[3] Deal?

201 28 56
                                    

"Diharapkan untuk siswa/i baru SMA Zendaya Putih supaya segera berkumpul di lapangan outdoor sekolah guna melaksanakan MOS di hari pertama. Terimakasih," begitu perintah orang yang Shahnaz tahu adalah Ketua OSIS di SMA tempatnya bersekolah melalui speaker yang terletak di setiap sekat koridor.

Mereka bertiga mempercepat langkah ketika sudah hampir memasuki pelataran lapangan outdoor di sekolah mereka. Gila. Ini sudah seperti lautan manusia yang mengenakan atribut-atribut aneh seperti tali rafia, karung goni dan sebagainya.

Di sela-sela mereka memperhatikan para panitia dan siswa/i lainnya, Keana berbisik pada Shahnaz. "Ramenya hampir sama kayak Aksi Damai 2/12."

Ayolah, Keana, itu terlalu ramai. Lagi pula, setahu Shahnaz kau tidak pernah mengikuti acara damai seperti itu selama hidupmu. Kau bahkan lebih suka menyaksikan tawuran langsung dari tempatnya.

Saat Shahnaz ingin membalas bisikan Keana, sang Ketua OSIS berbicara lagi melalui mic dari atas mimbar. Dapat terlihat dia sedikit kesulitan. "Aduh, Adik-adik. Kakak minta bantuannya, ya. Tolong kalian berkumpul membentuk kelompok sesuai dengan atribut yang kalian pake. Kakak-kakak OSIS yang pake rompi ungu bakal bantuin kal— Eh! Yang di sebelah sana! Jangan diinjek rumputnya! Mampus, mati gue diamuk Pak Dedy,"

Benar 'kan dia kesulitan?

Ketiga sahabat ini tertawa kecil, oh, bukan tiga, tetapi dua. Charissa tidak ikut tertawa, omong-omong. Dia malah sibuk memperhatikan kondisi sekitar.

"Sa, ngapain? Lo sekelompok sama gue, 'kan? Anak OSIS yang di sebelah sana udah manggil-manggilin gue mulu noh. Ayo, ke sana. Dari tadi lo liatin apa, sih?" Keana melambaikan kedua tangannya di depan wajah Charissa.

Dan lamunan Charissa buyar begitu saja. "Nothing. Gue cuma mempelajari keadaan sekitar. Ngerasa gak lo, Ke? Sekolah ini punya CCTV di mana-mana, tapi guru-guru sama sekali gak ada yang nongol satu pun. Cuma ada beberapa OSIS sama penjaga kebun yang dari tadi mondar-mandir di depan kita. I just say,... sekolah ini gak punya satpam dan cuma ngandelin fasilitas CCTV mereka buat ngawasin setiap siswa yang ngelanggar peraturan. Coba aja kalau CCTV yang ada di depan gerbang gak berfungsi, then die. Siswa-siswa bakal madol lewat atap dan keluar dengan santainya lewat gerbang sekolah."

Sepertinya Shahnaz melupakan satu hal kalau ternyata, Charissa ini adalah pengamat yang melebihi jenius. Charissa sangat ahli dalam memikirkan sesuatu yang akan terjadi ke depannya. Dan ini adalah modal Charissa untuk bisa bergaul sedikit dengan teman-teman sebayanya, setelah perilaku irit bicaranya itu dikesampingkan.

Mendengar penuturan Charissa, rahang Keana jatuh ke bawah. Dalam hitungan detik, Keana dapat menarik kesimpulannya sendiri. "Intinya... gue bisa madol kapanpun gue mau?"

Charissa mengangguk sebelum dia berucap kembali. "Lo bisa madol di semester pertama kelas sepuluh sesuka lo, Ke. Tapi nggak buat semester kedua dan seterusnya."

Alis hitam Keana menyatu. "Why not?"

"Karena di semester dua, gue bakal nyalonin diri jadi Ketua OSIS. Dan otomatis, semua peraturan di sekolah ini, gue ubah. So,... gak ada yang namanya madol or anything like that."

Bahkan seseorang yang sangat pendiam bisa menjadi mematikan saat dia menemukan ambisi yang selama ini dia cari.

Charissa pergi setelah selesai dengan ucapannya. Keana? Dia gondok setengah mati. Sementara Shahnaz? Jangan tanyakan dia, dia bahkan tak menyimak obrolan kedua sahabatnya karena sedang sibuk dengan earphone yang dipasang di iPod-nya sendiri.

"Naz, gue duluan nyusul Charissa. Lo gak papa sendiri?" tanya Keana ogah-ogahan mengingat rencana busuknya untuk mengepakkan sayap menjadi "bad" di SMA Zendaya Putih, pupus sudah.

"I'll be fine. Have fun with your new friends, but don't forget your best friend, okay?"

"Ya, see you."

Setelah Keana pergi menyusul Charissa untuk berkumpul bersama kelompoknya, Shahnaz masih berdiri di tempat yang sama. Di lorong penghubung antara halaman depan dengan lapangan sekolah. Kepalanya mengangguk-angguk mengikuti irama yang didengar oleh telinganya.

Masa bodoh dengan larangan siswa baru untuk tidak membawa alat elektronik semacam itu ke sekolah. Lapangan dipenuhi manusia ini terlampau ramai sampai mengharuskan Shahnaz memakai earphone supaya membunuh rasa bosannya itu.

Mencari kelompok? Ah, bahkan Shahnaz tak peduli lagi.

"Good. Terlambat masuk dan mainin iPod di sekolah. Kira-kira berapa ya point yang lo dapet hari ini, Anak Baru?" tanya seseorang.

Shahnaz kenal suaranya. Dan hanya orang itu yang memanggilnya dengan sebutan, "Anak Baru". Oh, jangan pertemukan Shahnaz dengan dia. Shahnaz benar-benar malas.

Namun tekdir berkata lain, Shahnaz menghela napas panjang saat melihat wajah orang tersebut. "Ketemu lagi, Kakak Kelas."

•••

Kini, Shahnaz berada di ruang BK.

Ruang paling laknat sepanjang sejarah.

Dia sih biasa-biasa saja berada di ruangan ini karena hal tadi adalah mutlak salahnya.

Tapi yang membuat Shahnaz kesal, kenapa orang yang membawanya ke sini itu adalah dia?

Laki-laki yang memanggilnya dengan sebutan, "Anak Baru".

"Oke. Apa masalah lo?" tanya sang Ketua OSIS yang tadi berada di atas mimbar kepada Shahnaz.

"Saya—" Shahnaz sudah ingin menjawab, tetapi lelaki rese itu lebih dulu mendahuluinya.

"Dia terlambat, Yul. Terus tadi gue juga mergokin dia dengerin musik pake iPod-nya. Ini buktinya," lelaki itu menyerahkan seperangkat iPod sekaligus earphone milik Shahnaz ke Ketua OSIS tersebut.

Ketua OSIS itu mengambil iPod dan earphone Shahnaz. "Ini punya kamu?" tanyanya.

"Iya, Kak. Tapi—"

"Gak usah sok imut pake aku-kamu gitu, Iyul. Jijik," sela lelaki itu lagi. Oke, Shahnaz mulai kehabisan stok kesabaran.

Iyul? Nama yang aneh, bukan? Tentu itu bukan nama aslinya. Nama asli Ketua OSIS ini adalah Ivan Yulio. Di kelasnya, terdapat dua Ivan yaitu Ivan Yulio dan Ivan Pratama. Jadi, agar memudahkan, Ivan Yulio dipanggil Iyul, alias kependekkannya, dan Ivan Pratama tetap dipanggil Ivan. Kadang, nama Iyul sering dipleseti dengan teman-temannya bukan menjadi Ivan Yulio, tetapi Ivan Tuyul, mengingat kepalanya yang sedikit pelontos dan tubuhnya yang bisa dibilang kecil mirip tuyul-tuyul para dukun.

Iyul terkekeh. "Dareen, Dareen. Lo itu harus punya taktik kalo mau deketin cewek cantik kayak dia. Salah satunya ya itu, bersikap imut padahal lo udah tahu sendiri kalo muka sama sikap yang lo keluarin itu, gak pernah kongruen."

Dasar laki-laki modus, biadab, laknat. Pipi Shahnaz sudah memerah macam kepiting rebus.

Dareen, lelaki menyebalkan tadi, mencibir Iyul. "Terserah apa kata lo, deh. Terus, dia mau dikasih point berapa?"

Iyul menyipitkan matanya. "Point?"

Dareen mengangguk mantap.

Iyul berkata lagi. "Cewek semanis dia dikasih point?"

Tambah memerah saja pipi Shahnaz.

Dareen membelalakkan matanya tak terima. "Lo gak mau ngasih point ke dia gara-gara dia cantik?" Dareen menggelengkan kepala dramatis. "Bener apa kata orang, ada tiga hal yang bikin laki-laki lemah. Uang, tahta, dan yang terakhir, wanita."

Shahnaz tertawa setan di dalam benaknya. Ternyata dengan modal kecantikan saja, bisa meluluhkan hati seorang orang besar. Dareen? Lelaki itu menampakkan wajah masam yang ingin sekali Shahnaz teriaki, "Satu, kosong. Gue unggul dari lo!"

"Tapi, tunggu. Gimana kalo gue ngasih hukuman contohnya, ngeharusin nih cewek buat deket sama lo selama semester pertama. Berhubung yang bawa dia ke sini itu 'kan elo, Reen. Gimana, deal?"

Shahnaz spontan berteriak. "Gak! Eh— maksud saya, apa gak ada hukuman lain—"

"Gue setuju."

Dua kata dari Dareen barusan cukup membuat Shahnaz merasa seperti baru saja memasuki gerbang pembatas antara dunia nyata dan dunia gaib.

Horor.

LemonadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang