"Pokoknya gue gondok setengah mampus sama tuh anak! Nih ya, bayangin aja, sehari gue ketemu sama dia udah dua kali, coba! Dan itu juga cuma selang beberapa menit! Gila gak, sih?! Mana waktu ketemu, dia selalu cari gara-gara sama gue! Yang nyatet nama gue-lah, yang ngelaporin gue ke Ketua OSIS-lah, yang—"
Cinta angkat bicara. "Oke, stop! Lo punya masalah? Ceritain pelan-pelan ke kita."
Sepuluh menit yang lalu, Charissa, Keana, dan Cinta sedang melahap bakso mereka masing-masing di kantin saat Shahnaz tiba-tiba datang dan meringkus habis bakso milik Charissa, lalu meminum es teh manis milik Keana, kemudian membersihkan sisa-sisa makanannya dengan tisu milik Cinta.
Ketiga korban Shahnaz ini sudah paham dengan perilaku Shahnaz jika perempuan itu sedang memiliki masalah. Seperti orang gila. Shahnaz selalu berucap sepanjang gerbong kereta api setelah selesai dari kegiatannya merecoki aktivitas makan-makan ria ala Charissa, Keana, dan Cinta.
Shahnaz menghela napas guna menanggapi pertanyaan Cinta. "Denger, ya. Ada anak OSIS. Nyari masalah sama gue. Udah dua kali. Gue dikasih hukuman buat ngintilin dia terus selama semester pertama. Dan, duar! Ini akhir kisah hidup seorang Shahnaz Faristha."
"Hahahahahahahaha..."
Rahang Shahnaz langsung jatuh ke bawah. "Lo bertiga... ngetawain gue?"
"Uhuk... uhuk..." Charissa terbatuk. "Sorry, terus lo mau ngapain?"
"Ya, ngapain kek!"
Keana membetulkan rambut hitamnya. "Ngerjain dia selama semester pertama?"
Shahnaz, Charissa, dan Cinta langsung menatap Keana dengan alis yang terangkat sebelah.
"Apa? Gue salah?" Keana mengangkat kaki kanannya ke atas kursi, seolah kuli bangunan sedang makan di Warteg.
"No,..." Shahnaz tersenyum penuh arti. "... it's a good idea."
Setelah ini, sepertinya nyawa Dareen akan berada pada status siaga merah.
•••
"DAREEN! DEMI APA LO BENERAN NERIMA TAWARANNYA IYUL?!" Alvaro, teman Dareen sejak SMP, mendorong pintu kelas XII di depannya.
Dareen dan siswa yang berada di dalam kelas pun terhenyak. "Dateng-dateng bikin rusuh," Dareen kembali pada sebuah buku Sejarah di tangannya, begitu pula dengan siswa lain yang melakukan kembali kegiatan mereka yang sempat tertunda gara-gara ulah Alvaro. "Kenapa emangnya?"
"Pake nanya lagi kenapa! Aduh, Dareen,..." Alvaro berjalan menuju Dareen, lalu duduk tepat di depannya. "... lo inget gak sih waktu kita masih kelas sembilan, dia pernah bikin kepala lo bocor?"
Dan sebuah memori kecil berputar bak kaset rusak di kepala Dareen.
"Reen, kalo lo berani naik ke atas gedung kesenian, gue bakal telanjang bulet di tengah-tengah lapangan sambil joget-joget," ucap Ivan kepada Dareen sambil menunjuk sebuah gedung di salah satu SMP dengan dagunya.
Tanpa pikir panjang lagi, Dareen mengangguk. Dipikirannya saat ini hanya ada; akan sangat lucu jika melihat Ivan telanjang bulat di depan semua siswa sambil menari-nari. "Deal?"
Ivan tersenyum evil. "Deal."
Beberapa saat kemudian, Dareen sudah berada di atas gedung kesenian seperti perjanjiannya dengan Ivan. Dareen mengintip ke bawah sana, tempat di mana Ivan dan teman-temannya melihatnya dengan takut-takut. Dareen meneguk ludah. Ternyata gedung setinggi 15 meter lumayan tinggi. Dan pastinya akan terasa sakit jika Dareen terjun dari sini.
Sekali lagi, Dareen meneguk ludah saat kakinya berjalan perlahan menuju tempat paling pinggir dari gedung kesenian itu. Seperti persyaratannya dengan Ivan, Dareen diharuskan untuk berdiri tegap di sana dan membentangkan kedua tangannya selama lima detik. Lima detik? Itu cukup singkat.
Setelah Dareen berada dan melakukan pose yang benar, teman-temannya yang berada bawah sana menghitung dari satu sampai lima.
"Satu!"
"Ayo, Reen, lo bisa." Dareen memejamkan matanya.
"Dua!"
"Gini doang mah cepil," mulut Dareen berkomat-kamit membaca surat Al Fatihah.
"Tiga!"
"Setengah jalan lagi, Reen."
"Empat!"
"Satu hitungan lagi, Reen, terus elo bakal liat Ivan telanjang di depan umum."
"Lima!"
"Udah 'kan, selesai? Hah! Ini terlalu gampang buat ukuran seorang Dareen Angelo."
Dareen membuka mata saat mendengar tepukan-tepukan riuh yang berasal dari teman-temannya. Dia tersenyum penuh kemenangan sambil melambaikan kedua tangannya ke bawah. Dareen menggoda Ivan dengan membentuk sebuah pistol di kedua tangannya dan mengarahkannya kepada Ivan.
Ivan mendengus.
Selesai berpose kemenangan, Dareen segera berbalik, hendak turun dan menagih janji Ivan yang akan menari bertelanjang bulat di depan semua siswa.
Begitu kaki kanannya menapak, keseimbangan Dareen jadi goyah. Dareen tergelincir saat menapakkan kakinya pada sekumpulan air yang menggenang. Dareen jatuh dari atas gedung kesenian dan mendarat tepat di bebatuan-bebatuan kecil. Semua orang berteriak saat kejadian cepat itu terjadi. Sangat cepat saat Dareen hanya bisa melihat para temannya yang mengerubunginya, wajah panik Alvaro dan juga... senyum kemenangan milik Ivan.
"Inget, Ro."
Jawaban singkat Dareen membuat Alvaro menaikkan sebelah alisnya. "Terus?"
"Ya, udah. Kenapa?"
Musnah sudah kesabaran Alvaro. "ASTAGA, DAREEN!" Alvaro mencak-mencak sendiri. "Dia itu cuma ngejebak elo!"
"Yang penting dia janji gak bakal pake tawaran-tawaran kampung kayak dulu lagi, elah." Dareen mengambil pena di kotak pensil dan menggaris bawahi kalimat-kalimat penting di buku Sejarah-nya itu. "Lo kayaknya rempong banget deh, Ro. Gue aja biasa aja. Lagi pula nih, kalo seandainya gue bisa ngelakuin itu, mobil Range Rover keluaran terbaru, bakal ada di garasi rumah gue. Tapi kalo gue kalah, ya udah. Gue gak disuruh buat beliin dia apapun dan ngelakuin apapun."
Alvaro tambah tak habis pikir dengan jalan pikiran Dareen. "Oke. Sekarang, gue minta lo mikir pake nalar. Mana ada sih orang yang ngadain semacam perjanjian kayak gitu kalo di pihak dia sendiri gak diuntungin?"
Dareen mengangkat kedua bahunya acuh. "Mana gue tahu. Buktinya ada tuh si Iyul." Dareen melihat jam di pergelangan tangannya. "Udah, ah. Sekarang gue ada remedial terakhir di ruang guru. Duluan, Ro. Salam buat pacar-pacar lo, ya."
Dareen menyampirkan ranselnya sambil bergegas meninggalkan Alvaro. Buku Sejarah dan pena yang berada di tangannya, sangat menunjukkan bahwa Dareen ini sangat bersungguh-sungguh dalam remedial terakhirnya. Semua nama tokoh pahlawan revolusi, tanggal-tanggal mereka berperang, sampai tempat di mana mereka dikebumikan, tersimpan rapi di otak Dareen.
Dareen terus berjalan sampai suara Alvaro menelusup ke telinganya. "Terus gimana sama Mega, Reen?"
Kini, Dareen yakin bahwa hafalan-hafalan Sejarah di otaknya, sudah menghilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lemonade
Dla nastolatków[ON-HOLD] Ini tentang Dareen, Mega, dan sebuah kesepakatan. Oh, jangan lupakan remaja labil berumur 15 bernama Shahnaz-karena ini jelas menyangkut tentang kisahnya. Kini, terdapat tiga orang. Dua hati. Dan, satu cinta. Lalu, apa yang akan terjadi? ...