[1] S-H-A-H-N-A-Z

338 51 137
                                    

"Naz, Papa mau kawin lagi,"

Aku terkesiap. "PAPA KAWIN LAGI?! GAK BOLEH...!"

"Hahaha...," kudengar suara orang tertawa. Dan aku langsung menoleh ke arah sumber suara. Kudapati Pio, abangku, tengah terlentang di bawah kasurku sambil memegangi perutnya. Ya, kutahu dia sedang mati-matian tertawa. Tentu saja menertawakanku.

"Hahaha," aku mencibirnya dengan menirukan tawa menjijikkannya itu. "Ketawa sana lo, sampe mati. Biar gak ganggu tidur gue terus," aku bergegas menuruni kasur dan menuju wastafel untuk mencuci muka.

Abangku itu masih dalam posisinya tidur terlentang. Kalau saja ada truk tronton di sini, pasti aku sudah menggilasnya sampai tubuhnya itu menyatu dengan tanah. "Habisnya lo udah tiap hari gue bangunin pake kata-kata yang sama juga, masih aja kaget. Terus di sini yang bego siapa?" tanyanya membuatku ingin sekali menjedotkan kepalanya ke tembok terdekat.

"Iya, Pio, gue yang bego. Puas?" tanyaku balik, sambil mengoleskan pasta gigi ke atas sikat gigi merah mudaku. Aku mulai menggosok gigi-gigiku saat Pio berdiri.

"Ya, udah. Buruan bersih-bersihnya, ini hari pertama lo sekolah. Gue gak mau capek-capek ngeluarin alesan kalau nanti gue ditanya kenapa lo telat dateng ke sekolah," ucap Pio sembari berjalan keluar kamarku.

Petuahnya barusan, hanya aku tanggapi dengan deheman dalam tenggorokan.

"Eh, iya, Naz...," Pio berhenti dari kegiatannya menutup pintu kamar ketika dia sudah berada di luar kamarku. "... cowok di sana, ganteng-ganteng, lho."

Dan sebuah sikat gigi langsung melayang ke kepalanya.

•••

"Ma, Pa, aku berangkat. Assalamu'alaikum," aku menuruni tangga dengan sepasang tali rafia yang terikat sempurna di rambutku, sebuah name tag dari kardus bertuliskan, "Aku gagal move on!" dan tas punggung yang aku sampirkan di sebelah kanan bahuku. Sudah tahu 'kan mengapa aku memakai atribut seperti orang gila ini? Baiklah, jika sudah tahu aku tidak akan menjelaskannya.

Mataku masih terfokus pada layar ponselku untuk men-scroll foto-foto para alumni baru SMP Bina Karya, alias teman-temanku, yang memenuhi beranda Instagram-ku.

"Lihat jalan, Sweetie. Mama gak mau kepala kamu benjol lagi gara-gara kamu main handphone dan gak lihat kalau ada pintu di depan," ucap Mama mengingatkanku, takut-takut jika kejadian seminggu lalu terulang.

Sekarang, mari aku ceritakan sedikit tentang kejadian yang aku maksud. Seminggu lalu adalah salah satu hari liburku setelah lulus SMP. Pertamanya fokusku memang bisa terbagi, tetapi saat sebuah direct message dari teman lamaku yang menceritakan tentang liburannya ke Sidney, membuat titik fokusku sepenuhnya berada pada ponselku. Dan, bruk! Besoknya aku pun menangis melihat sebuah benjolan sebesar biji kelengkeng yang bersarang selama 5 hari di tengah-tengah keningku.

"Naz, gak denger Mama ngomong apa?" Pio sudah berada di depanku, sambil bersilang dada. "Handphone lo, gue sita. Gue gak mau ya denger suara tangisan lo lagi kalau lo sampe nabrak pohon dan tiba-tiba ada benjol segede biji duren di jidat elo. Pengang tahu gak kuping gue."

Dan dalam sekejap, ponsel kesayanganku sudah berada di genggaman Pio.

•••

"Turun,"

"Gak," aku bersilang dada sambil membuang muka ke arah jendela mobil. Sebenarnya, aku dan Pio sudah tiba di sekolah sejak 5 menit yang lalu. Tetapi, tak ada angin tak ada apa, Pio malah mengibarkan bendera perang terhadapku, yaitu dengan ketidak inginannya mengembalikan ponsel kesayanganku, maka dari itu aku mogok melakukan semua kegiatan yang diperintahnya. Jadilah kami berlama-lama di mobil abangku ini.

"Turun, Shahnaz. Lo mau telat?"

"Balikin dulu handphone gue, Pio. Lo mau telat?" aku menatapnya dan meniru perkataannya.

Bukannya segera mengembalikan ponselku, Pio malah menggelengkan kepala cukup keras. "Kalau lo mau ngambil handphone lo, bukan sekarang. Nanti, jam istirahat lo ke kelas gue. Masalah lo mau keluar atau gak dari mobil, itu urusan lo. OSIS udah on the way ke sini. Dan gue males nama seorang Pio lagi-lagi dicatet di buku yang tiap hari mereka bawa ke mana-mana itu. Bye," Pio segera turun dari mobil ini dan berlari berbaur bersama dengan siswa/i lainnya.

Lihat saja, Pio, pulang sekolah nanti aku akan mengadukanmu kepada Mama.

Terlalu lama bermonolog sendiri, aku pun keluar dari mobil. Baru saja aku menutup kap mobil dan ingin berjalan, sebuah tangan tiba-tiba memelintir telingaku. Itu menyakitkan, omong-omong.

"Aduh, sakit! Lepas, Anjing! Sialan!" aku mengumpat. Kalau Mama ada di sini, sudah dipastikan bahwa beliau akan melumuri mulutku dengan sambal, yang sial, sangat pedasnya itu.

'Kan? Aku mengumpat lagi.

"Lo gak denger suara bel ya, Anak Baru?" suara baritonnya itu cukup membuat bulu-bulu tipis di sekujur tubuhku berdiri. Seolah ingin menunjukkan kehadiran mereka kepada pria ini.

Aku pun membalikkan badanku. Dan langsung disambut oleh mata tajam bak elang, seakan membawa diriku untuk hanyut bersama di dalamnya. Oh, Tuhan, pria ini sangat tampan. Dewa Yunani saja lewat. Lalu, apa yang harus kuperbuat dengan jarak sedekat ini dengannya? Mencumbunya dengan rakus? Tentu saja akan kulakukan jika aku ingin sebuah surat pengeluaran siswa secara tak hormat sampai di tangan kedua orang tuaku.

"Muka lo mesum juga ya, Anak Baru."

Cukup. Aku muak dengan panggilannya itu.

"Gue punya nama, sorry. Dan nama gue bukan Anak Baru, Kakak Kelas," sepertinya meniru gaya bicara seseorang adalah salah satu keahlianku yang terpendam. "Catet nama gue baik-baik, okay. Nama gue, Shahnaz Faristha. S-H-A-H-N-A-Z. Bukan pake Y karena gue bukan adiknya Raffi Ahmad."

Melihat dia yang hanya menaikkan sebelah alis, aku segera melenggang pergi menjauh. Kuanggap ekspresinya tadi adalah sebuah ekspresi skakmat. Sepertinya aku cukup pintar dalam menjatuhkan seseorang dengan mulut besarnya.

Beberapa langkah kulalui saat pria asing itu menyahuti perkataanku. "Oke, thanks karena udah kasih tahu gue nama lo. Shahnaz 'kan bukan pake Y? Tenang, nama lo ada di dalem buku ini sebagai salah satu siswi yang terlambat masuk sekolah di hari pertama MOS. Pulang nanti, jangan ke mana-mana, langsung ke ruang BP. Kalau gak tahu di mana, lo bisa tanya ke beberapa OSIS yang pake rompi kayak gue. Sekali lagi, thanks."

Bunuh saja aku.

LemonadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang