EMPAT

39.2K 2.4K 48
                                    

Rasa sakit kembali menyerang ketika aku merasakan tubuhku membentur sesuatu. Perlahan aku membuka mata dan mendapati diriku yang tertahan pada pohon yang tumbang. Kedua tanganku memeluknya. Akar-akar pohon masih mencengkeram tanah meski batang hingga puncaknya roboh ke arah sungai.

Dengan sisa tenaga, aku mengangkat tubuhku ke atas pohon itu dan merayap ke tepian sungai. Seakan disiksa waktu, lama sekali aku mencapai akar pohon. Setelah dapat meraihnya, aku berpegangan erat dan akhirnya dapat menapakkan kakiku di tanah yang basah. Aku menjerit karena tanah itu longsor. Tubuhku tergelincir ke arah sungai, untungnya tanganku segera meraih ranting pohon hingga tak sampai tercebur.

Aku menangis sejadi-jadinya. Tubuhku sakit, kulitku perih, kakiku lemah sekali. Ya Tuhan, jika aku harus mati, kumohon jangan siksa aku seperti ini. Mataku terpejam dan hanya mendengar gemuruh arus sungai. Kutatap langit yang mendung hingga tak dapat kuperkirakan sudah berapa lama aku berjuang. Kembali aku menyeret tubuhku dengan berpegangan pada ranting. Aku menjerit karena kerikil dan ranting-ranting itu menggores tubuhku yang memakai atasan minim. Kondisiku benar-benar kacau. Jika aku selamat setelah ini, aku berjanji tidak akan mengenakan halter neck atau pakaian minim lainnya. Ampuni aku, ya Tuhan.

Kesadaranku perlahan menghilang ketika aku sampai di tepian sungai. Sakit yang mendera, perih yang menyiksa, dan putus asa yang setia merenggut tenaga, membuatku berhalusinasi mendengar suara manusia. Suara itu datang dari balik pepohonan di hadapanku. Karena tak sanggup berdiri, aku merangkak menuju ke dalam hutan untuk mencari asal suara.

"Tolong!" jeritku yang tak seberapa. Tenggorokanku terasa kering dan seperti ada yang mengganjal. Pasti karena air berlumpur yang tak sengaja kuminum. Aku memekik lagi, "Tolong!" Air mataku jatuh karena merasa tindakanku ini sia-sia. Wajahku yang menunduk diraih sebuah tangan. Aku mendongak. Ada gadis kecil menatapku. Pakaiannya lusuh dan kotor. "Tolong," mohonku padanya.

Gadis kecil itu meraih tubuhku. Tangannya yang dingin memegangi tangan kananku. Rasanya ada kekuatan yang membuatku berdiri dan berjalan tertatih mengikutinya. Kami berjalan melewati pepohonan. Di pohon yang paling besar, ada seorang wanita mendekap bayi yang menangis. Di samping wanita itu ada wanita lain yang lebih tua sedang memejamkan mata.

"Bu," panggil gadis kecil di sampingku.

Wanita yang memegang bayi itu memandang kami secara bergantian. "Mbak Rahma, sini," perintahnya.

Gadis kecil itu menuntunku ke arah pohon besar dan membantuku duduk bersandar di sana. Anak kecil di pangkuan wanita itu terus menangis. Sementara gadis kecil itu menghampiri wanita yang mendekap anak kecil. Mungkin mereka juga korban lain seperti aku.

"Dia kenapa?" tanyaku tentang wanita yang memejamkan mata pada wanita yang memangku anak.

"Ibu itu tadinya terbawa arus. Saya menolong dan menyeretnya ke sini. Tadi masih bisa bicara, tapi dia pingsan setelah kami membawanya ke sini." Wanita itu menerangkan seraya menangis.

"Terus ... ibu sendiri ... bagaimana bisa ada di hutan?" tanyaku lagi.

"Suami saya sedang sakit. Jadi, saya dan Rahma yang mencari kayu bakar di hutan. Ini anak saya yang kecil rewel minta ikut. Sekarang malah kami yang terjebak di sini," ujarnya sambil membelai rambut gadis kecil yang bernama Rahma.

"Apa yang terjadi?" lirihku.

"Gempa, Mbak. Getarannya kencang sekali sampai beberapa pohon tumbang, ditambah tanah longsor karena semalam hujan. Saya tidak berani melewati arus untuk pulang ke desa." Wanita itu mencium dan mendekap bayinya.

Rasa ngilu kembali menerpaku hingga aku merintih. Sungai yang memisahkan antara hutan dan desa tak terlalu lebar. Namun, dengan adanya arus seperti tadi, jangankan wanita yang membawa bayi, aku sendiri pun tak berani. Meskipun demikian, tidak mungkin kami di sini menunggu bantuan datang. Ini hutan. Lebih berbahaya jika di malam hari. Apalagi ada warga yang sedang sakit dan anak-anak.

Kilas RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang