Bentang 21: Kuin

22 1 0
                                    

Windy bersiap-siap, dia sedikit gugup karena hari itu dia akan bertemu dengan Heri untuk membicarakan sayembara yang mereka ikuti. Lebih gugup lagi karena Heri mengubah tempat pertemuan mereka. Tiba-tiba saja tadi pagi dia bertanya, apakah Windy ada jadwal kuliah hari itu? Dia punya waktu seharian katanya. Kebetulan sekali hari ini Windy tidak ada jadwal kuliah, dia ke kampus cuman mau nyari referensi ke Perpus Arsitektur. Heri menyarankan untuk mencari tempat lain berdiskusi. Dia menanyakan Windy, Windy lantas menyarankan bagaimana jika mereka melihat langsung site yang mereka pilih untuk lokasi perancangan rumah sehat mereka, Kuin Utara Muara Barito. Heri langsung setuju. Bahkan dia memilih untuk bertemu di rumah makan Soto Kuin.

Windy segera berangkat tanpa buang waktu, pukul 10.00 janji mereka bertemu. Windy sampai lima menit kurang dari jam 10.00. Windy membuka Fbnya, memposting status bahwa dia sedang berada di Soto Kuin.

"Pesan apa mba?" Suara pelayan mengagetkannya. Warung di sini selalu penuh karena sotonya memang enak.

"Saya lagi nunggu teman dulu mas, tapi pesan teh es duluan deh."

"Oke mba, ditunggu ya."

Windy segera sibuk dengan hapenya lagi, 20 menit berlalu, belum ada tanda-tanda kehadiran Heri. Dia mencoba menelpon tapi panggilannya malah dialihkan. "Mas bro, aku dah sampai di warung Soto Kuin, mas masih jauh?" dia mengirimkan sms.

Dia tunggu beberapa saat, tidak ada balasan, dia telpon lagi, lagi-lagi dialihkan. Windy bingung.

"Mba, jadi pesan ga?" Pelayan yang tadi mendatanginya lagi. Windy merasa ga enak.

"Iya mas, soto satu porsi saja ya." Gapapa lah dia pesan dulu, nanti Heri bisa menyusul.

"Baik mba."

Windy menelpon lagi dan bernasib sama. Dialihkan. Dia mulai merasa gelisah. Tidak lama pesanannya datang. Dia makan sambil sesekali memandang hapenya. Windy sama sekali tidak bisa menikmati makanannya, tapi dia paksa menghabiskannya. Dia selalu ingat wanti-wanti orang tuanya agar jangan pernah menyisakan makanan. Hampir satu jam dia berada di sana dan akhirnya memutuskan untuk pergi saja. Perasaannya sudah campur aduk antara marah dan merasa dipecundangi. Apakah kamu main-main lagi, Heriawan Pramudhita Hassan? Kesenanganmu mempermainkan perasaan wanita. Atau aku yang terlalu bodoh jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya? Windy mengutuk dirinya sendiri lagi. Tanpa sadar air matanya mengalir. Benar-benar laki-laki pemberi harapan palsu. Dia melangkah gontai ke arah parkiran. Berjalan menunduk dan tanpa sadar menabrak orang di depannya.

"Jalan pake mata Neng."

"Maaf mba." Windy buru-buru meminta maaf.

"Emang enak dibohongin? Gitu emang pantes, dasar cewek PHO." Wanita itu berlalu melewatinya.

Tunggu. Windy segera mengejar wanita itu, menangkap lengan tangan kanannya. "Maksud mba apa PHO?"

Tangan kiri wanita itu diangkat dari telinganya, tangannya sedang memegang ponsel. "Tunggu sebentar..." Wanita itu kemudian menatap Windy dengan senyum manis. "Iya mba?"

"Eh? Mba lagi nelpon ya? Engga... Maaf ya soal yang tadi."

"Iya gapapa kok, saya permisi ya." Dia menggoyangkan tangan kirinya yang memegang ponsel, memberi isyarat kalau dia mau melanjutkan nelpon.

Windy merasa malu, dia sudah su'udzan dengan orang hanya karena mendengar sepotong kalimat. Windy segera berbalik kembali berjalan ke arah parkiran. Sementara tanpa sadar wanita yang tadi ditabraknya memandang tajam ke arahnya sambil memasukkan hapenya.

Windy memasang helm, bersiap melanjutkan perjalannya. Dia memutuskan untuk melanjutkan supervisi site walaupun sendiri. Dia juga sudah memutuskan, jika memang sayembara ini harus dikerjakan tanpa Heri, dia tak kan menyerah. Dia akan menyelesaikannya dengan atau tanpa Heri.

"Win." Sebuah suara mengagetkannya.

"Indra?" Akhir-akhir ini dia sering bertemu dengan nie anak. Kebetulankah?

"Ngelamun sendirian. Ngapain di sini?"

"Lah kamu sendiri ngapain?"

"Aku mau makan lah."

"Ya sama. Hahaha" Windy tertawa hambar.

"Habis berapa piring?" Indra bercanda.

"5 piring tadi." Windy meladeni becandaan Indra.

"Hahaha... Kok sendiri?"

"Emang mesti sama siapa?"

"Kamu suka Soto kah?"

"Suka, tapi ga suka banget juga. Sedang-sedang saja."

"Kali aja kamu doyan soto, makanya bela-belain ke sini sendirian."

Windy merasa tersindir. "Lah kamu sendiri kenapa sendirian?"

"Kalo aku ya karena aku doyan Soto lah."

"Yaudah sana makan banyak-banyak." Windy menyalakan motornya.

"Lho-lho sudah mau berangkat? Ga nemenin aku dulu nie?" Indra ketawa cengengesan.

"Aku kan udah 5 piring tadi."

"Ya gapapa nambah lagi. Aku yang traktir. Biar enak dikit dilihat, ga sendirian. Kan rejeki juga ditemenin kamu."

"Apaan sie Ndra..." Windy tertawa canggung. "Aku duluan ya? Met makan."

"Win, aku ikut."

"Lah? Ikut gimana? Bukannya kamu mau makan?" Windy bengong.

"Nanti aja dah aku makannya." Indra segera meloncat ke motornya, menyalakan dan segera menjejeri Windy. "Yuk dah jalan."

Asli Windy ga ngerti sama sekali situasi inii, tapi dia mengikuti saja motor Indra.

"Kamu mau kemana tadi?" Indra menjejerinya.

"Ke sana, dekat dermaga Kuin."

"Mau ngapain ke sana?"

"Mau liat-liat aja."

"Buat sayembara?"

Windy terdiam.

"Semua tahu kok kamu mau ikut sayembara dengan Heri. Aku juga ikut sama teman-teman yang lain, Ilham termasuk."

Pantes. Windy kemudian mengerti. "Oooh... Jadi kamu mata-mata buat ngeliat desain kami gitu?"

"Pfffttt... Mata-mata?" Indra tertawa ngakak. "Engga kok."

"Terus?"

"Yah seperti kubilang tadi, ini rejekiku, ketemu sama kamu." Indra tersenyum.


----------

Bridge of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang