Bentang 20: Rumah Sehat

24 1 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Windy menelan suapan terakhir sup ayamnya. Hujan sedang turun. Perlahan memori saat hujan kembali muncul di pikirannya. Membuatnya tersenyum kecil, tapi sesaat kemudian mengutuk dirinya sendiri. Kamu lemah Windy, selalu saja mudah terbawa perasaan jika memikirkan tentang dia.

Beberapa hari dia sengaja tidak komunikasi dengan Heri setelah pertemuan mereka di Pasar Terapung. Dia malas memulai, dan Heri juga tidak menghubunginya sama sekali. Cuman satu sms setelah smsnya yang malas dia balas beberapa waktu yang lalu, sms itu menanyakan tentang sayembara. Dan sekali lagi dia mengabaikan smsnya. Tak dipungkiri hatinya rindu. Tapi dia menguatkan hatinya. Dia bukan gadis bodoh. Baperan boleh, bodoh jangan.

Selesai mencuci piring bekas makannya, Windy duduk di kasurnya membuka sketsa-sketsa yang sempat dia bikin. Dia belum sempat memperlihatkan sketsa-sketsa itu kepada Heri. Walau bagaimanapun dia harus menyelesaikan apa yang sudah dimulainya. Dia harus belajar untuk profesional. Bukankah dia calon arsitek? Masalah pribadi seharusnya tak boleh dicampur adukkan dengan kerjaan. Apalagi sayembara ini penting baginya.

Sekelebat pemikiran membuatnya langsung gugup dan merasa malu. Bayangkan, mereka berdua merancang rumah berdua. Bukankah itu terkesan intim? Tak sengaja matanya tertumbuk ke panci sup di meja, membayangkan dia menuangkan sup itu untuk Heri. Astaga... Windy segera mengusir pemikiran itu. Hey Tunggu... Bukankah sesederhana itu? Dia memang tidak perlu mencari konsep desain yang wah untuk sebuah rumah tinggal. Cukup rumah yang benar-benar dirasakan olehnya dan Heri, rumah sehat untuk mereka berdua.

Dia harus lebih spesifik lagi. Pengantin baru? Bisa jadi. Pengantin baru memungkinkan batasan lebih sempit. Pertimbangan biaya misalnya. Pengantin baru baru punya budget minim untuk pembangunan rumah baru mereka. Jadi rumah untuk mereka cukup sederhana saja, tapi dengan pertimbangan pengembangan desain misal, perlu penambahan satu kamar persiapan anak mereka jika lahir nanti. Dengan asumsi anak mereka cuman dua orang, yang kecil pasti tidak mau lepas dari kedua orangtuanya. Cukup 2 kamar, kamar utama dan kamar untuk si kecil nanti. Windy mencoret-coret pemikirannya, berusaha mengembangkan konsep.

Sebelum masuk ke rumah sehat, terlebih dulu dia kumpulkan poin-poin penting kebutuhan rumah yang terasa 'rumah'. Not House but Home. Emosi. Perasaan. Windy yakin itu juga merupakan aspek penting sebuah rumah sehat. Karena kesehatan itu bukan hanya kesehatan fisik, tapi juga jiwa. Rumah tangga yang sehat seringkali juga berkaitan dengan rumah. Hal-hal kecil bisa jadi pemicu pertengkaran jika tidak ditata dengan baik. Windy tersenyum kecil. Benar-benar menarik.

Tanpa sadar dia meraih hapenya dan dengan bersemangat mengetik sms. "Aku sudah kepikiran beberapa konsep desain untuk sayembara." Langsung send. Dia melupakan kenyataan bahwa sebelumnya dia masih merasa kesal ke Heri. Arsitektur selalu bisa membuatnya jatuh cinta, dan jatuh cinta lagi.

"Aku juga dah ada oret-oret ini. Kapan mau ketemu?" Langsung dibales? Windy mengerutkan dahi. Tumben.

"Aku terserah mas bro saja, aku tiap hari ada aja di kampus. Mas bro kan kerja, ya aku yang harus nyesuain kapan mas bro punya waktu kosong."

"Okeh, besok." Nie orang emang bener-bener. Windy mengurut keningnya. Melempar hapenya ke ujung kasur dan merebahkan dirinya.

Bridge of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang