EMPAT BELAS

33.9K 2.1K 61
                                    

Ini cerita udah lama banget, ya, gaess. Untuk versi lebih rapi, boleh baca novelnya atau di Google Play Book.

***

"

Maudy!" Bagas menyerukan namaku lagi.

Sekujur tubuhku merinding. Terpaan angin terasa dingin. Aku membuka mata dan terpaksa memberikan senyuman kepadanya. Kepalaku menggeleng. Tak hanya untuk menolak ajakannya, tetapi juga untuk melarang diriku tergoda lebih jauh. Jemariku mulai gemetaran saat pria setengah telanjang itu berjalan ke arahku.

Ini bukan pertama kalinya aku melihat tubuh pria yang hampir tanpa busana. Aku dan Vincent dulu beberapa kali berenang bersama, bagiku sudah terbiasa. Namun, saat bersama pacarku dulu, aku masih bisa menahan diri. Mungkin itu juga karena Vincent menghindari kami berhubungan fisik yang lebih berani. Sekarang kondisinya sangat berbeda. Bagas hanya memakai celana pendeknya, memamerkan keperkasaan raganya. Titik-titik air yang membasahi sebagian tubuh Bagas membuatku ingin pingsan saja.

"Ayo," ajaknya dengan nada lembut.

Cabut saja nyawaku, Tuhan. Suara Bagas sukses membuatku gemetaran. Aku begitu gugup berdiri di hadapannya. "Ja ... jangan, Gas." Kerongkonganku terasa tercekat. Pandangan pria itu menyelidik, membuatku kehilangan fokus. "Ehm ... maksudku enggak. Enggak usah mandi." Nada suaraku merendah. Aku mengembuskan napas—yang sejak tadi kutahan—dari mulut. Celakanya, itu terdengar seperti desahan. Bodoh!

"Tidak ada buaya seperti yang kamu takutkan," ujar Bagas.

Saat ini yang kutakutkan adalah buaya darat seperti kamu, Gas!

Aku menunduk tak berani menatap wajahnya. Ketika tangan Bagas terulur dan meraih pinggangku, kedua kaki ini seakan tak bertulang. Aku lemas—karena sentuhan Bagas—hingga hampir terjatuh. Hal itu membuat Bagas mengeratkan rengkuhannya dan menempelkan tubuh kami.

Oh, aku sangat menjijikkan. Mengapa aku harus merasa tak berdaya di lengan kekarnya sampai akan terjatuh dan kini dalam dekapannya. Tubuh sialan! Aku memilih untuk lumpuh saja daripada harus merasakan bulu-bulu tubuh yang meremang karena bergesekan kulit dengannya.

Aku sedikit terpekik saat Bagas tiba-tiba menggendongku. Mau tak mau kedua tanganku melingkar di lehernya. Ada rasa yang mengusik di hati ketika lenganku menempel di dada telanjangnya. Kegelisahan semakin menyapa ketika wajah kami saling menatap, napas hangatnya pun menerpa.

Waktu berjalan terasa melambat. Lama, kami sampai di sungai dekat anak air terjun. Bagas menurunkan aku di dekat sepatu dan baju seragam TNI AD-nya. "Lepas pakaian kamu lalu bersihkan luka-luka itu di sana." Bagas menunjuk arah belakangku. Sungai jernih hingga bebatuan di dasarnya bisa kulihat. "Aku akan berada di sisi lain." Kini Bagas menunjuk arah belakangnya.

Kami saling menatap canggung sebelum kutundukkan kepala. Untuk mandi di tempat terbuka seperti ini, tentunya membuatku enggan. Apalagi bersama pria lain seperti Bagas. Ketika pria itu berbalik badan, aku pun demikian. Tubuhku yang masih sakit, kupaksa berdiri dengan kedua kaki. Saat aku akan melepas celana denimku, keseimbanganku tak dapat dijaga, akhirnya badanku oleng ke arah sungai.

"Hati-hati," bisik Bagas di telinga kiriku. Dia menangkap tubuhku hingga aku tak sampai jatuh ke sungai. Posisinya kini memelukku dari belakang. Dada telanjangnya menempel pada punggungku dan bibirnya menyentuh daun telingaku. "Aku bantu." Suara Bagas begitu berat membuatku diam di tepat.

Bagas membantuku duduk di batu besar. Tangannya meloloskan celana denimku perlahan. Ujung jarinya yang menyentuh kulit paha hingga betisku membuat jantung ini berdetak hebat. Ketika tangannya menyentuh ujung kausku, segera kutahan.

"Gas," tegurku.

Pria itu menatapku kemudian mengangguk dan menjauhkan tangannya. "Kita tidak punya baju ganti. Lebih baik lepaskan semuanya sebelum masuk ke dalam air." Dia berdri dan berjalan pergi.

Mudah saja dia berbicara seperti itu. Dia pria, pria bisa telanjang di mana saja. Buang air kecil sesukanya. Namun, aku wanita yang masih punya rasa malu. Perasaan tak nyaman selalu ada ketika mandi di sungai seperti ini. "Gas," panggilku membuat pria itu mengentikan langkah. "Jangan jauh-jauh," pintaku.

"Aku di sebelah sini," katanya tanpa menoleh.

Setelah mendengarkan jawabannya, aku melepas seluruh pakaianku. Berhati-hati, aku masuk ke dalam sungai yang airnya jernih setinggi pahaku. Terik matahari tak membuat air ini hangat. Tetap sejuk saat menyentuh kulitku. Aku mengambil posisi berjongkok hingga tubuhku terbenam sebatas dada.

Rasa pedih kembali menjalar ketika kugosok kulitku yang penuh luka. Darah yang mengering, tanah yang menempel pada kulit yang terbuka membuatku meringis kesakitan. Aku sedikit mengerang saat menempelkan punggungku pada batu. Aku menoleh ke arah kiri. Setengah tubuh Bagas juga sudah terendam ke dalam air. Sepertinya dia tak memakai apapun di dalam sana karena kulihat celana pendeknya tergolek tak jauh darinya. Aliran air dari sungai membelai kulit pria yang berwarna kecokelatan itu. Aku melupakan acara mandiku dan menonton pria itu membasuh setiap inchi tubuhnya.

Melihat punggung Bagas, anganku melayang liar. Punggung itu tadinya tempatu merebahkan wajah selama aku dalam gendongannya. Apa jadinya jika sekali lagi aku memeluk punggungnya tanpa kain yang menghalangi? Kini jantungku kembali berpacu karena fantasi gilaku. Bagai disentak kilat, aku gelagapan saat pria itu menoleh ke arahku. Aku membalikkan badan—memunggunginya. Gerakan yang tiba-tiba itu membuat tulang punggungku nyeri. Eranganku lolos karena ngilu. Ya Tuhan, mengapa aku jadi berpikiran kotor seperti ini?

"Maudy."

"Ya?" Aku berbalik badan menghadap ke arahnya. Namun, sedetik kemudian dengan gerakan kikuk aku menutupi bagian depan tubuhku lalu kembali memunggunginya. Ini gila! Kenapa tadi aku menunjukkan dadaku padanya? "Apa?" sahutku melewati bahu.

"Kamu di sini saja. Aku mau mengambil sesuatu."

Aku mendengar suara gemercik. Itu artinya Bagas keluar dari sungai. Dia akan meninggalkan aku? Tidak bisa! Aku berbalik badan akan memarahinya. Namun, aku justru disuguhi pemandangan pria telanjang yang memungut celana dan hendak memakainya. Jantungku seakan melompat keluar ketika melihat area pribadinya. "Ya Tuhan," lirihku. Segera kuberbalik badan dan membasuh wajahku cepat-cepat. Berharap bayangan Bagas yang sedang bugil hilang dari benakku.

"Kamu kenapa?" Suara Bagas terdengar mendekat.

Aku mengembil napas, membuka mata dan mengerjap. "Buruan kamu pakai baju," tegurku dengan galak. Aku benci pria penggoda itu.

"Sudah," katanya.

Perlahan aku menoleh ke arah Bagas. Sudah apanya? Dia hanya memakai kaus singlet putih dan celana pendek saja. Seragam TNI AD miliknya masih tergeletak bersebelahan dengan pakaianku. Aku menatap tak suka pada wajahnya yang terlihat geli kepadaku. "Kamu mau ke mana, sih?" tanyaku sinis.

"Aku cari sesuatu untuk ini." Tangan Bagas terulur menyentuh luka wajahku. Dia kembali menarik tangannya ketika aku mengaduh. "Masih sakit?"

"He em." Aku mengangguk.

Dia berdiri. "Aku pergi sebentar," pamitnya. Namun, dia tak segara pergi malah berdiam diri.

Sementara aku yang sadar dengan apa yang dia amati, buru-buru menutup dadaku dengan tangan kiri. "Jangan liatin, Gas!" pekikku sambil menyibakkan air ke arahnya. Aku berenang mundur, tetapi salah tingkah sendiri karena itu membuat tubuhku semakin terekspos di hadapannya. Meskipun kini aku mengubah posisi berenang, Bagas tetap bisa melihat seluruh tubuh belakangku tanpa busana. Kudengar gelak tawanya yang kian menjauh.

Dasar pria kurang ajar!

***

17 Feb 2017

Kilas RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang