Bentang 12: The Reason was... Like? Love? Or... Excitement?

30 1 0
                                    

Kuberanikan diri menyapa, "Apa kabar cinta?"

Baru kurasakan seperti apa rindu,

Saat dia tak muncul di hari-hariku,

Saat sosoknya tak terpatri di rona mataku,

Wahai kau rindu...

Kau tak berbentuk,

Namun begitu kuat menghantam perasaan,

Dan begitu pekat meracuni pikiran,

Saat kerinduanku akan sosoknya, kau wujudkan bayangnya dalam benakku,

Kau mampu membentuk senyum malu di bibirku...

Windy berusaha sangat keras setelah itu agar kenal dekat dengan Heri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Windy berusaha sangat keras setelah itu agar kenal dekat dengan Heri. Bertanya tentang pelajaran, bahkan mengubah UPK yang dia ikuti. Pada akhirnya mereka menjadi teman dunia maya yang angat akrab. Dia dan Heri selalu menghabiskan waktu dengan diskusi lewat sms. Bukan hal yang mudah bagi Windy, untuk menyamai atau setidaknya agar tidak terlihat bodoh di mata Heri, Windy harus menyediakan setidaknya lima buku di hadapannya kalau mau berdiskusi dengan Heri.

Windy tersenyum mengingat pertama kali dia menghubungi Heri. Cara yang dia pilih sangat klasik. Pura-pura salah kirim. Huwaaaaaaa benar-benar niat..hahahaa... Kenang Windy. kemudian sms-sms selanjutnya dia bertanya banyak tentang arsitektur. Dia membuktikan sendiri, ternyata Heri memang hebat di arsitektur. Diskusi-diskusi mereka tidak pernah membosankan.

Pada awalnya hanya sms pembahasan sederhana, bertanya tentang standar-standar gambar, dan buku-buku referensinya. Kadang dia mencandai Heri walaupun heri tidak terlalu menanggapinya. Memang tidak ada alasan dia harus menanggapiku...hahahaaa kasian Pikir Windy. Belakangan Windy tahu dia sudah punya pacar, anak kedokteran. Tapi tetap, rasa kagumnya tidak berkurang hanya karena Heri pacaran, karena memang dia tidak memandangnya dari segi imannya. Malah awalnya dia ragu-ragu apakah Heri seorang muslim atau tidak. Meskipun pandangan Windy negatif terhadap dunia pacaran. Tapi dia tidak memusingkan hal itu. Meski begitu Windy tetap tidak akan menyetujui yang namanya pacaran. Dia... dia... aku... aku... Urusannya, urusan dia sendiri, urusanku juga hanya urusanku. Begitulah yang Windy tetapkan dalam hatinya. Rasa kagumnya pada Heri bukan untuk diaplikasikan pada hal seperti itu. Meskipun mereka sering smsan, tapi mereka tidak pernah bertegur sapa saat di kampus ataupun saat UPK. Heri sangat dingin, seperti tidak mengenalnya. Tapi mungkin dia memang tidak mengenalnya.

Pada akhirnya nilai-nilai Windy pun membaik, dia yang awalnya kurang bersemangat kuliah malah menjadi benar-benar mencintai dunia arsitektur. Heri membuka mata dan pikiran Windy tentang arsitektur. Untuk itu Windy benar-benar berterimakasih dan bersyukur.

Aku tak mengenalnya, aku tak akrab dengannya, namun air mata ini bisa menetes karenanya, dan do'a ini terhantar untuknya... Aku berdo'a untuk kebaikannya dengan sepenuh hati. Begitulah yang Windy rasakan waktu itu. Salah satu sesalnya adalah tidak menonton sidang tugas akhir Heri. Heri berbeda 4 tahun dengannya, dia mahasiswa tingkat akhir yang akan lulus. Windy hanya mendapat kabar dia lulus dengan nilai memuaskan. Hari-hari Windy akan berlanjut tanpa melihat sosoknya lagi. Dia tahu kesempatannya untuk melihat Heri di kampus tidak ada lagi. Dia melihat kalender akademik, melingkari tanggal wisuda dan yudisiumnya. Dan kemudian satu hari bertepatan dengan jadwal yudisium Fakultas Teknik, dia berangkat ke kampus dengan hampa.

Hari itu tidak ada kuliah, namun Windy tetap ngampus, berharap akan melihat Heri untuk terakhir kali, dan mungkin akan melambaikan tangan padanya walau hanya dari kejauhan. Windy benar-benar rindu. Yudisium Teknik dilaksanakan di gedung Sultan Suriansyah Banjarmasin. Windy ingat tadi malam di tahajudnya dia berdo'a, bila Heri memang jodohnya, dia meminta agar dipertemukan hari itu. Namun dia tahu itu MUSTAHIL. Heri tidak mungkin ada di kampus UNLAM Banjarbaru saat Heri berada di Banjarmasin menghadiri yudisiumnya.

Windy ingat, saat itu hujan turun sangat deras, dia berada di perpus, menelpon Rima dan menceritakan padanya tentang do'anya. Rimalah tempatnya menumpahkan segala cerita rasa. Dia merasa itu sudah akhir dari perkenalannya dengan Heri, hanya bisa mengaguminya dari jauh. Windy bertekad memasrahkan perasaannya.

"...tadi malam aku berdo'a, jika dia memang jodohku, pertemukanlah aku hari ini dengannya... tapi itu tidak mungkin Ma... aku tahu itu mustahil karena hari ini dia yudisium di Banjarmasin..." Windy berkata pada Rima di telpon. Dia membungkukkan kepalanya dan memelankan suaranya, malu kedengaran pengunjung perpus lain.

"Ya Allah.. kamu sampai berdo'a seperti itu. Itu seperti bertaruh dengan takdir tuhan..."

"aku benar-benar putus asa, aku tidak tahu bagaimana menghentikan rasa rinduku,, Astaghfirullah... aku tahu itu mustahil, makanya aku berani berdo'a seperti itu. Mungkin dengan cara itu aku akan bisa sadar diri dan berhenti berharap tentangnya..."

"tidak akan bisa... aku tahu kamu tidak akan bisa melupakannya...."

"... jangan bilang begitu... aku... aku... aku..." kata-kata Windy terhenti. Tubuhnya membeku tiba-tiba. Heri... dia berdiri di depannya, mengamati maket yang berada di depan Windy. Meja tempat Windy duduk memang diletakkan maket dari mahasiswa yang beberapa waktu lalu sidang tugas akhir.

"Windy? Win... Win?" Rima memanggil-manggil Windy yang membisu di telpon...

"...." Dia tidak bisa berkata.

"..ada Eyi kah?" Rima bertanya...

Ya... dia ada... ingin Windy mengatakannya pada Ram tapi kata itu hanya tertelan olehnya. Windy berharap Heri yang berdiri di depannya tidak mendengar pertanyaan Rima. Windy mematikan telponnya dan langsung sms Rima.

"maaf... Dia ada di depanku Ma... haduuuuhhhh"

Ya Allah... kau mempertemukanku dengannya hari itu. Bagaimana bisa...??? Windy masih tidak habis pikir.

"Ya Allah Win, bagaimana bisa? Do'amu Win... subhanallah... aku tidak bisa berkomentar lagi, benar-benar kuasa ilahi..." Rima membalas sms ku.

Windy menitikan air mata saat itu, tidak bisa berkata-kata lagi. Dia teringat do'anya saat tahajud. Apakah ini isyarat dari-Nya bahwa dia jodohku? Aku tak tahu,,, benar-benar tidak tahu. Windy merasa frustasi. Windy baru tahu beberapa hari setelahnya, ternyata jadwal yudisium diundur seminggu lagi. Heri ternyata ke kampus hanya untuk melihat-lihat keadaan kampus sebentar. Padahal saat itu hujan lebat.

Benar-benar kuasa illahi. Diantara hujan dan rasa hampa, Heri hadir sebagai jawaban atas do'a Windy... lantas salahkah kemudian bila Windy sulit untuk berhenti mengharapkannya?

Sudah maghrib. Windy bangkit. Bahkan mengenang masa-masa itu membuat waktu tidak terasa lewat begitu saja. Windy mendesah.

-------

Pagi ini akan ada pengajian kemuslimahan FKI (Forum Komunikasi Islam) kampus mereka. Windy segera bersiap-siap berangkat.

Tema hari itu tentang "cinta". Dibahas banyak tentang cinta remaja saat ini dan bagaimana pandangan islam,

"Terus? Salahkah kagum seperti itu?" Seorang akhwat peserta kajian bertanya.

Kakak pemberi materi menjawab pertanyaan salah satu peserta kajian, "rasa kagum pada lawan jenis itu wajar, dulu kakak juga pernah sangat kagum pada senior di tambang, kakak pikir perasaan ini dalam dan akan terus bertambah, namun ternyata seiring berjalannya waktu rasa itu malah hilang. Setelah melihat sikapnya sehari-hari, rasa itu memudar. Jadi tenang saja. Memang ada masa kita lagi dijangkiti demam pengidolaan kepada senior...namun masa itu akan lewat nanti..."

Windy termenung. Apakah rasaku ini juga hanya excitement belaka ataukah hanya berhenti di kata kagum atau suka? Dia bertanya-tanya dalam hati. Tidak. Hatinya memutuskan kemudian. Ini adalah cinta. Dia tahu itu.

------

Bridge of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang