakannya pergi dari rumah dan tak ingin pulang lagi. Memang, aku dan orang tuaku tak benar-benar tidak berjumpa selama empat tahun itu. Mereka menemuiku di Jakarta, meskipun aku lebih sering pergi menghindar.

Ya Tuhan, pantaskah jika setelah ini aku pulang karena ingin memeluk ibu? Akankah ayah menerimaku setelah selama ini aku tak mau menerima teleponnya? Selama ini aku menuduh kak Nia merebut kak Rudy, tetapi aku sendiri menjadi pembenci bagi kehidupannya yang bahagia. Maafkan aku, ya Tuhan.

Mataku terasa perih, dadaku sesak dan tubuhku bergetar hebat. Tangisku pun ikut pecah. Aku tak tahan melihat Rahma menangis seperti itu. Tubuhku yang terasa kaku, kugerakkan dan turun dari perahu hingga Bagas pun turun mengikutiku.

Aku menatap teman Bagas dan berkata, "Bawa saja mereka. Aku yang tinggal."

Pria berseragam TNI AD itu melihat ke arah Bagas seakan meminta persetujuan kemudian mengangguk padaku. Dia segera menaikkan tubuh Rahma dan ibunya yang menggendong bayi ke atas perahu kemudian dia sendiri ikut naik. Dia menoleh ke arah Bagas yang kini berdiri di sampingku. "Ayo," ajaknya.

"Perahunya sudah penuh. Berikan saja tasnya," perintah Bagas seraya mengulurkan tangan.

Pria itu memprotes, "Tapi ...."

"Aku sudah tahu," potong Bagas setelah menerima tas ransel besar dari temannya.

"Hati-hati," pesannya kemudian memebari aba-aba kepada pria lainnya untuk menjalankan perahu.

"Kalian juga," sahut Bagas.

Perahu karet itu perlahan bergerak meninggalkan kami. Rahma dan ibunya melambaikan tangan dan tak henti meneriakkan kalimat 'terima kasih' padaku. Hanya anggukan dan senyuman lega yang kuberikan kepada mereka, akhirnya ada yang menolong juga.

Aku menoleh ke arah Bagas yang rupanya sejak tadi memerhatikan tubuhku. Dia memberikan isyarat agar aku mengikutinya ke arah hutan. Karena aku tak mengerti apa maksudnya, kuikuti saja tanpa banyak tanya. Ketika kami sampai di tempat aku menemukan Rahma dan yang lainnya, Bagas menyuruhku duduk dengan menunjuk saja.

Aku duduk di bawah pohon dan dia berlutut di hadapanku seraya membuka tasnya. Bagas menyerahakn sebotol air putih dan aku segera saja meneguknya hingga habis setengah botol. Aku melirik ke arah tas itu lalu kembali memandang Bagas dan bertanya, "Ada makanan juga?"

Mata Bagas menatap tajam ke arahku seolah aku baru saja memintanya membelah lautan. Dia menjawab, "Ada pizza."

Sialan, umpatku dalam batin. Aku tahu kita di tengah hutan dan dalam keadaan bencana alam. Dia membawa air minum, siapa tahu menyimpan makanan juga. Aku memang merasa lapar, jika aku berharap ada makanan itu wajar. Pria ini judes sekali, sih. Menyebalkan! Aku menyesal sudah bertanya. Seharusnya aku bersikap seperti dulu saja ... menutup diri.

~o0o~

6 Jan 2017

Kilas RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang