Bentang 22: Site

25 1 0
                                    

Wanita itu memandang dua orang yang perlahan menjauh dengan motor mereka. Mengangkat ponsel yang dipegangnya, menekan satu nomer dan memanggil.

"Halo..." Terdengar suara dari ujung ponselnya.

"Aku sudah bertemu dengan wanita itu. Tampaknya mereka memang sudah janjian akan bertemu di sini."

"Benarkah?" Diam sejenak. "Bagaimana orangnya?"

"Biasa aja. Cantikan kamu."

"Masalahnya Heri tidak pernah menilai wanita dari fisik." Terdengar suara desahan kesal.

"Iya juga sie, eh tapi aku barusan lihat dia jalan dengan cowok lain. Mereka kayak seumur. Tapi sepertinya mereka juga tidak sengaja ketemu."

"Aku ga peduli. Yang penting kali ini Heri ga ketemu sama dia."

"Eh... Aku penasaran, bagaimana kamu mengatur semuanya sampai Heri tidak datang ke pertemuan mereka?"

"Ada aja." Suara itu sok misterius.

"Gitu dah, main rahasia-rahasiaan sama aku."

"Nanti juga kamu bakal tahu. Thanks ya udah ngabarin aku, dah mau juga bela-belain mata-matain."

"Iya sama-sama. Yang selanjutnya tunggu ya."

"Oke."

-------

Windy sibuk memfoto sekitar bantaran sungai. Dia menemukan site yang pas untuk lokasi sayembaranya. Mencoba menggambar dan mengira-ngira luasan site, menyimpannya di kertas sketsanya.

"Daerah ini sekitar awal tahun tahun 1980an habis terkena kebakaran Nak." Seorang kakek yang ada di sekitar lokasi menceritakan keadaan sekitar dengan senang hati.

"Trus masyarakatnya pindah Kek?"

"Tidak. Mereka membangun ulang rumah di atas abu rumah mereka sebelumnya." Si Kakek berjalan di samping Windy, semenara Indra mengekor di belakang mereka. "Di sini biasanya yang punya tanah cuman satu yang berada di pinggir jalan. Maksudnya yang punya segel atau sertifikat tanah. Terus nanti beranak pinak, ngambil mantu, terus dapat cucu. Semuanya nanti rumahnya ngumpul di sini."

Windy bisa melihat dengan jelas apa yang diceritakan oleh si kakek. "Jadi satu baris rumah ini sampai ke belakang sana itu satu keluarga Kek?"

"Enggeh Nak." Jawab si kakek. Enggeh adalah "iya" dalam bahasa Banjar.

Extended family. Keluarga yang semakin banyak berpengaruh kepada pertumbuhan dan perkembangan rumah. Sungai Barito yang luas memungkinkan rumah semakin memanjang ke arah sungai meskipun pada akhirnya hanya akan memakan badan sungai.

 Sungai Barito yang luas memungkinkan rumah semakin memanjang ke arah sungai meskipun pada akhirnya hanya akan memakan badan sungai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Windy membuat sketsa gambaran rumah yang semakin memanjang memakan badan sungai, kotak-kotak pertama adalah rumah yang ada sertifikatnya, rumah yang berada di pinggir jalan darat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Windy membuat sketsa gambaran rumah yang semakin memanjang memakan badan sungai, kotak-kotak pertama adalah rumah yang ada sertifikatnya, rumah yang berada di pinggir jalan darat. Kemudian saat anggota keluarga bertambah, maka rumah menjadi semakin bertambah panjang. Rumah-rumah tambahan tidak menghadap ke jalan, melainkan menghadap ke arah titian penghubung. Begitu seterusnya hingga rumah paling ujung rata-rata kondisinya menghadap ke sungai.

"Bukankah dulu di wilayah ini banyak rumah lanting Pak? Tapi kok sekarang hampir tidak ada lagi."

"Cerita yang menyedihkan memang." Si Kakek tampak sedih. "Dasar sungai yang semakin dangkal membuat rumah tidak bisa lagi mengapung. Kayu buat mengapungkan rumah juga kerap hilang dicuri. Satu kayu mahal harganya, bisa 5 sampe 7 juta."

"Ya Allah." Windy merasa kasihan.

"Berat memang hidup di pinggir sungai. Berat tapi senang juga. Yah, ada baik buruknya."

Windy sibuk mencatat penjelasan kakek itu. "Terus rumah lantingnya kemana Kek?"

"Sebagian berubah jadi rumah yang sekarang ini." Si kakek menunjuk sekeliling. "Sebagian lagi pergi ke wilayah lain.

"Wah. Bagaimana mengubah rumah lanting menjadi rumah panggung?" Windy bingung. "Pondasinya kan berbeda? Yang satu mengapung di air, fleksibel dan bebas, seperti perahu. Yang satunya menancap di dasar sungai, konstan."

"Diangkat secara gotong royong kemudian diletakkan di pondasi panggung."

Windy tersenyum kecil. Tiba-tiba dalam otaknya muncul ide. Gambaran keadaan rumah masyarakat bantaran sungai muara Barito yang diceritakan oleh si kakek membuatnya kepikiran satu hal yang bisa jadi poin penting untuk perancangan sayembaranya.

Dia tidak sabar untuk bertemu dengan Heri, meskipun tadi sempat dongkol karena rencana bertemu mereka gagal. Mungkin aku harus lebih banyak bersabar. Dia kan lagi kerja. Windy menenangkan dirinya dan berusaha berfpikir positif tentang Heri.



-------

Author:

Setelah sekian lama tenggelam, aku akan mulai melanjutkan beberapa tulisan di sini. Biasa, mood ilang-ilangan.

Untuk yang sudah setia membaca cerita ini, aku ucapkan banyak terima kasih. :*

Salam hangat. ^_^

Ditunggu kritik dan sarannya yaaa...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 22, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bridge of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang