Aku bergegas menyambar halter neck-ku, memakainya kemudian mengenakan kaus putih milik Bagas yang sudah berubah warna karena lumpur. Dengan langkah gontai aku berjalan menyusul pria kurang ajar itu. "Gas, tunggu!" Aku setengah berlari agar segera menyamai langkahnya. Namun, pria itu terus berjalan tanpa menghiraukanku.
Kami berdua memasuki area hutan yang cabang-cabang pohonnya rendah. Berulang kali ranting itu menggores tubuh kami seakan menghalangi perjalanan. Banyak sekali nyamuk yang menghalau kami. Mereka seakan marah karena kami mengusik area mereka.
Aku hampir menangis karena area hutan ini sangat menggangguku. Tidak seperti area sebelumnya yang ditumbuhi pepohonan dengan batang yang tinggi, saat ini kami seakan memasuki semak belukar. Meski Bagas sudah menggunakan pisau di tangannya untuk membuka jalan, tetap saja kulitku tak luput dari sayatan ranting-ranting runcing.
"Gas, kita nyasar, ya? Kok kayaknya kita makin masuk ke hutan?" tanyaku seraya sibuk menyingkirkan ranting yang menggangguku.
"Sudah benar," jawabnya tanpa menoleh sedikitpun.
"Emang enggak ada jalan lain, ya? Kenapa harus masuk semak belukar seperti ini, sih? Mana banyak nyamuk," keluhku.
"Salah sendiri tidak pakai obat anti nyamuk," kata Bagas dengan nada datar.
Apa katanya? Dia pikir aku sedang tamasya di sini? Dasar menyebalkan!
Aku meraih ranting yang menjuntai kemudian aku dorong ke arahnya kuat-kuat. Ranting itu tak menyentuh punggung Bagas sama sekali. Celakanya, justru berbalik dan menyabet wajahku dengan keras.
"Aduh!" teriakku seraya menangkup wajah. Rasanya panas dan perih membuatku merintih.
Dengan mata tertutup, kudengar langkah Bagas mendekat. Tak lama, kurasakan tangannya meraih tanganku agar memperlihatkan wajahku. "Hati-hati," tegurnya lembut.
Aku menatapnya dengan marah. Kudorong dada Bagas kuat-kuat, tetapi tubuh pria itu sama sekali tidak goyah. "Ini semua gara-gara kamu! Aku ngikutin kamu malah jadi sial kayak gini." Aku meluapkan kekesalanku padanya.
Bagas terlihat akan bicara, tetapi aku segera mendahuluinya. "Sekarang aku yang jalan di depan," putusku. Aku berlalu mendahuluinya.
Sekitar beberapa langkah aku berjalan di depan Bagas, ada sarang laba-laba di hadapanku. Aku terkejut dan spontan berteriak. Segera saja aku berbalik dan menabrak dada bidang Bagas. Aku yang ketakutan segera memeluknya dan berteriak histeris. "Aaaarrgh! Ada laba-laba!"
"Dy, itu cuma sarangnya," kata Bagas.
Aku menutup mata, menyembunyikan wajah di dadanya dan tanganku memeluk tubuhnya kian erat. Ya Tuhan, aku takut sekali dengan serangga itu. "Kamu bawa kita ke sarangnya. Kita akan mati!" Aku meneriakkan kata-kata itu.
"Tidak, Dy. Kita cuma melewatinya. Sudah kubersihkan."
Kurasakan tangan Bagas bergerak-gerak. Mungkin memang dia membersihkannya. Aku tidak tahu pasti karena aku menutup mata. Sebaiknya aku buka mata kalau sudah sampai di pengungsian saja.
"Sudah bersih. Ayo, jalan," ajaknya.
Aku tidak berencana melepaskan pelukanku. Kulitku saja masih merinding ketika mengingat sarang serangga itu. Jika aku membuka mata lalu melihat wujudnya, aku pasti pingsan.
"Dy? Ayo." Bagas berusaha menjauhkan tubuhku, tapi aku tidak mau.
"Enggak mau," tolakku.
Bagas mulai berjalan perlahan. "Kalau seperti ini, kapan kita sampai?" Tangannya masih berusaha menjauhkan tubuhku.
Dekapanku semakin erat. "Bodo amat!" Aku berjalan di samping Bagas dengan mata tertutup, wajah setengah ditempelkan di dadanya dan kedua tanganku memeluk pinggangnya. Terserah Bagas mau berpikir apa. Intinya saat ini aku takut sekali dengan laba-laba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kilas Rasa
AdventureMaudy Halim mengajak kekasihnya, Vincent Nugraha, berlibur di sebuah desa terpencil untuk menghangatkan kembali gelora cinta mereka. Malang, sebuah bencana alam melanda. Maudy yang sedang tak bersama Vincent, jatuh ke sungai dan tubuhnya terseret ar...