[6] Wait Me

124 15 48
                                    

"Gue udah minta ID LINE-nya si Dareen. Terus habis ini apa?"

Shahnaz membaringkan tubuhnya di kasur santai milik Cinta. Seragam putih abu-abu masih melekat di tubuhnya, Keana, dan juga Charissa. Sedangkan Cinta sudah menggantinya dengan baju rumahan.

Setelah bubaran sekolah, keempat perempuan ini memang memutuskan untuk mampir sebentar ke rumah Cinta. Juga untuk membicarakan rencana apa selanjutnya dalam masalah balas dendam antara Shahnaz dengan salah satu kakak kelas itu.

Kenapa mereka berempat memilih rumah Cinta sebagai markas utama mereka sebenarnya alasannya mudah. Kalau seandainya mereka berkumpul di rumah Shahnaz, itu sama saja mengundang maut bagi teman-teman Shahnaz karena kakak Shahnaz, Pio, lelaki kelas dua belas itu akan menggoda ketiga teman Shahnaz habis-habisan dengan gombalan mautnya. Terpana tidak, menggelikan iya, kurang lebih seperti itulah pemikiran Keana, Charissa, dan Cinta begitu gombalan receh keluar dari mulut Pio.

Di rumah Keana? Oh, itu akan membunuh mereka perlahan. Bukan apa-apa, hanya saja, penerangan yang minim, poster band rock yang tertempel di seluruh inci tembok kamar, serta bau kaus kaki dan baju-baju bekas Keana bermain bola yang tergeletak di mana-mana, sudah cukup membuat ketiga temannya sesak napas. Terlebih lagi Charissa yang memiliki riwayat asma, dia langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat saat mereka berkunjung ke kamar Keana untuk mengerjakan tugas kelompok.

Charissa? Bisa saja sih di kamar perempuan paling pendiam itu, tetapi masalahnya ada pada Cinta. Di kamar Charissa ada dua ekor kucing bernama Titty dan Tittou. Titty berbulu putih kapas, sedangkan Tittou bulunya berwarna hitam pekat. Bulu-bulu mereka yang lebat, membuat Cinta yang notabennya alergi dengan bulu, selalu bersin-bersin bila berada dekat dengan hewan peliharaan Charissa itu. Tidak cuma bersin-bersin, bahkan kulit Cinta yang terkena bulu kucing itu akan gatal dan memerah.

Jadi, pilihan satu-satunya adalah rumah Cinta. Di rumah Cinta, selalu sepi, hanya ada beberapa pembantu tetap yang selalu berada di kamar mereka masing-masing jika pekerjaan mereka telah selesai atau sedang tidak dibutuhkan jasanya oleh Cinta dan anggota keluarganya yang lain. Kamar Cinta juga selalu bersih, semua furniture-nya berada tepat pada tempatnya, dan yang terpenting adalah, tidak ada satu hewan pun yang akan membuat alerginya kambuh.

"Oh, jadi namanya Dareen." Keana yang duduk di pembatas antara teras dalam dengan halaman belakang, menimpali. Snack ringan yang sedang dimakan Keana membuat Cinta melolot ke arahnya.

"Itu 'kan snack gue!" teriak Cinta sambil berlari dan merebut makanannya dari tangan Keana. "Tukang nyibet!"

"Yaelah, Ta, dikit lagi dong! Pelit lo, ah." Wajah Keana memelas. Namun itu tak berefek apa-apa bagi Cinta.

Cinta malah mendelik, tapi tak ayal dia memberikan makanannya kepada Keana. "Dikit-dikit lama-lama jadi bukit. Sekali lagi udah! Nanti abis! Ini stok terakhir makanan di kulkas kamar gue, belum beli lagi."

Keana menaikkan sebelah alisnya. "Apaan dah stok terakhir, tadi aja gue liat Godiva, Oreo, Dove, M&M, Snikers, KitKat, Hershey's sama Beng-beng masih banyak banget di freezer lo. Sampe keluar-keluar malah. Tapi giliran di pendinginnya aja gak ada," balas Keana bersungut-sungut. "Lo sengaja ngumpetin 'kan dari gue? Gak bisa, Ta. Bakal ketahuan sama gue mah."

Cinta mengembungkan kedua pipinya, masih memberikan pelototan tajam ke arah Keana. "Terus ada yang lo ambil?"

Keana nyengir kuda. "Beng-beng satu doang elah, Ta. Harganya cenggo ini."

"Gak ada! Balikin cepet!"

"Ya Allah, sempitkanlah kuburan teman hamba yang satu ini. Beri banyak kecoa di liang lahatnya nan—"

"Ngomong apa, Keana...?" tanya Cinta gemas. Sementara yang ditanya langsung memberikan cengiran andalannya.

"Eh, udah, udah! Apaan sih, malah bahas makanan," Charissa menengahi. "Kita di sini buat ngomongin gimana masalah Shahnaz ke depannya. Bukan buat ngobrol ngalor-ngidul kayak biasanya. Lagian 'kan elo yang ngasih saran buat semua ini, Ke. Menurut lo apa lagi yang harus dilakuin Shahnaz? Tapi inget ya, kita cuma ngerjain dalam artian ngasih pelajaran, bukan buat menindas."

Charissa ini orangnya memang pendiam. Tetapi, jika dia sudah benar-benar muak dengan keadaan di sekitarnya, jadilah mulut Charissa akan berbicara panjang lebar sepuasnya. Bahkan seorang Cinta yang mulutnya terlampau bawel saja akan diam jika mendengar Charissa berbicara tak ada jeda seperti tadi.

"Oke, coba lo add LINE tuh cowok, Naz," sahut Keana sambil berjalan ke kasur santai, bergabung bersama ketiga sahabatnya.

"Terus lo chat dia. Lo harus selalu ada di samping dia. Bikin dia nyaman sama lo sampe dia minta lo jadi pacarnya," timpal Cinta. Ya, masalah seperti ini memang Cinta yang ahli. "Dan lo harus nolak dia di tengah-tengah lapangan sekolah," tambahnya lagi.

Keana mengomentari rencana dari Cinta. "Dengan gitu, dia bakal ngerasa malu, Naz. Menurut gue semua itu setim—"

"Omongan lo berdua gak masuk akal sama sekali tahu gak, Ta, Ke. Mana ada orang yang punya dendam gara-gara namanya dicatet di buku BK terus mau ngebales dengan cara kayak gitu. Gini ya, Naz. Inget pesan-pesan gue. Lo sakit boleh, tapi yang gak boleh itu, nyakitin,"

Ada jeda sebentar. "Biar gimanapun dia juga manusia biasa, dia punya hati. Dan tujuan awal kita cuma biar dia bisa belajar supaya lebih menghargai orang lain, 'kan? Kalo kita make cara yang lo berdua usulin, Ta, Ke, itu malah bakal bikin dia gak menghargai orang lain lebih parah lagi. Dia bakal nganggep kalo dia berbuat semena-mena sama orang aja, dibalesnya kayak gini, terus gimana kalo seandainya dia baik sama orang? Dia bakal mikir kalo orang-orang malah bakal berbuat di luar batas nalar mengingat orang-orang kenal dia sebagai orang baik."

"OKE!" Shahnaz membanting guling yang dia jadikan sebagai penumpu sikunya. "Sekarang jalan baiknya gimana?"

Ketiga teman Shahnaz itu mengangkat kedua bahu mereka serempak.

"Innalillahi."

•••

Dareen sedang memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam koper saat sebuah panggilan masuk dari ponselnya. Sambil terus memasukkan barang-barangnya, Dareen melirik siapa yang menelponnya sore-sore begini.

Alvaro Playboy Cap Tiga Roda is calling...

"Ngapain tuh anak nelpon?" Dareen berhenti dari kegiatannya dan menggeser tombol hijau di ponsel hitamnya itu. "Halo, Dareen cogan Zendaya di sini."

Dapat Dareen tebak bahwa Alvaro sedang terkekeh di seberang sana. "Apa banget lo. Najis gue dengernya, pengen gumoh."

Dareen tertawa kecil. "Udah kaya lo nelpon-nelpon gue? Lo sama gue 'kan beda operator."

"Gratisan ini juga."

"Miskin lo, najis. Nelpon cuma waktu ada gratisan. Kenapa lo nelpon gue? Gue mau buru-buru nih, pesawat take off jam lima."

"Gak sih, Reen. Gue cuma mau ngomong kalo..." Dareen dapat mendengar helaan napas Alvaro. "Lo... beneran setuju sama tawarannya Iyul?"

Masalah itu lagi.

"Denger ya, Alvaro Aditya Saputra. Gue gak bakal ngerubah keputusan gue lagi. Ibaratnya udah harga mati. Lagian ini masalah gue sama Iyul. Tenang, Ro, seandainya gue kena sesuatu apa kek gue gak bakal minta bantuan dari lo. Bye."

"Tapi, Reen—"

Sambungan langsung diputus Dareen.

Sekali lagi Dareen memantapkan hatinya bahwa tawaran Iyul yang dia ambil adalah keputusan yang tepat.

Lagi, layar ponsel Dareen menyala. Dengan kesal dia menggeser tombol hijau dan menempelkan ponselnya ke telinga tanpa melihat caller ID-nya terlebih dahulu.

"Apalagi sih, Ro?!"

"Eum... Halo, Dareen? Ini kamu, bukan?"

"Eh— Mega?"

"Iya, ini aku. Kamu jadi 'kan ke sini? Aku sama Juli udah buatin pie apel kesukaan kamu, loh."

Mendengar suara lembut itu, Dareen tak tahan untuk tidak mengulas sebuah lengkungan samar di bibir tipisnya.

"Jadi, Mega. Tunggu aku, ya."

LemonadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang