"Misi pertama, lo harus minta ID LINE tuh cowok."
Shahnaz berjalan menyusuri koridor kelas XII. Hari ini adalah hari pertama dia resmi menjadi siswi di SMA Zendaya Putih setelah tiga hari berturut-turut perempuan itu menjalani masa orientasi siswa.
Selama berjalan, kepala Shahnaz tak ada henti-hentinya menengok ke kanan dan ke kiri. Masih terngiang di telinganya perkataan Keana tempo lalu. Untuk tujuan apa lagi Shahnaz mau repot-repot ke kelas XII kalau bukan karena ingin meminta ID LINE seorang lelaki menyebalkan. Ya, lelaki menyebalkan itu adalah Dareen.
Shahnaz berhenti di depan papan tata usaha yang sudah dikerubungi oleh beberapa siswa kelas sebelas dan dua belas. Siswa kelas dua belas lebih mendominasi karena meja tata usaha berada dekat dengan kelas mereka.
"Permisi, permisi," ucap Shahnaz kalem sambil menerobos mendekati papan tata usaha itu, tempat di mana para siswa dan siswi melihat kelas apa yang akan mereka masuki.
Dalam sekejap Shahnaz sudah berada tepat di depan papan putih tersebut. Segera dia mencari nama Dareen di sana. Kata Pio sih, nama Dareen selalu berada di urutan paling bawah karena Dareen sendiri sedikit bodoh dalam beberapa mata pelajaran. Kakak Shahnaz yang kedua itu pun mengetahuinya karena dia terkadang sering satu kelas dengan Dareen.
Mengapa Dareen menjadi anggota OSIS padahal nilai-nilai hariannya selalu jelek, sepertinya perlu dipertanyakan.
Namun, menanyakan pertanyaan sepele seperti itu kepada Pio bukan merupakan hal mudah bagi Shahnaz. Perempuan itu mati-matian menjawab "tidak" saat Pio menuduh bahwa adiknya ini diam-diam memiliki perasaan terhadap Dareen.
Menyebalkan, bukan?
Atau,
Memang benar, bukan?
Ah, bicara apa ini. Shahnaz tidak pernah suka dengan Dareen. Bahkan menurutnya, tidak ada sesuatu di diri Dareen yang amat spesial. Dareen terlalu biasa. Sangat jauh dari beberapa mantan Shahnaz saat masih SMP. Atau mungkin, kata "tidak pernah" bisa menjalar ke kata "belum pernah"? Kita lihat saja. Biar waktu yang akan menjawab.
Kembali lagi kepada Shahnaz, perempuan itu masih sibuk mencari nama Dareen di kertas absen itu, dan saat dia mencari nama Dareen di urutan paling bawah, benar saja, nama lelaki itu langsung terlihat. Dareen mendapat kelas Matematika. Oh wow, jam pelajaran pertama Dareen adalah Matematika, dan sepertinya tidak ada yang lebih buruk dari itu.
Setelah mendapat apa yang diinginkan, Shahnaz langsung keluar dari kumpulan para kakak kelas tersebut. Bermacam-macam aroma bercampur menjadi satu di sana, dan itu adalah hal paling mendasar yang menyebabkan Shahnaz tidak ingin berlama-lama di tempat seperti itu.
Sekali lagi Shahnaz memantapkan langkahnya menuju kelas Matematika. Kelas di mana Dareen berada. Oh, bukan. Kelas di mana targetnya berada.
•••
"DAREEN...! DICARIIN CECAN TUH DI DEPAN PINTU!" begitu ucapan seorang perempuan yang bisa Shahnaz simpulkan adalah salah satu siswi yang satu kelas dengan Dareen di mata pelajaran Matematika.
Shahnaz memejamkan mata kuat-kuat. Teriakan perempuan itu sangatlah nyaring sampai benar-benar akan memekakkan telinga jika kita mendengarnya setiap waktu.
Dareen. Lelaki itu sedang duduk bersimpuh di pojok kelas bersama teman-teman lelakinya dengan sebuah handphone yang disenderkan pada tulang kursi di depannya. Wajah para kakak kelas itu terlihat sangat serius sebelum perempuan yang meneriaki Dareen tadi menghampiri gerombolan tersebut.
Salah satu teman Dareen mendongak. "Kenapa, Sis?" tanyanya kepada perempuan bernama Siska itu.
"Kenapa, kenapa, lagi! Itu si Dareen dari tadi dicariin sama adek kelas noh!" semprot Siska sambil menunjuk ke arah Shahnaz. Shahnaz hanya memasang wajah bingung ketika segerombolan lelaki itu menatapnya secara bersamaan.
Teman Dareen yang seluruh bajunya dikeluarkan, mendesah kecewa. "Yaelah, Reen. Bentar lagi padahal mau masuk tuh. Sayang kalo dilanjut besok."
Sudah bisa ditebak 'kan mereka sedang menonton apa?
"Pake handphone lo, elah. Udah kebanyakan dosa nih handphone gue nyimpenin video begituan." Dareen langsung mengambil ransel dan ponselnya kemudian menghampiri Shahnaz. "Kenapa?" tanya Dareen begitu sudah tiba di hadapan perempuan berpita emas itu.
Shahnaz mengernyit heran. "Kenapa?" koreksinya dengan nada intonasi yang berbeda. "Lo... lupa kalo Ketua OSIS nyuruh gue buat—"
"Inget," tukas Dareen memotong ucapan Shahnaz.
"Oh, inget," Entah kenapa Shahnaz malah bersyukur di dalam hati. "Gue minta ID LINE lo dong." Perempuan itu memasang senyuman terbaiknya.
Sementara Dareen langsung menatap mata bulat Shahnaz itu dengan tatapan penuh selidik. "Buat?"
"Hah? Buat...," Shahnaz menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Kalau seperti ini alurnya, bisa-bisa rencananya untuk mengerjai Dareen akan terbongkar. "... ngehubungin elo kalo ada apa-apa. Nah, iya! Gue minta ID LINE lo itu buat ngehubungin elo kalo lo butuh sesuatu. Gue 'kan jadi asisten lo selama satu semester penuh. Jangan bilang lo lupa?"
Tatapan penuh selidik milik Dareen semakin menjadi-jadi di matanya. "Lo kayaknya niat banget jadi asisten gue. Lo... gak ngerencanain—"
"Apa nama ID LINE lo?" potong Shahnaz cepat. Dia sudah bersiap dengan ponsel di kedua tangannya untuk meng-add ID LINE Dareen. Cih, jika saja bukan karena niatnya supaya bisa mengerjai Dareen, sampai mati pun Shahnaz tak akan rela meminta-minta kepada Dareen seperti sekarang ini.
Perlahan tapi pasti, tatapan penuh selidik Dareen memudar, tergantikan dengan sebuah senyuman miring yang rasanya sangat pas berada di wajah mirip Dewa Zeus itu.
"Dareen911. Oke kalo lo emang udah bisa nerima kenyataan perihal lo adalah asisten gue selama satu semester ini. Hari Minggu, gue jemput lo buat nemenin gue ke Mall—"
"Minggu? Gak ada, gak ada. Ini 'kan perjanjiannya di sekolah, jadi ya ngelakuinnya juga waktu hari sekolah dan di sekolah. Kayaknya lo perlu tahu deh kalo hari Minggu adalah hari di mana para cewek guling kanan guling kiri di kasur sambil megang handphone dalam keadaan belum mandi. Lagi pula—"
"Ssshh," Dareen menempatkan jari telunjuknya di bibir Shahnaz.
Satu yang tak diketahui Dareen, bahwa jantung perempuan di hadapannya ini tiba-tiba memompa lebih cepat dari biasanya. Pipi Shahnaz memanas. Darah di sekujur tubuhnya mendadak mendidih, sampai Shahnaz seperti mendengar suara air direbus ditambah sesuatu yang menggelitik di perutnya.
Perasaan ini hadir lagi setelah hampir satu tahun dia tak pernah mencicipinya kembali.
"Gue gak mau tahu, ya. Lo harus kudu mesti nemenin gue. Well, untuk enam hari ke depan, lo gak perlu repot-repot jadi asisten gue dulu karena gue bakal pergi ke London buat nemuin seseorang," Dareen menepuk pelan puncak kepala Shahnaz sambil tersenyum. "Gue duluan," lelaki itu kemudian berbisik di telinga Shahnaz sebelum mulai berlari pergi entah ke mana. "Don't miss me."
Oh, itu adalah tiga kata paling biasa yang mampu membuat hati nurani Shahnaz tambah tak beraturan ritme-nya.
Dari kejauhan, Shahnaz dapat melihat tubuh Dareen lenyap di balik sekat tembok yang memisahkan ruang TU dengan UKS. Perempuan itu menghela napas bimbang. Bimbang antara apakah dia harus tetap melaksanakan rencana balas dendamnya atau mengikhlaskannya segera sebelum dia terlambat dan terjadi sebuah kesalahan.
Kesalahan apa, Shahnaz pun hanya bisa menerka. Sekarang yang terpenting di pikirannya adalah,
"Misi pertama, selesai."
Sementara itu, sepuluh meter dari tempat Shahnaz dan Dareen berbincang-bincang tadi, seorang lelaki tengah tersenyum puas melihat kejadian itu. "Misi pertama,..." lelaki itu memberi jeda sembari berjalan menaiki tangga. "... selesai."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lemonade
Novela Juvenil[ON-HOLD] Ini tentang Dareen, Mega, dan sebuah kesepakatan. Oh, jangan lupakan remaja labil berumur 15 bernama Shahnaz-karena ini jelas menyangkut tentang kisahnya. Kini, terdapat tiga orang. Dua hati. Dan, satu cinta. Lalu, apa yang akan terjadi? ...