LINE!
Dentingan notifikasi LINE membuat Dareen menghancurkan pose bintang besar yang dibuatnya sendiri di atas tempat tidur. Dia menggerutu, mengacak-acak rambut jabriknya, bangkit, lalu menatap detail ke setiap inci penjuru kamar—bermaksud mencari benda persegi panjang yang semenjak dia kembali ke Indonesia, sudah dilempar entah ke mana.
Krek!
Baru beberapa langkah kakinya berjalan, suara benda terinjak sangat kentara, memecah keheningan yang membungkus kamar bernuansa abu-abu itu. Lagi, Dareen menggerutu. Itu pasti suara ponselnya yang tak sengaja dia injak.
Kemudian, dengan tenaga paling ogah-ogahan yang Dareen punya, cowok itu berjongkok, melempar baju kotor yang berserakan membentuk lautan di lantai kamarnya, masih bermaksud mencari benda persegi panjang itu.
Lama mencari—mengobrak-abrik lebih tepatnya, bukan ponselnya yang Dareen temui. Melainkan tulisan ‘For my little brother, Ivan’ yang tertulis apik di atas sebuah kotak merah beludru.
Untuk kesekian kalinya, Dareen menggerutu.
Kotak itu dari Mega.
Yang jelas untuk Iyul.
Oh, bahkan Dareen lebih rela menyapa teman lamanya itu dengan panggilan merendahkannya daripada nama asli yang dimilikinya.
"Iyul be better, Mega," koreksi Dareen, tersenyum sinis sebentar sebelum menaruh kotak itu di atas meja belajarnya.
LINE!
LINE!
LINE!
Lagi-lagi, notifikasi LINE dari ponsel Dareen berbunyi, tetapi kali ini terdengar lebih beruntun. Oh, siapa pun yang mengirimkan chat sebanyak itu, selamat! Dia telah sukses menyulut api emosi Dareen.
"Sabar, Stupid." Dareen mendecak, masih berusaha mencari ponsel yang ternyata berada di kolong tempat tidur entah sejak kapan. "Si Tolol, gue cariin juga."
Lalu Dareen menekan tombol power di ponsel, menggeser layar, kemudian membuka chat room LINE-nya dan melihat empat pesan dari Alvaro yang benar-benar malas untuk dibaca.
Alvaro: Gue marah sama lo, fix
Alvaro: Baru berapa hari di London, lo udah ngerengek minta balik
Alvaro: Padahal gue masih mau modus-modus gemes sama Juli. Sialan emang
Alvaro: Woyyy! Bales, PigDareen dengan sabar mengetik pesan balasan.
Dareen: Ngomong mulu, gigi kering.
Jari cowok itu masih setia menggantung di atas kayar ponsel. Dia menggigit pipi bagian dalamnya cemas. Ada keinginan untuk menanyakan apakah Alvaro berkhianat kepadanya atau tidak. Tetapi, begitu pertanyaan meluncur di layar, hatinya masih ragu-ragu untuk menekan tombol send di pojok kanan ponsel hitam itu. Pertanyaannya seperti;
Dareen: Bulan depan Mega bakal ke Indo, Ro. Kaget, nggak? [delete]
Dareen: Ro? Mau tau hal yang wow nggak? [delete]
Dareen: Ro, lo masih sahabat gue 'kan? [delete]
Dareen: Ro, lo nggak sekongkol sama Iyul buat bikin gue jatuh 'kan? [delete]Namun, kali ini hati Dareen menang. Dan jadilah pertanyaan itu terhapus kembali. Membiarkan Alvaro membaca pesan dari Dareen yang hanya tertera di layar ponselnya, tanpa tahu beberapa pesan mengenainya yang sengaja tidak Dareen kirim.
•••
Kali ini, Shahnaz bangun tidur tidak dibangunkan Pio. Abangnya itu sedang kewalahan mengurus Ailin—anak dari kakak Shahnaz yang pertama, Frezeta—yang dititipkan di rumah Shahnaz karena kakak perempuannya itu sedang keluar kota untuk urusan pekerjaan bersama suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lemonade
Teen Fiction[ON-HOLD] Ini tentang Dareen, Mega, dan sebuah kesepakatan. Oh, jangan lupakan remaja labil berumur 15 bernama Shahnaz-karena ini jelas menyangkut tentang kisahnya. Kini, terdapat tiga orang. Dua hati. Dan, satu cinta. Lalu, apa yang akan terjadi? ...