[11] Si Spesial

98 9 22
                                    

"Lo udah punya anak?!"

Kali ini, giliran Shahnaz yang terkejut. Matanya melotot seperti ingin keluar begitu mendengar pertanyaan—yang lebih mengacu pada kalimat suudzon—yang Dareen lontarkan dari bibirnya.

Shahnaz langsung menoleh ke balita yang kini tengah menggelendoti manja kaki jenjangnya. Dia menunjuk Ailin dengan jari telunjuknya, lalu kembali menatap Dareen. "Ailin maksud lo?"

Yang ditatap semakin terkejut. "J-Jadi nama anak lo Ailin?"

Kontan Shahnaz menepuk dahinya. Mana Dareen tahu balita yang mempunyai status sebagai keponakan Shahnaz ini bernama Ailin?

"Bukan, bukan. Dia bukan anak gue, tapi keponakan gue. Namanya Ailin." Shahnaz terikik geli.

Keterkejutan di diri Dareen perlahan menguap. Berganti menjadi pribadi dirinya yang biasa; cuek-cuek tai. "Terserah lo, deh. By the way, gue harap lo nggak lupa sama rencana kita Minggu ini," katanya, menaikkan sebelah alis.

Shahnaz memandangi langit siang, menerawang 'rencana' apa yang dimaksud Dareen. Terlebih lagi dengan kata 'kita' yang dia ucapkan. Bikin Shahnaz baper.

"Rencana?" beo Shahnaz, belum mengingat apapun.

"Hari Minggu, gue jemput lo buat nemenin gue ke Mall—"

Suara Dareen kala itu tiba-tiba terngiang jelas di telinga Shahnaz, yang mana membuat cewek itu langsung memekik. "Ya ampun! Gue lupa!"

•••

Tak seperti dirinya tadi pagi, kini butuh waktu lama untuk Shahnaz membersihkan wajahnya yang mengenaskan, menggerai rambut kecokelatannya, memakai t-shirt hitam bergambar logo Adidas di bagian dada, ripped jeans-nya yang biasa, serta sepatu putih yang berlabel sama dengan bajunya.

Shahnaz benar-benar mengutuk Dareen atas semua ketergesa-gesaan ini.

Sembari menyemprotkan wangi-wangian berbau vanilla ke tubuh, sekali lagi Shahnaz mematut penampilannya di cermin.

Walau cuma jalan ke mall, gue harus cantik di depan dia biar dia kesemsem sama gue.

Setidaknya itu adalah alibi Shahnaz yang terucap ketika benaknya bertanya mengapa dia harus repot-repot berdandan bak putri kerajaan padahal hanya ingin hang out selama 1-2 jam dengan Dareen.

Hang out? Oh, my. Seriously?

Shahnaz berpikir terlalu jauh.

Dia menggeleng-gelengkan kepala, mengenyahkan segala pemikiran yang ada. Segera Shahnaz mengetikkan pesan untuk Pio.

Shahnaz: Gece balik, gue lupa kalo gue mau pergi hari ini.

Pio dengan cepat membalas.

Pou: Ke mana? Sama siapa?

Shahnaz: Ke mall. Sama Dareen.

Pou: Cieee...

Shahnaz: Bacot.

Pou: CIEEE!

Shahnaz: Diem lo, kembaran Adul.

Pou: Mirip Mau Saos gini dibilang kembaran Adul:(

Shahnaz: Goblok.
Shahnaz: Manu Rios, anjing. Bukan Mau Saos:(

Pou: Mama... Shahnaz berkata kasar, Pio nggak suka.

Shahnaz: BANG!

Pou: Apa, Neng?

Shahnaz: Ish, nyebelin.
Shahnaz: Bodo, Ai gue tinggal di rumah.

Shahnaz berdecak sebal. Ingin sekali dia menjedotkan kepala Pio andai Pio ada di sini. Sudah lari dari tanggung jawab dalam menjaga Ailin, pakai segala menggoda Shahnaz pula!

Sebel.

"Assalamualaikum. Mama pulang. Eh, temennya Safio atau Shahnaz?"

Meski Shahnaz sering mendengarkan lagu di iPod-nya kencang-kencang sampai kata Cinta bisa merusak gendang telinga cewek itu, Shahnaz yakin betul suara ucapan salam itu berasal dari Mama yang baru pulang dari butik milik keluarganya. Apalagi ketika nama asli Pio disebut. Sudah jelas kalau itu adalah mamanya.

"Sebenernya sih, saya kenal dua-duanya, Tante. Cuma sekarang, lagi ada perlunya sama Shahnaz doang. Hehehe..." Giliran Dareen menyahut. Nadanya terdengar sok-kenal-sok-deket. Cih.

"Oh, temennya Shahnaz. Baru sekali lho, Shahnaz bawa temen cowok ke rumah. Pasti kamu temen yang—ehem—spesial buat Shahnaz, ya?"

Di depan cermin, Shahnaz tersedak ludahnya sendiri. Buru-buru dia keluar kamar, menutup pintu dengan keras, dan menuruni tangga bak orang kesetanan. Bisa gawat kalau mulut mamanya berbicara seperti itu terus. Yang ada, Dareen akan kepedean. Dan itu bukanlah hal baik.

"Eh, Mama. Udah pulang? Gimana butiknya? Rame nggak? Oh iya, susu formula Ai habis, nanti kalo Pio pulang, suruh dia buat beliin aja ya, aku mau pergi dulu, ada acara. Mama nggak perlu tau, urusan anak muda."

Rentetan kata panjang itu mengalir cepat dari Shahnaz yang tiba-tiba meloncat dari tiga anak tangga sekaligus, sampai Mama mau pun Dareen tak yakin mereka mendengar ucapannya dengan jelas, karena setelah 'pendaratan'—yang untungnya mulus—itu, Shahnaz langsung menggenggam tangan Dareen, menariknya menuju keluar rumah, ke tempat mobil Dareen terparkir.

"Bye! Aku cinta Mama! Serius, deh!" Walau sudah berada di halaman rumah, Shahnaz masih sempat-sempatnya memberi ucapan selamat tinggal.

Dan Mama yang melihat pertautan kedua tangan remaja itu, tersenyum tipis. Mama hendak menutup pintu utama sebelum ingat sesuatu yang menyebabkan beliau menggoda sedikit teman putrinya tadi. "Naz! Kalo perginya deket Cookies Bakery, beliin Mama kue lapis talas, ya! Biar berkah nge-date-nya!"

Shahnaz berhenti, kemudian berbalik dan berseru, "MAMA!"

"Hahahaha..." Mama tertawa. "Tapi serius, Naz. Didoain deh, biar bisa langsung jawab 'ya' waktu ditembak sama Si Spesial di tempat nge-date."

"MAMA, IH!"

LemonadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang