"Ivan kok gak ikut, Reen?" tanya Mega kepada Dareen. Keduanya masih berada di ruang makan setelah Juli mengajak Alvaro berkeliling sebentar. Oh, bukan Juli yang mengajak Alvaro, tapi pemuda itu yang memaksa Juli untuk mengajaknya berkeliling.
Dari sekian nama laki-laki, sepertinya hanya nama "Ivan" yang menyangkut di setiap pertanyaan Mega. Dareen memutar bola mata malas, Mega bahkan tak mengetahui bahwa Ivan hampir menyelakai lelaki yang berada di hadapannya ini.
"Nanyain Ivan mulu. Kalo kangen, kamu bisa telpon dia. Tuh pake aja handphone aku, mumpung ada gratisan," balas Dareen, baper. Kata-katanya barusan, menunjukkan bahwa dia ternyata sama saja dengan Alvaro. Mengandalkan gratisan.
Mega tertawa kecil. Entah ramuan apa yang Tuhan taburi di setiap inci wajah perempuan itu, semua hal yang dilakukan oleh bibir Mega, seperti caranya berbicara, tawanya, senyumnya, sampai kedua bibirnya yang hanya mengatup diam, menjadi kelemahan Dareen yang paling utama.
"Aku 'kan cuma nanya kenapa dia gak ikut kamu. Jangan ngambek gitu dong, jelek tahu," lagi, Mega tertawa. "Sayang banget deh, padahal aku pengen ngasih surprise buat kalian berdua," tambah Mega. Perempuan ini terlihat lebih serius dari sebelumnya. Dan Mega tak mengetahui, dari setiap perubahan ekspresi yang dilakukan wajahnya, selalu mengundang sensasi tersendiri dari seorang Dareen.
"Surprise? Apa?"
"Kalo aku kasih tahu, namanya bukan surprise. Nanti malem aku ajak kamu ke suatu tempat."
•••
"Ini surprise-nya?" Dareen menelisik ke setiap penjuru rumah pohon ini. Rumah pohon yang dibangun Mega di belakang rumahnya. "Ini mirip banget. Foto-foto kita, catnya, tata letak propertinya, semuanya," Dareen menatap manik mata Mega. "Aku gak nyangka kamu bakal bikin rumah pohon persis kayak punya kita di Bali dulu, Ga. Kok kamu inget, sih?"
"Inget, dong. Mega..." perempuan itu menyombongkan diri dalam konteks bercanda dengan memainkan kedua alis cokelatnya. Dalam sekejap, wajahnya sudah kembali serius. "Tapi sebenernya, bukan ini surprise yang mau aku omongin ke kamu..."
Tangan Dareen yang tadinya berniat untuk mengambil sebuah bola kaca berisi air dan gabus yang dihancurkan mirip seperti butiran-butiran salju, mendadak berhenti begitu Mega menggantungkan ucapannya. Perasaan Dareen jadi tidak enak.
"Terus apa?" Dareen kembali menatap manik mata indah itu. Bersiap ingin mendengar apa yang akan disampaikan Mega dari caranya yang segera menggeret sebuah kursi santai dari kayu untuk diduduki.
"Minggu depan, aku bakal..." Mega menggigit bibir bawahnya gugup.
"Bakal...?" tanya Dareen penasaran. Sangat penasaran hingga membuat kepalanya maju lebih dekat dengan Mega.
"Minggu depan aku bakal... pindah ke Jakarta! Aku bakal sekolah di sekolahan kamu, Dareen! Surprise gak?"
JDUAR...!
Kilatan petir tak kasat mata langsung menyambar pikiran Dareen begitu mendengar berita itu. Entah Dareen harus menyebutnya dengan berita bahagia atau berita duka. Yang jelas, berita ini cukup membuatnya terkejut. Jika Mega harus satu sekolah dengannya, maka bagaimana dengan tawaran Ivan?
Diliriknya Mega yang tengah tersenyum senang. Sedangkan Dareen mati kutu. Dengan meneguk ludahnya susah payah, Dareen bertanya, "Minggu depan, Ga? A— apa gak terlalu kecepetan? Ngurus berkas-berkas kepindahan itu lama, lho."
Lengkungan tipis di bibir Mega sudah berubah menjadi lengkungan lebar yang mampu membuat matanya ikut melengkung. Mega tertawa. "Papa udah ngurusin semua kepindahan aku, Reen. Mulai dari sekolah, apartemen, biaya, pakaian aku, semuanya udah beres. Tinggal aku yang belum ada di sana. Tapi ya, sebagus-bagusnya kita bikin rencana, cuma Tuhan yang bisa berkehendak, aku gak bisa ke Jakarta bareng kamu, tiket pesawat buat hari Jum'at dan Sabtu habis..."
Kosong. Tatapan Dareen kosong. Menyiratkan sebuah kebodohan. Lelaki itu bahkan tidak mendengar lagi ucapan-ucapan Mega. Hanya ada satu permasalahan yang ada di kepalanya, bagaimana dengan mobil Range Rover yang akan berada di garasi rumahnya jika dia berhasil melakukan tawaran Ivan tempo lalu? Musnah. Semuanya musnah. Hal yang tadinya dianggap sepele, kini berubah menjadi hal yang mematikan.
"Kamu... udah kasih tahu Ivan?"
Dan jawaban Mega membuat Dareen tercengang. "Udah sih sebenernya. Ivan malah orang pertama yang aku kabarin. Waktu itu aku juga pengen langsung ngabarin kamu, tapi semua messages yang aku kirim lewat LINE, WA, DM, gak pernah kamu bales. Ya udah, aku ngasih tahu kamu belakangan aja. Sekalian surprise. Bentar lagi kamu 'kan ulang tahun."
Mega memberi jeda dengan mulai berjalan mendekati jendela. Tempat di mana dia bisa melihat sekumpulan bintang yang membentuk beberapa rasio. "Makanya waktu kamu dateng gak bareng Ivan, aku kaget banget. Aku pikir dia bakal ikutan bikin surprise buat kamu dengan pura-pura gak tahu juga. Tapi ternyata dia gak dateng," Mega menoleh ke kanan, Dareen ternyata sudah berada tepat di sampingnya. Mata lelaki itu tajam menatap salah satu bintang yang dijadikan pelampiasan kemarahannya.
Dareen marah. Marah terhadap Ivan. Dia terus bertanya dalam hati mengapa Ivan tak menyampaikan ini sebelumnya, tetapi malah membuat tawaran seperti itu. Semakin dia berpikir keras, semakin kemarahan pula menguasai dirinya. Jika tidak ada Mega di sebelahnya, sudah dipastikan bahwa Dareen akan menghancurkan benda-benda yang berada di rumah pohon ini.
"Ivan emangnya sibuk banget ya, Reen? Aku takut nanti aku jadi gak sering ketemu dia waktu di sekolah," kata Mega lagi, membuat Dareen tersenyum sebentar lalu membawa kepala Mega untuk bersandar di dadanya.
"Gak, kok. Dia gak terlalu sibuk," tapi aku harap kamu gak pernah ketemu sama dia lagi, sambung Dareen dalam benaknya.
Dan malam yang dingin di pedesaan London ini, keduanya habiskan dengan menyibukkan pikiran mereka, menerka-nerka apa yang akan terjadi minggu depan.
Mega, perempuan itu tak sabar untuk menunggu. Sementara Dareen, lelaki itu mencoba untuk menahan letupan amarah di dadanya dan berdoa semoga saja Ivan cepat meninggalkan dunia ini saat Dareen akan memberinya bogeman mentah hadiah dari London kepada lelaki itu setelah dirinya sampai di Jakarta nanti.
Namun, suatu pertanyaan ganjil tiba-tiba saja mengusik relung hati Dareen;
Siapa orang berengsek yang berani menghapus pesan-pesan yang dikirimkan Mega kepada Dareen?
Kemungkinannya hanya ada dua orang.
Ivan,
atau,
Alvaro.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lemonade
Teen Fiction[ON-HOLD] Ini tentang Dareen, Mega, dan sebuah kesepakatan. Oh, jangan lupakan remaja labil berumur 15 bernama Shahnaz-karena ini jelas menyangkut tentang kisahnya. Kini, terdapat tiga orang. Dua hati. Dan, satu cinta. Lalu, apa yang akan terjadi? ...