"Suntuk banget kayaknya." Puri menyenggol Windy.
"Hehe...dikit." Windy terkekeh kedapatan melamun. Sudah tiga hari lewat, smsnya tidak dibalas oleh Heri. Kenapa dia? Windy bertanya-tanya.
"Paling ngelamunin si Eyi." Rima nyeletuk.
Ketahuan. Sial. "Gambar kalian udah sampai mana?" Windy mencoba mengalihkan pembicaraan.
Windy menginap di kostan Rima dan Puri untuk mengerjakan tugas bareng, sekalian mengobati hatinya yang terbawa rasa kesal. Rima dan Puri menyewa satu kosan berdua. Letaknya yang dekat dengan kampus, di jalan UNLAM 2 membuat kosan mereka berdua sudah seperti markas khusus bagi mereka bertiga. Kegilaan-kegilaan bergadang menyelesaikan tugas sudah sering mereka lalui di kosan 5x5 itu. Saat-saat ngebut menyelesaikan gambar, dan mepet waktu pengumpulan, mereka bertiga tidak terlalu khawatir karena kampus bisa dicapai hanya dengan berjalan kaki. Bahkan di depan kos mereka juga ada jasa laundry dan perbaikan komputer, di seberangnya juga terdapat warung makan murah meriah yang cocok dengan kantong pas2an mahasiswa kayak mereka. Kosan yang sangat strategis memang. Karena itulah Windy senang nginap.
"Sampai pegel." Puri nyahut malas-malasan.
"Kalian lapar ga?" Mulai... "Nonton yuk?"
"Yoook... Aku pengen nonton yang horor-horor buat amunisi begadang kita malam ini."
"Aku juga, asal jangan pocong aja." Rima bergidik.
"Kenapa sie takut banget sama pocong? Padahal imut gitu. Kayak lemper. Hahaha" Windy ketawa terbahak-bahak.
"Imut apaan... matanya tuh serem, terus badannya kebungkus gitu, pokoknya ngeri."
"Iyadah iyaaa... engga pocong kok. Ntar kita cari film Suzanna aja." Windy makin ngakak.
"Eh sip banget tuh." Puri malah setuju. "Suzanna tuh horor paling mantep dah. Dia diem aja udah serem."
"Bener banget..." Dan sesaat mereka sibuk nostalgia film-film horor zaman dulu.
"Win, Si Eyi gimana kabarnya?" Puri malah tiba-tiba mengganti topik kembali ke awal.
"Em? Gatau juga..." Windy sedikit tergagap.
"Pasti galaunya karena itu."
"Emang kenapa sih?"
"Yaaah begitulah." Windy menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. "Apalah aku buat dia. Dia ga bales smsku tiga hari."
"Baru tiga hari, belum sebulan." Puri langsung nyahut.
"Menyebalkan." Windy ngelempar bantal ke Puri.
Puri ketawa-tawa. "Mungkin dia lagi sibuk sama ceweknya."
"Iya mungkin." Windy membuang muka.
"Mau kuliatkan Fbnya?" Puri langsung masang badan depan laptopnya.
"Ga usaaah" Windy menyubit Puri. Windy memang tidak berteman dengan Heri di medsos. Hubungan mereka terbatas melalui sms saja. Sesekali ketemu. Pertama ketemu juga rasanya lucu. Setelah Heri lulus, hubungan mereka melalui sms malah semakin intens. Dan ketika Windy masuk ke SPA pertama, Heri bersikeras untuk datang ke kampus ingin melihat desain milik Windy. Tugas individu SPA 1 adalah bangunan komersil berlantai 1, dengan fungsi bangunan sudah ditentukan oleh dosen pengampu mata kuliah. Windy kebagian mendesain bangunan kafe. Dia banyak bertanya-tanya pada Heri waktu itu. Hingga Heri penasaran dan akhirnya datang ke kampus untuk melihat sendiri hasil diskusi mereka. Itulah pertama kalinya mereka bertemu berhadapan langsung, ngobrol banyak hal. Sesekali Puri membantunya melihat keadaan Heri melalui medsos. Puri berteman dengan Heri di medsos. Dari situlah Windy tahu banyak hal, tentang kehidupan Heri, termasuk hubungannya dengan anak kedokteran itu.
"Siapa sih pacarnya Heri? Sebentar." Klik sana... sini... "Loh... Pacar Heri ini kayak kukenal Win. Dia temen sekelasnya keluargaku waktu di Kotabaru. Lulusan Teknik Sipil di Universitas Malang."
"Pacar Heri si kodok Pur..." Windy masih sibuk menggambar. Dia sengaja menyebut si anak kedokteran dengan sebutan kodok untuk menyingkat sebutan kedokteran. Terbawa kesal di hatinya. Cemburu, kemudian malah jadi kebiasaan di antara mereka bertiga memanggil seperti itu.
"Lah bukan ini. Pacarnya bekerja di kontraktor. Masa kodok kerja di kontraktor? Lagian aku kenal dengan dia."
"Mana sih?" Windy mendekat.
Windy melihat dengan jelas di profil Heri, Heriawan Pramudhita Hassan, 'in relationship' with Ratih Indriyani. Dia membaca dalam hati. Ratih? Bukannya si kodok namanya Revi? Windy mendada bingung. Ini juga bukan akun si kodok. Fotonya bukan si kodok, tapi dia serasa pernah membaca nama orang ini entah dimana.
"Jangan-jangan..." Windy memikirkan satu kemungkinan. "Puri, coba buka akunku, terus cari akun Revi Shafa Ibrahim." Sejak awal memiliki FB, Windy sudah berteman dengan Revi, si kodok. Dia tidak memiliki keberanian untuk berteman dengan Heri di medsos. Jadi dia nge-add ceweknya Heri.
Puri segera log out Fbnya, kemudian masuk akun milik Windy dan mengetik search, hingga menampilkan akun yang dimaksud. "Karma berlaku untuk perusak hubungan orang. Pantaslah! Pengkhianat memang untuk penggoda." Status teratas Revi.
"Pur, log out Fbku lagi, buka akunmu, aku mau liat kronologi Heri."
Windy segera membuka folder foto milik Heri di 4 tahun sebelumnya, kemudian... Semuanya menjadi jelas.
"Dia sudah putus dengan kodok Pur. Ratih cewek barunya. Dulu waktu aku stalking Heri lewat akunmu ini, aku pernah lihat cewek ini komen dan nge tag Heri. Kemungkinannya mereka udah temenan lama."
"Childhood Friend?"
"Bisa jadi. Who knows?" Windy mengangkat bahu.
Sesaat Windy terdiam. Rima dan Puri saling berpandangan. "Yasudah... Yuk kita beli DVD aja. Nonton. Beli martabak juga."
Windy tersenyum. "Ayuk dah."
-------
KAMU SEDANG MEMBACA
Bridge of Love
RomanceIndra, mahasiswa Teknik Arsitektur tahun ke dua mengagumi teman satu angkatannya, Windy. Tapi dia menyimpan kekagumannya di dalam hati karena dia tahu kekagumannya hanya sepihak. Ya... semua orang tahu kalau Windy menyukai senior mereka, Heri.